Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Krisis Independensi: Ekspresi Kultural atau Tipu Muslihat Karakter

×

Krisis Independensi: Ekspresi Kultural atau Tipu Muslihat Karakter

Share this article
Oleh: Muhammad Imran Nur (Ketua Bidang PIP PW IPM Sulsel)

KHITTAH.CO – Ketika independensi diretas dan individualitas betul-betul hanya dongeng di negara maju-mundur ini. Berangkat dari pengalaman sebagai pengurus organisasi di tingkat kemahasiswaan, ternyata dunia tidak serasional dengan apa yang dibayangkan banyak orang. Sosok anak muda yang berangkat dari kampung halaman terlena ketika menapaki tempat baru yang tidak ada ujungnya. Bahkan sosok anak pesantren sekalipun tidak bisa menahan gemilaunya dunia baru yang datang dengan berbagai macam warnanya.

Seseorang yang memiliki kemauan kuat untuk membenahi diri seperti di drama ataupun kisah film di layar lebar ternyata tidak cukup hanya dengan itu, tapi harus diimbangi dengan semangat adaptif dan pernyataan sikap yang nyata. Betul kata Chairul Tanjung “Bukan orang yang kaya yang akan bertahan, bukan orang yang berketurunan, bukan orang yang berkuasa yang akan berhasil tapi orang-orang yang adaptif”. Hal tersebut berarti bahwa seseorang sebaiknya menyesuaikan diri dari segala iklim kompetisi, ritme keilmuan, dan semangat saling membesarkan diri, apatah lagi diiringi dengan peryataan sikap dan pilihan.

Orang-orang beranggapan bahwa dirinya netral, padahal sejatinya tidak ada orang yang netral 100% akan tetapi orang-orang bisa dikatakan netral-netral aktif. Sekeras apapun seseorang mengklaim dirinya netral, tetap ia memiliki kecondongan memihak dari salah satu pilihan. Tidak jauh-jauh, berdasarkan pengalaman pribadi, di beberapa momentum skala nasional atau wilayah kita ditempatkan pada posisi yang harus memilih dan tidak boleh abstain terhadap sesuatu, meskipun sebenarnya kita berada di posisi yang sangat berat untuk memihak.

Setiap sikap yang dipilih pasti memiliki konsekuensi. Setidaknya dengan mempertegas suatu pilihan dapat membebaskan rasa ketidak-berpihakan. Mengutip Dante Alighieri dalam novel Inferno “Tempat tergelap di neraka dicadangkan bagi mereka yang bersifat netral disaat krisis”. Konon puisi panjang yang ditulis oleh Dante Alighieri ini mampu membuat jamaah gereja menjadi terguncang dan lebih penuh, membuat dampak psikologi yang sangat dahsyat terutama dalam dosa-dosa yang dilakukan.

Hal menarik terjadi paradoks perasaan dalam memandang keinginan dan keresahan terhadap putusan-putusan yang akan diturunkan. Alighieri walaupun dengan kata-kata tajamnya, kita dapat merefleksi kembali untuk dijadikan bahan evaluasi dalam suara-suara kehakiman independensi di dalam hati. Pertanyaan cultur atau tipu muslihat karakter lagi-lagi kembali menjadi ketimpangan sudut pandang dari berbagai narasi yang diuraikan. Jalan Wasathiah yang perlu dipahami hari ini adalah kedewasaan dalam bersikap menjadi poin yang sangat penting menurut penulis. Dinamika perasaan dapat jadikan spirit positif sebagai semangat menghadapi babak-babak baru di kehidupan yang lebih menantang.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply