Oleh: Agusliadi Massere*
Hidup sesuai harapan atau impian, baik secara personal maupun kolektif tanpa kecuali konteks kehidupan yang lebih besar dan/atau luas, sangat tergantung atas karakter yang mewarnai dinamika kehidupannya. Seseorang yang hidupnya “baik” atau “buruk”, begitupun bangsa, negara, bahkan peradaban yang mengalami “kemajuan” atau pun sebaliknya “kemunduran”, jika kita mau jeli dan teliti mengamatinya, maka di dalamnya terjadi apa yang disebut dengan “krisis karakter”. Kata kuncinya adalah “karakter”.
Karakter meskipun secara kategoris dibedakan menjadi dua: “positif” dan “negatif”, namun dalam suatu harapan seringkali identik dengan “karakter positif”. Jika meminjam defenisi Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag, penulis buku Islamic Character Building: Membangun Insan Kamil Cendekia Berakhlak Qurani, karakter adalah “Kecenderungan hati (sikap, attitude) dalam mereaksi sesuatu serta bentuk perilakunya (behavior). Jadi karakter adalah “sikap” plus “perilaku”. Saya tambahkan dan tegaskan bahwa perilaku yang dimaksud yang bisa menjadi atau terakumulasi sebagai karakter adalah perilaku yang diulang-ulang atau dibiasakan, telah menjadi kebiasaan.
Ketika suatu bangsa disinyalir mengalami “krisis kepemimpinan” sebagai salah satu kausalitas atas ketertinggalannya, sesungguhnya di dalam krisis yang dimaksud ini, identik dengan “krisis karakter”. Begitupun ketika Yudi Latif mengulas tentang “Ada[nya] keluhan panjang dan luas tentang krisis keteladanan”, dan akhirnya Yudi terinspirasi menuliskan satu karya yang luar biasa Mata Air Keteladanan Pancasila Dalam Perbuatan, sesungguhnya ini berbicara dan identik dengan pembahasan “karakter” khususnya “karakter positif” yang harus diteladani oleh anak bangsa.
Karakter, menurut Asep dan saya sepakat, sama dengan apa yang disebut dan dimaknai sebagai “akhlak” dalam bahasa agama. Karakter positif adalah akhlak al-karimah. Ibarat perjalanan, karakter bukanlah langkah awal, meskipun bukan pula langkah terakhir. Ada beberapa hal dan terakumulasi, sebelum menjadi karakter. Begitupun karakter, setelahnya bermuara pada satu hasil yang disebut pula dengan “nasib”. Jika hal-hal yang menjadi bagian dari sebelum karakter itu positif, maka karakternya akan positif pula, dan selanjutnya hasilnya atau pun “nasib”-nya akan positif. Dan sebaliknya akan menghasilkan karakter dan nasib “negatif”.
Sesuatu yang telah menjadi “karakter” maka selangkah lagi akan menentukan “nasib”. Sebagaimana telah saya jelaskan di atas, ada beberapa hal dan yang terakumulasi sebelum karakter, yang paling awal adalah—dalam konteks tulisan ini—“sikap”. Sikap sebagaimana yang diterangkan oleh Asep di atas adalah “kecendrungan hati”. Meskipun demikian, sikap sebagaimana dalam—alur yang saya sebut “faktor dan pencapaian nasib”—sebagai interpretasi dari gambar model Quantum Ikhlas Erbe Sentanu, menurut saya adalah “perasaan” dan “pikiran”.
Menurut Sentanu, semua “nasib” terbuat dari unsur “perasaan”. Alur yang saya maksud bisa digambarkan seperti ini: perasaan//pikiran//tindakan//kebiasaan//karakter//nasib. Jadi sebelum menjadi karakter, maka sebelum hal itu adalah berupa kebiasaan. Sebelum menjadi kebiasaan hal tersebut adalah tindakan/perilaku/behavior. Sebelum menjadi tindakan, adalah berupa pikiran, dan sebelumnya itu adalah perasaan.
Jika mencermati defenisi Asep dan gambaran Sentanu, “sikap” adalah “perasaan”. Namun, berbeda dari keduanya, saya sendiri berpendapat lain, bahwa yang dimaksud sikap adalah sesuatu yang tak tampak, yang di dalammya meliputi bukan hanya “perasaan”, tetapi termasuk “pikiran”. Pendapat saya ini, mendapatkan inspirasi utama dari dua karya Dr. Ibrahim Elfiky yaitu buku Terapi Berpikir Positif (2008), dan buku Dahsyatnya Berperasaan Positif (2010).
Dari Ibrahim Elfiky, saya memahami bahwa antara perasaan dan pikiran, sebenarnya dua hal yang terintegrasi atau terpadu, dan saling menguatkan. Belum lagi masih dalam perdebatan, terkait “segumpal daging” yang menentukan baik tidaknya seseorang, ada yang menyimpulkan “heart” (hati, dalam hal ini jantung) dan ada pula yang menyimpulkan dengan argumentasi rasional dan empiris itu adalah “otak”. Dalam tulisan ini, saya pun kembali mengajak untuk sementara tidak fokus dalam perdebatan antara “hati” dan “otak”.
Pembaca mungkin sudah sepakat, jika saya menyimpulkan atau khusus dalam tulisan ini saja—jika masih ragu—bahwa apa yang dimaknai sebagai sikap, selain sebagaimana defenisi di atas, adalah perasaan dan pikiran. Menjaga sikap, sebagaimana judul di atas itu berarti, selain (menyebut) menjaga “kecenderungan hati” sesuai defenisi yang ada, termasuk menjaga “perasaan” dan “pikiran”. Bahkan saya yakin, bahwa yang dimaknai sebagai “niat” pun bisa dikategorisasikan sebagai “sikap”.
***
Semua, dan siapa pun tanpa kecuali, sesungguhnya berharap bisa menuai “nasib” yang positif atau baik. Namun yang perlu kita pahami dan sadari, bahwa nasib positif atau baik, itu harus diawali dengan menjaga karakter. Sedangkan untuk menuai karakter positif, maka kita perlu menjaga kebiasaan. Untuk menuai kebiasan positif, maka harus menjaga tindakan, untuk menuai tindakan positif, maka kita harus menjaga sikap dalam hal ini pikiran dan perasaan. Inilah alasan utama, sekaligus ilustrasi awal, mengapa saya, memilih judul “Menjaga Sikap Menuai Karakter”. Meskipun sebenarnya, niat awal ingin melengkapi dengan judul “Menjaga Sikap Menuai Karakter dan Nasib”.
Seseorang pernah berkata ke saya, “kenapa dia selalu berbuat seperti itu Kak, padahal itu kurang bagus, dan saya yakin dia sadari dan paham bahwa itu tidak tepat?” Saya menjawab dengan singkat, “berdasarkan pengamatan saya, itu sudah menjadi karakternya”. Butuh waktu yang cukup untuk mengubahnya.
Dalam keluarga, ada keponakan yang menurut saya sudah mulai menunjukkan sikap dan bahkan diikuti tindakan, serta sudah mulai terbiasa “kurang peduli”. Ketika sedang asyik main game di ponselnya, pesan yang masuk bahkan telpon darurat pun tidak pernah digubris. Padahal ponselnya tidak pernah terlepas dari tangannya atau jauh dari dirinya. Dari hal tersebut, saya meminta kepada istri, untuk menyampaikan ke orang tuanya, agar segera diperhatikan dan ditegur, mumpung belum menjadi karakter. Karena ketika sudah menjadi karakter, maka karakter yang akan dihasilkan adalah “ketidakpedulian”.
Sama halnya, ketika ada siswa sudah mulai sering “nyontek” pada saat ujian, harusnya segera ditegur dan harus ada langkah konkret serta tegas. Karena jika dibiarkan terus menerus, maka kelak akan melahirkan karakter “tidak atau kurang jujur”, dan selanjutnya bisa berujung pada nasib “tidak jujur” seperti menjadi koruptor ketika berada dalam lingkaran kekuasaan.
Saya pun pernah berkata dan menyampaikan satu hal penting kepada teman. Bahwa seorang pimpinan dalam lingkup birokrasi pemerintahan tertentu, akan terasa berat (untuk tidak mengatakan mustahil) melakukan atau memberikan pelayanan maksimal kepada publik, jika dalam dirinya, personal pimpinan tersebut masih punya kebiasaan “untuk mau dilayani kebutuhan pribadinya (bukan urusan kantor) yang masih bisa dilakukannya sendiri”, oleh seorang stafnya.
Gambaran kebiasaan terakhir di atas adalah sikap yang akan berujung pada karakter. Sikap yang berpotensi (atau sudah) menjadi karakter ini, saya sering temukan. Hal sebaliknya pun saya sering temukan dalam tulisan-tulisan atau informasi yang saya yakini kebenarannya. Sebagai satu contoh saja, bahwa seorang Buya Ahmad Syafii Maarif tidak pernah meminta (dan bahkan tidak mau) dibawakan kopernya oleh staf atau karyawannya, selama dirinya masih mampu menjinjingnya. Meskipun (terutama) pada saat itu adalah posisinya sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.Termasuk dirinya rela ikut antre mendapatkan layanan dalam lembaga yang dipimpinnya sendiri.
Menuai karakter positif bukanlah sesuatu yang mudah, sehingga saya pun masih kurang sepakat dengan istilah “revolusi mental”, “revoluasi karakter”, dan/atau “revolusi akhlak”. Saya masih tetap pada kseimpulan, yang mungkin bisa bersifat sementara, bahwa transformasi karakter atau pun akhlak bukanlah sesuatu yang bersifat “revolutif” (dalam makna tiba-tiba, cepat atau massif). Keduanya adalah sesuatu yang perlu didorong secara evolutif (minimal dalam pemaknaan, butuh waktu yang cukup).
Menuai karakter positif, harus dimulai sejak dini memperhatikan dengan baik seperti apa sikap (kecenderungan hati, perasaan, dan pikiran) kita serta perilaku yang dilakukan dan bahkan mulai terbiasakan. Mulai dari hal yang paling kecil. Seperti jika kita adalah pimpinan dalam suatu lembaga tertentu, jika sesuatu itu masih bisa kita lakukan sendiri, kita punya kesempatan, dan itu menyangkut (murni) kebutuhan pribadi (bukan dalam konteks urusan kantor), maka saya pribadi atau sebaiknya kita melakukannya sendiri, tanpa meminta staf melakukannya, meskipun saya atau kita tahu, bahwa “dia” tidak akan menolak jika menyuruhnya apalagi dengan bahasa “minta tolong”.
Contoh terakhir di atas, dalam konteks birokrasi yang memiliki spirit “melayani” publik memiliki urgensi, signifikansi dan implikasi besar. Berat, meskipun tidak mengatakan mustahil, akan mampu memberikan pelayanan maksimal kepada publik, jika dalam diri kita justru ada karakter “selalu mau dilayani”. Mungkin pembaca yang telah sampai pada uraian ini, bisa mengintrospeksi diri. Meskipun ini terkesan sepele tetapi dalam perspektif “sikap dan karakter” dan “busur dua derajat”-nya Syahril Syam dampaknya sangat besar. Pertanyaan bagi kita semua, “apakah kita mau menuai karakter sejenis itu?”
****
Sikap sebagai titik awal, jika mengikuti “perspektif hulu-hilir” akan berdampak pada kebiasaan, yang selanjutnya bermuara pada karakter dan nasib. Olehnya itu, perlu mendapatkan perhatian besar dari personalitas diri kita masing-masing. Gagal memperhatikan sikap, sama saja merencanakan “karakter” dan “nasib” buruk dalam hidup dan kehidupan. Kesimpulan ini tentunya memiliki dan mendapat ruang relevansi dalam sunnatullah dan/atau law of attraction yang Allah ciptakan sendiri. Meskipun saya dengan penuh kesadaran tidak menafikan bahwa hak prerogatif Allah, kapan saja bisa hadir memberikan intervensi agar semua berjalan tidak sesuai sunnatullah tersebut.
Sikap harus diarahkan, bahkan dalam pemahaman saya, harus “dipaksanakan” terlebih dahulu jika sulit diarahkan. Terkait hal ini saya menemukan rasionalisasi, bahkan tidak berlebihan jika saya menilai sebagai landasan teologis tentang karakter ini, dari hadits Rasulullah saw yang memerintahkan kepada orang tua untuk menyuruh anak-anak mereka melaksanakan sholat pada umur tujuh tahun dan memukulnya pada umur 10 tahun apabila meninggalkan sholat.
Terma “suruh”, yang menunjukkan bentuk “diarahkan, dan begitupun terma “memukul” adalah menunjukkan “paksaan”. Hal ini bukan berarti bahwa ajaran Islam menafikan tentang “keikhlasan” dan “ketulusan” dalam berbuat, apalagi konsep “kebebasan berkehendak” sebagai sesuatu yang istimewa dalam kehidupan manusia dan ini menjadi kesadaran dan satu nilai utama dalam ajaran Islam.
Terma “suruh” atau “memukul/pukullah” bukan juga berarti bahwa agama mengajarkan kekerasan sejak dini, tetapi sesungguhnya agama Islam sangat memahami bahwa “sikap” (kecenderungan hati) harus diarahkan dan bahkan dipaksanakan agar kelak bisa terwujud menjadi karakter sesuai harapan, begitu pun nasib yang diraih oleh seseorang.
Kesadaran inilah yang menjadi alasan pula, sehingga saya berpesan kepada istri untuk menyampaikan ke orang tuanya, terkait kebiasaan keponakan yang terkesan “kurang peduli” sebagaimana yang telah diceritakan secara singkat di atas. Begitu pun model pimpinan yang saya uraikan di atas. Tanpa kecuali ini pun yang menjadi alasan bagi saya, sehingga di mana-mana saya sering menyampaikan kesimpulan bahwa “nyontek adalah racun bagi pelajar” dan hipotesisnya “kebiasaan nyontek berpotensi menjadi koruptor”.
Sama halnya untuk tulisan-tulisan yang saya produksi selama kurang lebih tiga tahun terakhir secara intens, dan tidak kurang dari seratus judul, saya mengikuti hukum di atas, bahwa sikap ini, saya harus arahkan dan paksakan terlebih dahulu, dengan harapan kelak menjadi karakter. Aktivitas menulis, sebelum menjadi karakter mungkin terasa sulit dan berat, tetapi ketika terus dibiasakan (meskipun dengan prinsip dipaksakan) maka kelak jika sudah menjadi karakter maka akan terasa mudah, bahkan jika sudah menjadi sejenis “nasib” maka aktivitas menulis itu akan terasa sebagai kebutuhan, ibarat “sarapan pagi” diri kita akan gelisah jika dalam sehari tidak menulis atau tidak menyiapkan dan memikirkan tulisan apalagi yang akan diproduksi.
*****
Lalu bagaimana sikap positif lahir, sebagai sesuatu yang menjadi awal atas karakter bahkan nasib. Sikap (kecenderungan hati, pikiran dan perasaan) sesungguhnya bagi saya sendiri, berdasarkan perenungan, pemahaman dan pendalaman adalah hasil akumulasi dari internalisasi nilai dari potensi yang built-in sejak lahir, ilmu pengetahuan yang dipelajari, pengalaman empiris, ajaran dan nilai agama, bahkan bisa pula berupaya hidayah dari Allah atas do’a-do’a yang dimohonkan kepada Allah oleh diri sendiri, keluarga atau orang lain. Bahkan sikap bisa berdasarkan atas “Konsep Diri” yang dimiliki, dipahami dan disadari oleh seseorang. Terkait “Konsep Diri” yang saya rumuskan sendiri salah satunya bisa membaca tulisan saya kemarin dengan judul “Konsep Diri dan Visi Misi Hidup”.
Saya berani menyimpulkan bahwa sikap positif lahir dari hal, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, karena terinspirasi dari istilah “belenggu hati” yang menutupi “suara hati” perspektif Ary Ginanjar Agustian. Menurutnya Ary Ginanjar, sesungguhnya kita memiliki “suara kebenaran” yang diistilahkan pula “God Spot”, hanya saja seringkali ini tidak terdengar karena telah dipengaruhi tertutupi oleh tujuh hal yang disebutnya “belenggu hati”. Ketujuh hal tersebut: prasangka; prinsip-prinsip hidup; pengalaman; kepentingan; sudut pandang; dan literatur.
Andaikan bukan karena kesadaran akan keterbatasan media yang menjadi ruang tulisan ini, rasanya, jemari ini tidak ingin berhenti menari merangkai narasi-narasi. Satu hal terakhir yang ingin saya tegaskan melalui tulisan ini, “Perhatikan dan jagalah sikap kita, karena itu itu akan memengaruhi dan menentukan karakter dan bahkan nasib”.
Apa yang kita alami hari ini, adalah hasil dari perasaan dan pikiran (baca: sikap) kita hari-hari sebelumnya. Dan apa yang akan kita alami pada masa yang akan datang adalah hasil dari perasaan dan pikiran (sikap) kita hari ini. Maka disinilah perlu memperhatikan pernyataan John C. Maxwell “Sikap awal menentukan hasil lebih dari apapun juga”. Begitu pun “Perbuatan ditentukan/dipengaruhi oleh niat”.
* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.