Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Respons Terhadap Pengukuhan Majelis Masyayikh Pesantren oleh Menteri Agama

×

Respons Terhadap Pengukuhan Majelis Masyayikh Pesantren oleh Menteri Agama

Share this article

Oleh: Muhammad Chirzin*

 

Menteri Agama mengukuhkan 9 Kiai sebagai Majelis Masyayikh

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas secara resmi mengukuhkan Majelis Masyayikh yang terdiri dari sembilan orang kiai. Prosesi pengukuhan tersebut digelar di Auditorium H.M. Rasjidi, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat pada Kamis (30/12). Menag Yaqut mengatakan, Majelis Masyayikh merupakan bentuk dari rekognisi negara terhadap kekhasan pendidikan pesantren melalui proses penjaminan mutu yang dilakukan dari, oleh, dan untuk pesantren.

“Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren mengamanatkan terbentuknya Majelis Masyayikh sebagai instrumen penting guna mewujudkan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren,” kata Menag.

Gus Yaqut, nama sapaannya, menjelaskan bahwa Majelis Masyayikh adalah lembaga mandiri dan independen yang keanggotaannya berasal dari Dewan Masyayikh. Mekanisme pemilihan Majelis ini dilakukan oleh Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) yang berasal dari unsur pemerintah, asosiasi pesantren berskala nasional.

“Proses panjang telah dilakukan untuk dapat menetapkan anggota Majelis Masyayikh, dimulai dari pembentukan AHWA, penjaringan calon, sampai akhirnya mereka yang dipilih berdasarkan rumpun ilmu agama Islam,” jelas Gus Yaqut.

“Selaku Menteri Agama, saya berpandangan bahwa ini adalah hasil terbaik dari ikhtiar kita semua, teriring harapan yang disematkan kepada anggota Majelis Masyayikh yang terpilih untuk dapat membawa Pendidikan Pesantren menjadi makin unggul dalam menjawab tantangan zaman,” tambahnya.

Pada kesempatan yang sama, Muhammad Ali Ramdhani, Direktur Jenderal Pendidikan Islam, memaparkan bahwa berdasarkan usulan AHWA, Menteri Agama menetapkan anggota Majelis Masyayikh berjumlah ganjil, yaitu paling sedikit sembilan orang dan paling banyak berjumlah 17 orang, dengan merepresentasikan rumpun ilmu agama Islam. Penetapan Majelis Masyayikh masa khidmat pertama tahun 2021-2026 ini merujuk pada Keputusan Menteri Agama Nomor 1154 Tahun 2021.

“Kami berharap melalui momentum Pengukuhan Majelis Masyayikh ini dapat memperkuat sistem dan mutu pesantren, baik itu dari sisi lembaga maupun lulusannya, sehingga ke depan kontribusi para santri dapat senantiasa menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks,” ujar Ramdhani.

Berikut ini sembilan nama yang dikukuhkan sebagai anggota Majelis Masyayikh:

  1. KH. Azis Afandi (Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat)
  2. KH. Abdul Ghoffarrozin, M.Ed (Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah)
  3. Dr. KH. Muhyiddin Khotib (Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur)
  4. KH. Tgk. Faisal Ali (Pesantren Mahyal Ulum Al-Aziziyah, Aceh Besar, Aceh)
  5. Nyai Hj. Badriyah Fayumi, MA (Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Bekasi, Jawa Barat)
  6. Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun (Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah)
  7. KH. Jam’an Nurchotib Mansur/Ust. Yusuf Mansur (Pesantren Darul Qur’an, Tangerang, Banten)
  8. Prof. Dr. KH. Abd. A’la Basyir (Pesantren Annuqoyah, Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur)
  9. Dr. Hj. Amrah Kasim, Lc, MA (Pesantren IMMIM Putri, Pangkep, Sulawesi Selatan)

Demikian siaran pers Kemenag yang dipublikasikan oleh Humas.

Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tersebut mendapat respons dari beberapa pihak secara individual, antara lain oleh Dr. Anang Rikza Masyhadi, Pimpinan Pondok Pesantren  Tazakka Batang Jawa Tengah, dan Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MPR RI.

Menurut Dr. KH. Anang Rikza Masyhadi, keanggotaan Majelis Masyayikh itu atas dasar proporsionalitas dan rumpun ilmu. Hal ini dalam PMA sebagai turunan UUP. Rumpun ilmu ok, clear.

Tetapi, yang kita pahami dari proporsionalitas adalah keterwakilan varian-varian pesantren dalam UUP. Mengapa? Karena dalam UU maupun KMA, tugas dan fungsi Majelis Masyayikh itu sebagai penjamin mutu akan bersinggungan dengan varian-varian pesantren tersebut. Maka, menjadi aneh jika komposisi Majelis Masyayikh tidak mengakomodasi keterwakilan varian-varian pesantren di seluruh Indonesia.

Dalam komposisi Majelis Masyayikh ini sama sekali tidak ada wakil dari varian muallimin. Dari varian salafiyah pun juga bukan yang diusulkan oleh FKPM. Padahal, UUP itu dilahirkan dengan perjuangan keras semua pihak, termasuk kolaborasi yang indah antara salafiyah dan ashriyah (muallimin). Maka, menafikan keberadaan unsur muallimin dalam Majelis Masyayikh itu dapat disebut sebuah pengkhianatan.

Mestinya Ahlul Halli Wal ‘Aqdi (AHWA) yang memutuskan, Menag tinggal menetapkan.

Kenapa ada AHWA, karena supaya independensinya terakomodasi, dan supaya tidak ada campur tangan Menag. Karena di PMA Menag hanya menetapkan. Dan Menag pun tidak boleh mempersonifikasi masalah ini. Inilah yang dikhawatirkan banyak pihak yang menolak Undang-Undang Pesantren kemarin.

Mengkritisi Penetapan Majelis Masyayikh Pesantren oleh Menag, Hidayat Nur Wahid berpendapat bahwa itu belum merepresentasikan tiga jenis Pesantren yang diakui Undang-Undang.

“Saya melihat dari anggota Majelis Masyayikh yang terpilih, tidak ada yang berasal dari pesantren dengan pola pendidikan mualimin. Padahal itu diakui oleh UU Pesantren, dan faktanya banyak juga pesantren dengan pola Muallimin itu,” tambahnya.

Anggota Komisi VIII DPR RI sekaligus Wakil Ketua MPR RI Dr. HM. Hidayat Nur Wahid, MA mengkritisi penetapan anggota Majelis Masyayikh sesuai UU Pesantren oleh Menteri Agama, setelah proses pemilihan oleh Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) yang juga pernah dikritisi publik.

Sikap kritis HNW—sapaan akrabnya—tersebut karena belum terpenuhinya asas representatif yang dapat mewakili tiga jenis pesantren yang diakui di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Padahal, menurutnya, hal tersebut sangat dipentingkan, apalagi ini sebagai bentukan awal, yang akan dirujuk dan menjadi pola untuk yang berikutnya. Karenanya mestinya menghadirkan “sunnah hasanah” atau tradisi yang baik, benar, dan adil, dengan mengakomodasi secara proporsional representasi dari tiga jenis Pesantren yang diakui oleh Pasal 2 ayat (2) UU Pesantren, yakni Pesantren yang mengkaji kitab kuning (Tradisional), Pesantren dengan sistem Muallimin (Modern), dan Pesantren yang memadukan antara Ilmu Umum dan Agama.

“Saya mengapresiasi dibentuknya Majelis Masyayikh, dan ditetapkannya para Kiai dan Nyai sebagai anggota Majelis Masyayikh. Namun, baru saja diumumkan, saya mendapatkan masalah yang juga merupakan aspirasi komunitas Pesantren yang mengkritisinya, karena bila diperhatikan komposisi Majelis Masyayikh yang terpilih belum merepresentasikan tiga jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren. Kemungkinan baru mewakili dua dari tiga jenis saja, yaitu Pesantren Salafiyah (yang mengkaji kitab kuning), dan Pesantren yang mengintegrasikan antara pendidikan Agama dengan pendidikan Umum, sementara yang jenis Muallimin (Modern), yang Pesantrennya juga besar dan banyak, malah belum terwakili sama sekali. Mestinya Majelis Masyayikh sesuai dengan prinsip Ahlul Halli wal ‘Aqdi (AHWA), merepresentasikan secara adil dan proporsional semua jenis Pesantren yang diakui oleh UU Pesantren,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (30/12/2021).

HNW mengatakan bahwa UU Pesantren mengklasifikasi tiga jenis pesantren, yakni pesantren yang mengkaji kitab kuning, pesantren berbentuk dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Mualimin; dan pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum. “Ini menunjukkan bahwa UU Pesantren dibuat dan disepakati berlaku untuk semua kalangan, bukan hanya golongan tertentu saja. Sesuai realita keragaman pesantren dan perkembangannya, sejak Indonesia belum merdeka hingga UU Pesantren disahkan pada tahun 2019,” ujarnya.

“Saya melihat dari anggota Majelis Masyayikh yang terpilih, tidak ada yang berasal dari pesantren dengan pola pendidikan mualimin. Padahal itu diakui oleh UU Pesantren, dan faktanya banyak juga pesantren dengan pola Muallimin itu,” tambahnya.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menambahkan, bahwa peraturan perundang-undangan memang tidak secara spesifik mengatur keharusan adanya keterwakilan tersebut, tetapi di negara Pancasila yang mempraktikkan demokrasi, dan Agama Islam yang perintahkan pemenuhan keadilan, tentu saja asas perwakilan dan musyawarah yang ada dalam sila keempat Pancasila harus dirujuk. Dan hal itu perlu dikedepankan sebagai konsekuensi logis dan kelaziman aturan hukum dari adanya klasifikasi tiga jenis pendidikan Islam, yaitu pesantren yang diakui oleh UU dan juga oleh Negara (Kementerian Agama). Apalagi, Majelis Masyayikh diberi kewenangan oleh UU dan peraturan pelaksananya untuk melaksanakan tugas yang sangat mendasar dan penting terkait dengan pesantren.

Pasal 29 UU Pesantren menyebutkan Majelis Masyayikh memiliki tugas, sebagai berikut:

  1. a) Menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren;
  2. b) Memberi pendapat kepada Dewan Masyayikh dalam menentukan kurikulum Pesantren;
  3. c) Merumuskan kriteria mutu lembaga dan lulusan Pesantren;
  4. d) Merumuskan kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan;
  5. e) Melakukan penilaian dan evaluasi serta pemenuhan mutu; dan
  6. f) Memeriksa keabsahan setiap syahadah atau ijazah santri yang dikeluarkan oleh Pesantren.

Pasal ini niscaya menjadi pasal yang dirujuk sebagai rincian atas Pasal 20 ayat (2) yang membatasi, tetapi tidak sinkron dengan tiga jenis Pesantren yang diakui oleh UU Pesantren.

“Dengan kewenangan dan tugas yang sangat strategis, penting, dan mencakup semua jenis Pesantren tersebut, maka sudah sewajarnya bila anggota Majelis Masyayikh merepresentasikan semua jenis pesantren yang ada dan diakui dalam UU Pesantren.”

Oleh karena itu, HNW berharap Menteri Agama dan AHWA segera mengoreksi kebijakannya dengan menambahkan jumlah anggota Majelis Masyayikh, agar merepresentasikan tiga jenis pesantren yang diakui oleh UU Pesantren. Apalagi, Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pendidikan Pesantren menyebutkan, bahwa Majelis Masyayikh minimal terdiri dari 9 orang dan maksimal 17 orang. Sekarang baru ditunjuk 9 orang saja, yang kemungkinan baru mewakili 2 dari 3 jenis Pesantren yang diakui oleh UU dan yang secara nyata ada dan diakui kiprahnya oleh masyarakat.

“Saat ini sudah ditetapkan 9 orang anggota Majelis Masyayikh. Maka demi kemaslahatan Pesantren dan tegaknya UU secara adil dan benar, sewajarnya bila Menag dan AHWA segera melakukan koreksi dan perbaikan, dengan menambahkan anggota Majelis Masyayikh, hingga dapat memenuhi asas keadilan dan representasi semua jenis pesantren yang diakui di dalam UU Pesantren. Agar Majelis Masyayikh dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara baik dan benar untuk berkhidmat kepada semua jenis Pesantren, bukan hanya kepada/untuk sebagian jenis Pesantren saja, dengan mengesampingkan jenis Pesantren lain yang sama kedudukannya di hadapan hukum, yaitu UU Pesantren.”

Kelompok yang kontra Keputusan Menag soal Majelis Masyayikh menyampaikan pandangan via siaran pers sebagai berikut.

Bahwa Keputusan Menag Soal Majelis Masyayikh Dinilai Cacat Hukum.

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dianggap telah berbohong kepada publik dalam pernyataannya tentang pengukuhan Majelis Masyayikh, Kamis (30/12). Bahkan keputusan pengukuhannya atas Majelis Masyayikh itu dinilai inkonsitusional alias cacat hukum, dan harus dibatalkan.

“Apa yang dikatakan Menag tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya,” kata KH. Ahmadie Thaha, pengasuh pesantren, usai mengikuti petemuan dengan para kyai yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pesanten Muadalah (FKPM), tadi malam. “Bahkan keputusan pengukuhan Menag itu cacat hukum, dan harus dibatalkan.”

Sebelumnya, dalam siaran pers yang dirilis Kemenag disebutkan, Menag secara resmi telah mengukuhkan sembilan orang kiai sebagai pengurus Majelis Masyayikh Pesantren. Pada kenyataannya, menurut Ahmadie yang anggota Majelis Syura Persatuan Ummat Islam (PUI), Menaglah yang memilih nama-nama yang harus duduk di Majelis Masyayikh.

Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, Majelis Masyayikh harus dibentuk sebagai instrumen Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren. Mutu ini meliputi aspek peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya, penguatan pengelolaan, serta peningkatan dukungan sarana dan prasarana pesantren.

Dalam pasal 69 dari UU Pesantren itu ditegaskan, Menteri hanya bertugas menetapkan Majelis Masyayikh. Sementara itu, demi kemandirian yang menjadi ciri khas pesantren yang diakui Undang-Undang, proses pemilihan bakal calon anggota Majelis Masyayikh hingga penetapannya sebagai calon untuk selanjutnya diserahkan ke Menag agar ditetapkan melalui keputusan menteri, sepenuhnya merupakan kewenangan Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA).

Kyai Ahmadie yang juga wartawan senior mencatat setidaknya dua dari sembilan Tim AHWA menjelaskan dalam rapat  FKPM bahwa,  Menag telah melampaui kewenangannya dengan “memilih” sembilan orang dari 21 nama (semula 22) pilihan AHWA yang menyatakan bersedia menjabat Majelis Masyayikh.

“Betul, Menag yang memilih kesembilan nama itu, lalu menetapkan dan mengukuhkan mereka sebagai Majelis Masyayikh,” kata KH. Ahmad Taufiq A. Rahman, salah seorang anggota Tim AHWA, ke peserta rapat. “Saya sangat kecewa dengan keputusan Menag yang mencoret sebagian besar nama yang kami sampaikan untuk dikukuhkan.”

Anggota Tim AHWA lainnya, KH. Agus Budiman, membeberkan proses panjang pemilihan Majelis Masyayikh yang ditugaskan kepada pihaknya. Terakhir, Tim ini berhasil menyeleksi bakal calon, selanjutnya Tim memilih 22 nama sebagai calon tetap Majelis Masyayikh.

Karena terdapat seorang calon yang menyatakan tak bersedia, akhirnya Tim AHWA menetapkan 21 nama. Sesuai peraturan, ke-21 nama inilah yang disampaikan AHWA kepada Menag. Tugas Menag selanjutnya, sesuai peraturan, mestinya menetapkan calon yang diajukan AHWA tersebut sebagai anggota Majelis Masyayikh dengan jumlah minimal 9 orang hingga maksimal 17 orang.

“Namun, Menag bukannya menetapkan nama-nama calon yang disampaikan Tim AHWA, tapi malah memilih hanya sembilah nama,” tegas Kyai Agus Budiman. Kesembilan nama itu pun hanya berasal dari kelompok atau unsur pesantren salafiyah, dengan menafikan keberadaan wakil dari pesantren khalafiyah (modern).

Menurut Kyai Agus, sebetulnya Tim AHWA melalui musyawarah mufakat telah sepakat memutuskan agar jumlah anggota Majelis Masyayikh diambil maksimal, yaitu 17 orang. Alasannya, karena ini Majelis Masyayikh yang pertama, yang harus bekerja ekstra dalam menata organisasi dan membuat peraturan terkait penjaminan mutu pesantren.

Itu sebabnya, pihaknya mengajukan 21 nama, agar Menag menetapkan 17 orang di antaranya. Namun yang terjadi, Menag malah membonsai Majelis Masyayikh hanya terdiri sembilan orang, dengan menyingkirkan sebagian besar nama yang diajukan Tim AHWA.

Yang jauh lebih mengecewakan Kyai Agus, itu tadi, Menag dalam keputusannya melabrak prinsip proporsionalitas yang diamanatkan peraturan perundang-undangan, sehingga membuat keputusannya menyimpang. “Menag telah bertindak sektarian. Ini sungguh absurd dan keputusan sembrono,” tegasnya.

Ahmadie Thaha menyebut, dalam formasi Majelis Masyayikh tersebut memang tidak terdapat wakil dari pesantren muadalah. “Ini betul-betul penghinaan terhadap keberadaan pesantren muadalah,” katanya. “Bagaimana mungkin pemerintah menafikan keberadaan pesantren muadalah dengan tidak diberi wakil untuk duduk di Majelis Masyayikh?”

Itu sebabnya, dalam rapat tersebut Sekjen FKPM KH Lukmanul Hakim menyatakan akan berjuang sekuat tenaga untuk meluruskan keputusan Menag terkait Majelis Masyayikh. Jika Menag tak mencabut keputusannya, atau paling tidak memperbaikinya, bukan mustahil pihaknya atau pihak-pihak lain akan menggugatnya di pengadilan.

Dia menjelaskan, pihaknya di FKPM sungguh serius dalam membuat usulan nama-nama untuk dibawa Tim AHWA. Nama-nama itu telah digodog dan dibahas dalam beberapa kali rapat, dengan harapan Majelis Masyayikh dapat mengemban tugasnya yang berat meningkatkan mutu pesantren.

Namun, dengan komposisi Majelis Masyayikh seperti sekarang yang tak melibatkan beragam unsur pesantren, dia mempertanyakan kesungguhan Kementerian Agama dalam meningkatkan dan menjamin mutu pesantren.

Semoga Menag dengan bijak dapat menerima masukan dari berbagai pihak tentang Penetapan Anggota Majelis Masyayikh Pesantren tersebut untuk kemaslahatan umat dan bangsa, amin.

 

* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply