Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Tujuh Argumen vs Tujuh Hakim MK

×

Tujuh Argumen vs Tujuh Hakim MK

Share this article

Oleh: Muhammad Chirzin*

Hari-hari ini tuntutan Presidential Treshold 0 % dari berbagai komunitas semakin menguat. Hal itu menunjukkan peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan perlunya berdemokrasi secara demokratis, konstitusional dan berkeadilan. Sejumlah nama menggugat UU Pemilu Pasal 222 bersama Refly Harun, antara lain Ferry J Yuliantono, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, dan dua anggota DPD Fachrul Razi asal Aceh, dan Bustami Zainudin asal Lampung. UU Pemilu Pasal 222 yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Dua Hakim Konstitusi, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo menyetujui gugatan terdahulu atas pasal 222 tersebut, berhadapan dengan tujuh Hakim Konstitusi lainnya, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Manahan MP Sitompul, Maria Farida Indrati, dan Wahiduddin Adams.

Pertimbangan Saldi Isra dan Suhartoyo, sebagaimana dirangkum detikcom, Jumat (17/12/2021) adalah sebagai berikut.

  1. Presidential Threshold 20 % Membelokkan Teks Konstitusi

Mahkamah Konstitusi harusnya melakukan peran dan fungsi konstitusionalnya mengoreksi atau mereview substansi undang-undang, dan memberikan prioritas pada pemenuhan hak konstitusional partai politik peserta pemilu daripada pemenuhan atas penilaian bahwa desain konstitusi menghendaki penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu.

Secara tekstual, hak konstitusional partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden diatur secara eksplisit dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Dalam hal teks konstitusi mengatur secara eksplisit tertutup celah untuk menafsirkan secara berbeda dari teks yang ditulis konstitusi. Bilamana pembentuk undang-undang membelokkan atau menggeser teks konstitusi, menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi untuk meluruskan dan mengembalikannya kepada teks konstitusi.

  1. Presidential Threshold 20 % Merusak Logika Sistem Pemerintahan Presidensial

Dalam disain sistem pemerintahan, mempergunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai persyaratan dalam mengisi posisi eksekutif tertinggi merusak logika sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah kepada pemegang kekuasaan legislatif dan kepada pemegang kekuasaan eksekutif (presiden).

Dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan ambang batas (presidential threshold) dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial. Padahal salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan sistem pemerintahan presidensial Indonesia.

  1. Amerika Serikat Tidak Mengenal Presidential Threshold

Mengapa ambang batas pengajuan calon presiden dan wakil presiden dipertahankan ketika keberadaannya menyimpang dari logika sistem presidensial? Bahkan studi komparasi menunjukkan, bahwa Amerika Serikat, negara yang selalu menjadi rujukan utama praktik sistem pemerintahan presidensial, sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon presiden dan wakil presiden. Negara-negara di Amerika Latin, yang kebanyakan menganut model sistem pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk, seperti Indonesia, juga tidak mengenal presidential threshold dalam mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden.

Praktik sistem presidensial acap kali terjebak dalam ketegangan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Praktik demikian sering terjadi jika kekuatan partai politik mayoritas di lembaga legislatif berbeda dengan partai politik pendukung presiden. Sementara itu, jika partai politik mayoritas di legislatif sama dengan partai politik presiden atau mayoritas partai politik legislatif mendukung presiden, praktik sistem presidensial mudah terperangkap menjadi pemerintahan otoriter.

  1. Bukan Open Public Policy, Jauh dari Rasa Adil

Kebijakan hukum terbuka adalah sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Memaknai moralitas dalam perumusan norma hukum dapat dilacak dengan alat ukur sederhana, yaitu seberapa besar pembentuk undang-undang memiliki impitan kepentingan dengan norma atau undang-undang itu sendiri.

Pasal 222 UU Pemilu secara terang-benderang merugikan dan amat jauh dari rasa adil. Bagaimana mungkin menilai kehadiran norma Pasal 222 UU Pemilu jika ia sengaja dirancang untuk menguntungkan kekuatan-kekuatan politik yang menyusun norma itu sendiri, dan merugikan secara nyata kekuatan politik yang tidak ikut dalam merumuskannya.

  1. Presidential Treshold 20 % Merusak Rasionalitas dan Daulat Rakyat

Pemberlakuan Presidential Treshold 20 % merusak rasionalitas dan makna daulat rakyat dalam kontestasi pemilu. Pasal 222 UU Pemilu merugikan dan amat jauh dari rasa adil bagi partai politik peserta Pemilu 2019 yang tidak diberi kesempatan mengajukan calon presiden dan wakil presiden karena tidak memiliki kursi atau suara dalam Pemilu 2014.

Menggunakan hasil pemilu anggota DPR pada pemilu sebelumnya sebagai dasar penentuan hak partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon Presiden (dan wakil presiden) adalah tidak adil.

  1. Dinamika Politik Amat Mungkin Berubah Secara Drastis

Pertanyaan mendasar dapat diajukan terkait dengan frasa ‘pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Pemilu: apakah dukungan ‘kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pemilu anggota DPR sebelumnya’ bisa menjadi jawaban untuk membangun stabilitas pemerintahan? Pada titik inilah muncul masalah hukum dan politik yang sangat mendasar.

Dengan menggunakan hasil Pemilu anggota DPR 2014 sebagai ambang batas mengajukan calon presiden dan wakil presiden Pemilu 2019, bagaimana memastikan bahwa partai politik peserta Pemilu Legislatif 2019 yang berasal dari partai politik hasil Pemilu 2014 tetap mampu memiliki kursi atau suara sah secara nasional; paling tidak sama dengan capaian pada Pemilu 2014? Bagaimana mungkin argumentasi untuk membangun stabilitas tersebut dapat dibenarkan jika peluang partai politik peraih kursi atau suara sah tidak bisa dijamin untuk dapat bertahan di DPR?

  1. Presidentian Treshold 20 % Mengamputasi Pilihan Rakyat

Penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden potensial mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan. Dengan rezim presidential threshold masyarakat tidak memiliki kesempatan luas untuk mengetahui dan menilai calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan partai politik peserta pemilu. Dengan membuka kesempatan kepada semua partai politik peserta pemilu mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden, masyarakat dapat melihat ketersediaan calon pemimpin bagi masa depan.

Penyelenggaraan pemilu Presiden dan Wakil Presiden serentak dengan pemilu DPR, pembentuk undang-undang telah kehilangan dasar argumentasi konstitusional untuk terus mempertahankan rezim ambang batas (presidential threshold) yang telah dipraktikkan sejak Pemilu 2004. Dengan penggabungan penyelenggaraan pemilu presiden (dan wakil presiden) dengan pemilu anggota legislatif (DPR), Mahkamah Konstitusi harus pula meninggalkan pandangan yang selama ini membenarkan rezim ambang batas. Wallahu a’lamu bish-shawab.

 

* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply