Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Menurut Muhammadiyah, Pelihara Anjing Tidak Haram?

×

Menurut Muhammadiyah, Pelihara Anjing Tidak Haram?

Share this article

KHITTAH.co, Kiai Mas Mansyur merupakan salah satu mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ia jugalah yang memelopori berdirinya Majelis Tarjih di Persyarikatan ini.

Kiai Mas Mansyur diketahui sebagai alumni Pesantren Damangan dan pernah belajar di Mekkah selama empat tahun. Tapi, tahukah kita bahwa Ulama Besar Muhamamdiyah ini merupakan pemelihara anjing?

Bahkan, dikisahkan bahwa anjing peliharaan Kiai Mas Mansyur ini pernah membuat Kiai Abdul Wahab Chasbullah, pendiri Nahdhatul Ulama melompat dari tempat duduknya karena anjing peliharaan salah satu tokoh penting dalam perumusan dasar negara ini.

Kiai Mas Mansyur memelihara anjing betina jenis Keeshond. Anjing ini merupakan hadiah dari pemilik restoran Molenkamp di Pasar Baru, Jakarta. Ketika ditanya, mengapa dirinya memelihara anjing, Kiai Mas Mansyur menjawab, “Di Makkah banyak anjing berkeliaran, apa itu tidak najis?”

Pertanyaannya, sebenarnya, bagaimana hukum memelihara anjing? Berikut ini ulasan yang bersumber dari Majelis Tarjih dan Tajdid pada laman muhammadiyah.or.id. dan suaramuhammadiyah.

Prinsip penting dari ajaran Islam yang terkait dengan hukum memelihara anjing adalah Quran Surah At-Taubah: 128, An-Nahl: 125, dan Al-Anbiya: 107 yang intinya berbunyi bahwa Islam mengajarkan kasih sayang.

Islam juga mengajarkan kelemahlembutan, sesuai Quran Surah Al-Imran ayat 159. Oleh karena itu, Umat Islam tidak boleh menyakiti siapapun dan apapun, kecuali berdasarkan aturan yang telah digariskan oleh agama dengan alasan-alasan syar’i serta dengan batasan yang tegas dan jelas. Hal ini berdasarkan Quran Surah Al-Baqarah: 190.

Prinsip lainnya, bersumber pada Quran Surah Al-Mumtahanah: 8, Islam mengajarkan umatnya untuk berbuat baik (ihsan) terhadap siapa saja, tanpa melihat sekat-sekat keagamaan. Islam tidak melihat sekat-sekat primordial/kesukuan. Hal ini sesuai Quran Surah An-Najm: 31 dan Ar-Rahman: 60.

Sebagaimana diketahui, Islam sejak awal telah memproklamasikan diri sebagai agama kasih sayang yang mengajarkan umatnya “risalah menyantuni” Hal ini berdasarkan QS. 2; 274, 76: 9, QS. 107. Islam juga mengajarkan “teologi berkorban” kepada dan untuk sesama. Ini bersumber pada QS 76:9 dan 3: 134.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah berpendapat, ajaran kasih sayang dalam Islam tidak hanya untuk manusia tetapi juga berlaku bagi binatang.

Bahkan, disebutkan, dalam sejumlah kitab fikih, terdapat bab khusus yang mengatur tentang relasi manusia dengan binatang. Misalnya dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah,  II: 7901, terdapat satu bab tentang “berbuat baik kepada binatang” (al-rifqu bi al-hayawan).

Ada juga bab “memberi nafkah kepada binatang” (nafaqatu al-hayawan) dalam Kitab Fiqh al-Sunnah, III: 565. Oleh karena itu, jelas sekali bahwa umat Islam dilarang menyakiti binatang atau menyiksanya, bahkan juga dilarang untuk ‘sekedar’ menelantarkannya.

Al-Quran telah mengajarkan beberapa prinsip moral bagi umat Islam dalam memandang dan berperilaku terhadap binatang. Al-Quran mengajarkan bahwa binatang adalah ciptaan Allah yang  dapat dijadikan bahan renungan dan sumber inspirasi bagi orang yang beriman (QS. 2: 164, 42: 29, 45: 4).

Majelis Tarjih dan Tajdid menjelaskan bahwa Al-Quran menegaskan bahwa binatang walau bagaimanapun binatang adalah makhluk Allah seperti halnya manusia. Binatang diciptakan oleh Allah Swt.dan berhak mendapatkan perlakuan baik dan layak.

Dalam al-Quran, Allah berfirman:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلاَّ أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ [الأنعام (6): 38]

Artinya: “Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu”.[QS. al-An’am (6): 38]

Islam juga mengajarkan bahwa berbuat baik dan lemah lembuh harus dilakukan kepada siapa saja, termasuk juga kepada binatang.

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ : يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى الْعُنْفِ وَمَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  لاَ يُعْطِى عَلَى مَا سِوَاهُ . [رواه مسلم]

Artinya: “Bahwasanya Rasululllah saw bersabda: Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Allah akan memberikan kepada orang yang berlemah lembut sesuatu yang tidak diberikan kepada orang yang kasar dan yang tidak juga diberikan kepada yang lain.” [HR. Muslim]

Berbuat baik kepada binatang bahkan disebutkan dapat menjadi jalan atau cara memperoleh pahala dan mendapat ampunan Allah dari dosa-dosa yang pernah dilakukan. Kisah yang tercantum dalam hadis berikut ini penting untuk direnungkan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِى بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ، فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ، فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِى كَانَ بَلَغَ بِى، فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلأَ خُفَّهُ، ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ، فَسَقَى الْكَلْبَ، فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوا :يَا رَسُولَ اللهِ وَإِنَّ لَنَا فِى الْبَهَائِمِ أَجْرًا. فَقَالَ: فِى كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ . [متفق عليه]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw pernah bercerita: Suatu ketika ada seorang laki-laki yang melewati satu jalan dalam keadaan sangat kehausan. Kemudian ia menemukan sumur. Ia pun berhenti di sumur itu dan meminum airnya. Ketika ia selesai dan beranjak dari sumur itu, ia menemukan seekor anjing yang menjulur-julurkan lidah sembari memakan tanah yang lembab karena saking hausnya. Si lelaki itu kemudian bergumam, ‘anjing ini telah sampai rasa haus yang sangat, seperti yang tadi aku rasakan’. Ia pun kembali ke sumur dan mengisi sepatunya dengan air, kemudian ia  memegangi anjing tersebut dengan tangan dan memberinya minum. Allah kemudian memberinya pahala dan mengampuni dosa-dosanya. Para sahabat kemudian bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa di dalam binatang ada (potensi) pahala juga bagi kami?’ Rasulullah menjawab: pada setiap yang memiliki hati yang basah (makhluk hidup) ada (potensi) pahala.” [HR. Mutaffaqun Alaihi]

Setelah menekankan pentingnya berkasih sayang terhadap binatang, Islam juga membuat regulasi dan batasan (syariah) dalam hal memanfaatkan dan berinteraksi dengan binatang.

Aturan umum dari regulasi tersebut misalnya Islam mengajarkan tentang halalnya binatang ternak (QS. 16: 66, 22: 28, 23: 21), dan binatang laut (HR. Abu Dawud dan an-Nasai) untuk dimakan.

Tidak hanya itu, Islam juga mendorong agar manusia memfungsikan binatang sebagai partner untuk membantunya mencari rezeki (QS. 5: 4, 16: 5-6) dan sebagai alat transportasi (40: 79). Selain itu, Islam kemudian mengharamkan binatang yang kotor (QS. 7: 157), binatang buas yang bertaring dan bercakar (HR. Muslim), dan secara spesifik al-Quran menyebut haramnya babi, binatang yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh dan yang ditanduk (QS. 5: 3).

Terkait anjing, binatang ini banyak diatur dengan sejumlah regulasi khusus. Hal ini berbeda dengan kebanyakan binatang lainnya. Terdapat banyak nash yang menyebutkan regulasi tersebut.

Dengan pendekatan tematik terhadap berbagai nash yang ada mengenai anjing, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya Islam melarang memelihara anjing.

Sebenarnya, ada pengecualian untuk ini, yaitu jika pemanfaatan anjing untuk kebutuhan-kebutuhan yang sangat diperlukan. Di luar itu, Islam lebih cenderung mengambil sikap mengedepankan larangan.

Dalam hal ini, nash-nash terkait adalah :

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ . [المائدة (5): 4]

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah “Yang dihalalkan bagimu adalah (makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. [QS. al-Maidah (5): 4]

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنِ اتَّخَذَ كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ صَيْدٍ أَوْ زَرْعٍ انْتَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ . [رواه مسلم وأبو داود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang memelihara anjing, kecuali anjing untuk menjaga ternak, berburu dan bercocok tanam, maka pahalanya akan berkurang setiap satu hari sebanyak satu qirath.” [HR. Muslim dan Abu Dawud]

عن ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُماَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِيَةٍ ، نَقَصَ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطَانِ . [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: Barangsiapa yang memelihara anjing, selain anjing ternak dan anjing untuk berburu, maka berkuranglah setiap hari dari perbuatannnya dua qirath.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Ayat al-Quran dan dua hadis tersebut menunjukkan bahwa menurut ajaran Islam anjing tidak boleh dipergunakan kecuali untuk kepentingan membantu pertanian, menggembalakan hewan, atau berburu.

Atas fungsi anjing, para ulama menarik satu ‘illah (kausa hukum) berupa kemanfaatan dalam berinteraksi dengan anjing (Ibnu Bathal, XI: 379). Jika terdapat suatu manfaat tertentu yang bersifat halal, maka anjing boleh digunakan.

Oleh karena itu, beberapa ulama kemudian memberlakukan kausa tersebut kepada fungsi anjing lainnya, seperti menjaga rumah (al-Mahalla, IX: 13, Fath al-Bari, VII: 171) dan menjadi hewan pelacak. Di luar kepentingan itu, Islam menutup rapat celah-celah untuk memelihara anjing.

Tidak dapat dimungkiri, dalam literatur Islam klasik memang ditemukan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang jenis hukum memelihara anjing, apakah makruh atau sampai pada derajat haram.

Salah satu ulama yang menganggap makruh memelihara anjing adalah Ibnu Abdil Barr (XIV: 218), seorang ulama dari Andalusia yang bermazhab Maliki.

Menurut Ibnu Abdil Barr, sesuatu yang dihukumi haram, haruslah bersifat tetap (konstan), tidak kondisional dan tanpa mengenal eksepsi (pengecualian) (Nail al-Authar, XII: 493).

Ia melanjutkan, memelihara anjing tidak mencapai derajat haram. Hal ini karena perbedaan situasi dapat membawa hukumnya menjadi berubah. 

Namun logika ini dapat diselesaikan oleh satu kaedah hukum,  مَا حُرِّمَ لِذَاتِهِ أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ ، وَمَا حُرِّمَ لِلسَدِّ الذَّرِيْعَةِ أُبِيْحَ لِلْحَاجَةِ, artinya ‘sesuatu yang diharamkan karena dzatnya [asalnya], maka ia dapat dibolehkan karena ada suatu kondisi yang mendesak’.

Sesuatu yang diharamkan sebagai langkah preventif, maka ia dapat dibolehkan karena ada kebutuhan terhadapnya. Pengecualian memang dapat terjadi di dalam hal-hal yang haram karena ada situasi yang mengharuskannya atau menghendakinya.

Sebagian besar ulama Islam (seperti al-Nawawi, V; 421, Ibnu Rajab, Ibnu Hajar, XV: 413, al-‘Aini, XXX: 486, al-Shan’ani, IV: 70) berpendapat bahwa memelihara anjing di luar kepentingan yang telah disebutkan di atas hukumnya haram.

Di antara indikasi keharaman tersebut adalah keterangan Nabi saw tentang berkurangnya pahala setiap hari sebanyak satu atau dua qirath karena memelihara anjing. Di dalam ilmu ushul fikih disebutkan bahwa perbuatan haram ditunjukkan tidak semata-mata oleh suatu larangan (al-nahy), tetapi bisa juga oleh implikasi (al-‘uqubah) yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut (Wahbah al-Zuhailiy, I: 86-7).

Beberapa ulama telah berusaha menjelaskan makna “berkurangnya pahala” dan besaran “qirath” dalam hadis-hadis tersebut. Pengertian “berkurangnya pahala” menurut al-Qari seperti dinukil oleh Mubarakfuri adalah hilangnya pahala masa lalu.

Sementara itu, menurut Mubarakfuri sendiri dalam Tuhfatul Ahwadzi (IV: 137), pengertiannya adalah perbuatan baik di masa depan tidak diberi pahala. Tidak ada yang dapat dikomentari dari dua kemungkinan penafsiran tersebut kecuali dengan mengatakan “wallahu a’lam” (hanya Allah yang tahu).

Tugas umat Islam adalah mempercayai bahwa perbuatan memelihara anjing dapat berimplikasi negatif pada pahala kita dan mengamalkannya. Sebesar apa implikasi itu, kita serahkan kepada Allah.

Pengertian qirath dalam dua hadis di atas menurut para ulama adalah suatu simbol akan kerasnya peringatan dari perbuatan memelihara anjing. Ibnu Bathal (dikutip dari al-Ainiy, XXI: 98) menggunakan istilah innahu ghalazhun alaihim (memelihara anjing adalah perkara berat untuk umat Islam).

Sedangkan besaran qirath, menurut para ulama hanya Allah yang tahu (Abadi, VI: 306). Bisa jadi qirath di sini hanya suatu metafora (majaz) untuk suatu perbuatan yang amat tidak disukai oleh Allah.

Di antara ‘illah (kausa atau motif hukum) dari terlarangnya memelihara anjing selain untuk kebutuhan yang telah disebutkan adalah penegasan dan peringatan dari Rasulullah saw, bahwa malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat (memelihara) anjing.

Peringatan Rasulullah tersebut bermakna bahwa rumah tersebut tidak mendapatkan kebaikan, rahmat, keberkahan dan tidak mendapatkan pengampunan dari Allah (al-Nawawi, VII: 207). Hadis yang menerangkan hal tersebut adalah:

عَنْ أَبِى طَلْحَةَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم يَقُولُ: لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ تَمَاثِيلُ . [رواه البخاري ومسلم واللفظ له]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Thalhah al-Anshari, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing (dipelihara) dan patung (untuk disembah)”. [HR. al-Bukhari dan Muslim dengan redaksi dari Muslim].

Suatu catatan diperlukan di sini bahwa makna hadis tersebut tidak berarti bahwa malaikat maut dan malaikat pencatat amal perbuatan manusia juga tidak masuk ke dalam rumah manusia pemelihara anjing, sehingga pemelihara anjing berada pada “zona aman” (ghairu mukallaf). Malaikat-malaikat tersebut tetap menjalankan tugasnya, karena itulah kewajiban yang mereka emban dari Allah.

Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, berdasarkan hadis dan sumber hukum yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa menurut agama Islam memelihara anjing hanya dapat diperkenankan untuk kebutuhan-kebutuhan yang penting, seperti menjaga ternak, menjaga sawah, menjaga rumah, berburu, atau menjadi hewan pelacak.Di luar itu memelihara anjing tidak diperkenankan.

Catatan yang perlu diperhatikan adalah untuk kebutuhan pengecualian tersebut hendaknya anjing jangan sampai masuk ke dalam rumah (ruangan yang dihuni manusia). Ini karena hal tersebut akan menghalangi masuknya kebaikan, karena membuat orang lain tidak nyaman, merasa takut dan risih.

Selain itu, keberadaan anjing di luar rumah harus benar-benar diperhatikan agar jangan sampai menjilati pemiliknya atau menjilati barang-barang lain yang bersih. Karena jilatan anjing, sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis, adalah suatu najis yang harus dihindari (HR al-Bukhari dan Muslim).

Mengenai hewan apa saja yang boleh dipelihara oleh keluarga muslim, kita dapat bersandarkan pada satu kaedah fikih, اْلأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَي تَحْرِيْمِهِ , artinya ‘pada dasarnya segala sesuatu itu boleh kecuali setelah ada dalil yang melarang’.

Menurut induksi yang dilakukan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, selain hewan yang masuk ke dalam kategori di bawah ini, boleh dipelihara oleh umat Islam:

  1. Hewan yang menimbulkan bahaya atau kerusakan, seperti ular, singa dan harimau. Dalilnya adalah hadis nabi : لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ , tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain (HR. al-Hakim).
  2. Hewan yang pada dasarnya haram untuk dimakan, seperti babi (QS. 2: 173).
  3. Hewan yang termasuk satwa langka dan dilindungi oleh undang-undang. Sebaiknya hewan jenis ini tidak dipelihara di rumah, tetapi diserahkan kepada kebun binatang, suaka margasatwa, atau perlindungan pemerintah (QS. 4: 83).

Wallahu a‘lam bish-shawab

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply