Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Anomali IKN dan UU IKN

×

Anomali IKN dan UU IKN

Share this article

Oleh: Muhammad Chirzin

 

KHITTAH.CO, – Istilah Ibu Kota Negara (IKN) viral bersama dengan rencana pindah ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan.

Prof. Azyumardi Azra mengunggah tulisan pakar, Djohermansyah Djohan berikut berjudul: Basis lembaga otorita yang mengurus ibu kota negara tak cocok dengan konstitusi UUD 1945.

BERSULUH matahari, bergelanggang mata orang banyak. Tampak jelas sekali ada anomali dalam format pemerintahan daerah ibu kota negara (IKN) Nusantara. Tidak sesuai dengan pakem. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutnya sebagai model pemerintahan daerah khusus yang “out of the box”.

Pemerintahan daerah ibu kota Nusantara sesuai dengan Undang-Undang IKN Nomor 3 Tahun 2022 berbentuk pemerintah daerah khusus setingkat provinsi. Penyelenggara pemerintahan daerah khusus itu bernama Otorita IKN Nusantara yang dipimpin seorang kepala setingkat menteri. Jadi, meski levelnya provinsi, pemimpin pemerintahannya bukan gubernur, seperti provinsi lain.

Kepala Otorita IKN akan dibantu seorang wakil. Keduanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan masa jabatan lima tahun dan sesudah itu bisa diangkat kembali, jika presiden menghendakinya lagi. Kepala Otorita IKN tidak memiliki ketentuan pembatasan periode jabatan. Dalam pengangkatan dan pemberhentian mereka, presiden hanya disyaratkan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, bukan mengajukan namanya untuk mendapat persetujuan.

Otorita ini mempunyai beban tugas yang luar biasa, extraordinary. Lembaga ini membuat persiapan serta membangun dan memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur hingga mengurus penyelenggaraan pemerintahan daerah. Artinya, pemerintah otorita ini akan menangani berbagai urusan, dari kelahiran penduduk sampai penguburan penduduk yang mati. Bahkan pemerintah otorita boleh menarik pungutan dari masyarakat.

Detail kewenangan khusus pemerintah otorita IKN akan diatur dalam peraturan pemerintah yang sedang digodok sebagai turunan Undang-Undang IKN. Padahal lazimnya selama ini kewenangan pemerintah daerah diatur dalam sebuah undang-undang agar tidak mudah diubah pemerintah yang berganti-ganti sesuai dengan pemenang pemilihan umum.

Warga ibu kota negara Nusantara hanya punya hak suara dalam pemilihan umum nasional, yakni memilih presiden serta anggota DPR atau Dewan Perwakilan Daerah. Mereka tidak bisa memilih pemimpin dan perwakilan mereka dalam sebuah pemilihan lokal, seperti umumnya penduduk provinsi lain memilih gubernur dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Artinya, di IKN Nusantara tidak tumbuh demokrasi lokal. Padahal demokrasi lokal adalah pilar demokrasi nasional.

Jika menengok sejarah selama Republik Indonesia ini terkembang, tidak juga kita jumpai bentuk pemerintahan daerah yang dijalankan oleh suatu otorita. Dalam praktik empiris, dulu pernah ada otorita di bawah pemerintahan daerah, seperti otorita Mentawai di bawah Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Juga sekarang otorita Batam yang kepalanya dirangkap secara ex officio oleh Wali Kota Batam, setelah terjadi konflik yang berlarut-larut antara Pemerintah Kota Batam dan otorita Batam yang merugikan masyarakat.

Kata Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, “Otorita hanya sebuah nama.” Nama itu bisa saja dilekatkan karena IKN Nusantara adalah suatu pemerintah daerah khusus. Nomenklatur dan kelembagaannya “halal” berbeda. Apa benar begitu?

Kendati Otorita IKN dibingkai dengan bungkus pemerintah daerah khusus yang dibentuk berdasarkan Pasal 18B ayat 1, bukan Pasal 18 UUD 1945, tidak berarti formatnya boleh dibuat sesuka hati, mengabaikan spirit otonomi daerah sesuai dengan cita-cita Reformasi.

Format pemerintah daerah khusus berbaju otorita ini mengacu pada konsep desentralisasi asimetris. Pemerintah daerah khusus boleh punya kewenangan dan lembaga yang berbeda dengan daerah-daerah lain seperti telah dipraktikkan cukup lama di Aceh, Papua, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Ibu Kota Jakarta. Negara hasil Proklamasi 17 Agustus 1945 mengakui dan menghormatinya seturut asas rekognisi dengan menerbitkan undang-undang tentang kekhususan atau keistimewaan bagi daerah-daerah tersebut. Pas dengan bunyi Pasal 18B ayat 1 UUD 1945.

Dalam konteks pemerintah daerah khusus IKN Nusantara yang baru saja dibentuk untuk mewujudkan ibu kota negara kelas dunia yang modern, asas rekognisi negara tidak tepat digunakan sebagai dasar. Undang-Undang IKN tidak masuk slot Pasal 18B ayat 1 UUD 1945 sehingga rentan kalah bila ada yang menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi.

Melihat materi kunci Undang-Undang IKN, yang pemerintah daerahnya bersifat khusus, kepala pemerintahan diangkat presiden, tidak ada lembaga DPRD, serta pemilu digelar hanya untuk tingkat nasional, acuan pembentukan yang tepat adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bukan UUD 1945.

Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Pasal 49-53 mengatur bahwa presiden dengan alasan kepentingan strategis nasional bisa membentuk daerah setingkat provinsi. Bahkan pembentukannya cukup dilakukan dengan peraturan pemerintah, sepanjang dikonsultasikan dengan DPR dan DPD.

Presiden bisa mengangkat kepala pemerintah provinsi untuk menjalankan roda pemerintahan daerah tanpa DPRD. Ia juga bisa diberi portofolio setingkat menteri mengingat beban tugasnya yang harus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga. Mengapa bisa? Sebab, tipenya adalah provinsi administratif, bukan otonom. Ini cocok dengan desain IKN Nusantara pemerintah pusat.

Provinsi administratif IKN Nusantara mendapat dukungan penuh pemerintah pusat melalui badan otorita pembangunan IKN yang diberi waktu persiapan awal lima tahun dan sesudah itu bisa diperpanjang untuk menyiapkan sarana dan prasarana serta mengatur pemindahan aparatur sipil negara sesuai dengan rencana induk hingga 2045.

Jadi otorita tidak dicampur (blended) dengan penyelenggara pemerintahan provinsi administratif. Otorita bertugas membangun IKN dan memindahkan pegawai negeri, sementara pemerintah provinsi administratif mengurus penyelenggaraan pemerintahannya. Diversifikasi dalam menjalankan tugas yang berat dan kompleks sejalan dengan teori organisasi pemerintahan modern. Bila kedua institusi yang berbeda peran itu disatukan, rawan terjadi defisiensi. Selain itu, mencari orang yang jago dalam pemerintahan sekaligus dalam pembangunan kota untuk memimpin lembaga otorita tidak gampang.

Pemerintahan daerah administratif juga bukan hal baru dalam sejarah pemerintahan daerah kita. Format ini pernah diatur dalam UUD 1945, sebelum diamendemen dengan istilah “daerah administrasi” belaka. Banyak sekali pemerintah daerah pada era Orde Baru yang menerapkannya dalam bentuk kota administratif. Di DKI Jakarta, keenam wilayah kotanya saat ini memakai bentuk administratif. Wali kota dan bupatinya diangkat oleh Gubernur DKI dan di wilayah kota tidak ada DPRD. DPRD hanya ada di tingkat provinsi. Pemerintahannya ternyata malah sangat efektif.

Dengan demikian, mekanisme pembentukan daerah khusus semestinya berpijak pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Sedangkan pengaturan susunan, kewenangan, urusan pemerintahan, kelembagaan, perangkat, rencana induk pembangunan, pendanaan, hubungan antar-pemerintah, dan pemindahan ibu kota, termasuk badan otorita, diatur melalui Undang-Undang IKN sebagai payung kebijakan.

Hingga kini, kita memang belum punya undang-undang yang khusus mengatur IKN. Jadi keberadaan Undang-Undang IKN sendiri sudah betul, asalkan tidak dicampur baur dengan pembentukan IKN Nusantara. Hal ini penting menjadi perhatian agar tidak terulang kasus penerapan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang ini hanya menempelkan status ibu kota negara pada Provinsi DKI Jakarta sehingga tanggung jawab pemerintah pusat sebagai empunya ibu kota negara menjadi “kabur”. Jakarta tak mendapat dana alokasi umum seperti provinsi lain, juga tak memperoleh dana kewenangan khusus sebagai ibu kota negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pemerintah pusat membiarkan Provinsi DKI Jakarta mengatasi sendiri aneka masalah yang menderanya.

Terlepas dari apakah ibu kota bisa pindah mulai semester I 2024 dari Jakarta ke Nusantara atau tidak, sebaiknya format pemerintah daerah khusus bernama Otorita IKN Nusantara ditinjau ulang.

Sebaiknya otorita yang diatur dalam Undang-Undang IKN hanya berwenang di bidang pembangunan dan pemindahan IKN. Penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus ibu kota negara tetap dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan provinsi administratif. Jika Ibu Kota Nusantara kelak memang berkembang menjadi pusat perekonomian Indonesia seperti keinginan pemerintah dalam Undang-Undang IKN, status provinsi administratif bisa dinaikkan menjadi provinsi otonom.

* Koreksi 21 Februari 2022 pukul 9.11 WIB pada nomor UU IKN.

Prof Noor Harisudin menulis pesan di grup WA PROFESOR PTKIN: Monggo Prof Chirzin, UU IKN dipelajari.

***

Saya pun menanggapinya demikian.

Sebelumnya, saya ingin mencatat beberapa kejanggalan dalam UU IKT tersebut. Ketepatan saya sudah membacanya sebelum Prof. Noor Harisudin mengunggahnya di grup WA.

Dari salinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.

BAB I Pasal 1 ayat (2). Ibu Kota Negara bernama Nusantara dan selanjutnya disebut Ibu Kota Nusantara dst. Jadi, Ibu Kota Indonesia sama dengan Nusantara.

Pasal 2: Ibu Kota Nusantara memiliki visi sebagai kota dunia untuk semua yang dibangun dan dikelola dengan tujuan untuk: a. menjadi kota berkelanjutan di dunia; b. sebagai penggerak ekonomi Indonesia di masa depan; dan c. menjadi simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Visi Ibu Kota Negara demikian bagus, tapi proses penentuan dan penetapan lokasi IKN tersebut tidak mencerminkan ruh Pancasila dan UUD NRI Th 1945.

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang ini dibentuk dan dilaksanakan berdasarkan asas: a. ketuhanan; b. pengayoman; c. kemanusiaan; d. kebangsaan; e. kenusantaraan; f. kebinekatunggalikaan; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; dan k. efektivitas dan efisiensi pemerintahan.

Ayat (2) Pembangunan dan Pengembangan Ibu Kota Nusantara dilaksanakan berdasarkan prinsip: a. kesetaraan; b. keseimbangan ekologi; c. ketahanan; d.  berkelanjutan pembangunan; e.  kelayakan hidup; f. konektivitas; dan g. kota cerdas.

Pertanyaan saya sederhana, ini Undang-Undang Ibu Kota Nusantara, mengapa pasal 3 ayat (1) tentang dasar dan asas pembentukan Undang-undang dan pelaksanaannya, sementara ayat (2) tentang prinsip pelaksanaan pembangunan dan Pengembangan Ibu Kota Negara? Jangan-jangan ayat (1) maksudnya juga tentang Ibu Kota Negara?

Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 kurang apa baiknya, tapi berapa banyak Undang-Undang yang dibuat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945? Dan berapa banyak tindakan pejabat yang bertolak belakang dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945?

Jadi, andaikata  UU IKN itu dianggap OK, apakah itu menjadi prasyarat/memenuhi syarat untuk pindah Ibu Kota Negara, dan menjamin biaya pembangunannya cukup 500 T saja?

Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung saja memaksa Jokowi mengubah janji, dari B to B jadi B to G dengan menggelontorkan APBN 20% pembiayaannya.

Bandara Kertajati yang demikian luas dan megah saja (pernah mampir) sekarang dialihfungsikan menjadi Bengkel Pesawat Terbang.

Pembangunan waduk Bener dan penambangan batu andesit di desa Wadas kok bisa tanpa persetujuan warga?

Memang, segala sesuatu ada hikmahnya.

Apakah Pak Jokowi juga akan mendapat “hikmah pandemi”, 3 Periode???

Wallahu a’lam.

* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UNIMEN

Leave a Reply