Oleh: Imam Addaruqutni
Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah
Secara historis, bangsa Indonesia menganut berbagai macam agama dan keyakinan. Karena itu, pluralitas secara keseluruhan merupakan realitas eksistensial dan historis serta lebih sebagai faktor pemersatu perpecahan. Platform nasional Bhinneka Tunggal Ika kita mempertegas truisme ini.
Tidak berlebihan kalau pluralitas kita juga me-representasi pluralitas global. Ratusan suku dengan masing-masing bahasa, budaya, institusi sosial, dan keberagamaan yang ada memberi makna pentingnya saling menghormati. Dalam konteks Islam, meski Indonesia berada dalam titik koordinat terjauh dari lokus lahirnya Islam (Arab), Islam merupakan mayoritas secara kuantitatif.
Secara sosiologis, hal ini dimungkinkan bukan karena pendekatan klerikal ataupun skriptural, melainkan proses proselitisasi Islam nusantara yang lebih disebabkan oleh proses budaya. Dengan ini, dimaksudkan bahwa penerimaan Islam oleh bangsa Indonesia, secara pos-faktum, disebabkan Islam mengambil bentuk budaya bercorak isoterisyang saling beradaptasi dengan dialektika budaya lokal sehingga terjadi enkulturasi antara keduanya. Belakangan, sejalan dengan perkembangan dunia baru
Islam (LS Stoddard), menyeruak kontroversi di kalangan umat Islam yang mulanya menyangkut spektrum pemahaman Islam. Kemudian, secara tak terhindarkan merepre-sentasi dua blok besar paradigma Islam Indonesia, yaitu blok yang tetap meneruskan traditional Islam (TRADISLAM) vis-vis purified Islam atau puri-tant Islam (PURISLAM), yaitu blok yang ingin menimbang kembali Islam yang bercampur tradisi berdasarkan ortodoksi (Alquran dan Alsunnah al Na-bawiyah).
Konstruktivisme paradigma tik tradislam di atas kiranya memperjelas proses tradision-alisasi Islam yang dimulai dengan gerak Islam ke kanan dan ke kiri (oscillation) yang secara resiprokal terjadi pula pada tradisi lokal. Akomodasi Islam terhadap kultur lokal mengandalkan ter-jadinya transformasi Islam Indonesia secara tipikal, bukan Islam Arab, Iran, Pakistan, atau mana pun.
Bahkan, secara kategoris dan dalam batas tertentu, bukan pula Islamnya Nabi Muhammad dan para sahabat, melainkan Islam dengan kemungkinan modifikasi pada aspek-aspek artifisial (furuyah) yang dilulur dengan kaidah ushuliyah/-fiqhiyak yang mapan.
Secara konseptual, konteks inilah yang lebih relevan karena label tradislam sering dilekatkan pada Nahdlatul Ulama (NU) selama ini, di luar pengamannya dengan doktrin Ahl al-Sunnah wal Jamaah (ASWAJA). Berbeda dengan NU dengan varian Islam Indonesia, Muhammadiyah memandang bahwa Islam itu universal dan tunggal.
Pengaitan Islam dengan menyertakan faktor budaya di luar sunnnah Nabi Muhammad, termasuk model tradislam atau apa pun, bukan lagi islam, melainkan Islam yang telah terkontaminasi dan secara radikal harus direforrnasi sesuai dengan petunjuk Alquran dan praktik Nabi Muhammad.
Konstruktivisme paradig-matik purislam tampak merupakan antitesis terhadap tradislam. Dalam paradigma purislam, Muhammadiyah meng-andaikan terjadinya transformasi Indonesia yang Islami untuk tidak mengatakan Isla-misasi Indonesia. Proses yang berlangsung adalah dekon-struksi atas tradislam yang notabene telah ada jauh sebelum lahirnya NU untuk dikoreksi dan direkonstruksi menjadi (ringkasnya) Islam Alquran-hadis. Di sinilah letak pengertian bahwa purislam Muhammadiyah tidak berwatak Is-lamisasi Indonesia secara kategoris ataupun secara radikal.
Hal itu telah terbukti dalam sejarah. Ahmad Syafei Maarif dalam hal ini adalah tokoh sen-trifugal Muhammadiyah yang dalam perannya tidak jarang dikritik dan dihujat oleh sesama kalangan Muhammadiyah sendiri dan di luar itu. Akan tetapi, keduanya secara fundamental berada pada basis yang sama Islam Sunn. Malahan, pendiri Muhammadiyah dan NU ini adalah murid dari guru yang sama (al-Syekh Ahmad Khatib).
Saat ini, baik Muhammadiyah maupun NU mengeksplorasi trilogi persaudaraan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah ba-syariyah (persaudaraan sesama Islam, sesama anak bangsa, dan sesama anak manusia).
Ukhuwah Islamiyah
Kita berharap bahwa trilogi persaudaraan ini tidak diced-erai lagi oleh mental korup dari para pelaksana negara ini. Korupsi yang masih berlangsung di negeri ini merupakan pengkhianatan terburuk dari pernyataan kepercayaan pada kepribadian nurani bangsa. Kemakmuran, kesejahteraan, keamanan, dan kedamaian adalah harga dan arti yang sebenarnya mengapa kita ingin merdeka.
Muhammadiyah dan NU serta seluruh eksponen kaum beragama yang ada semakin percaya bahwa disharmoni, konflik, dan bentrok antarsesama untuk beberapa kurun terakhir bukan disebabkan oleh faktor agama, melainkan karena kohabitasi kemiskinan, ketidakadilan hukum, moralitas yang rendah dari aparat penegak hukum, korupsi oleh para pelaksana pemerintahan negara.
Kita semua adalah kaum demokrat. Tetapi, jika demokrasi yang dijalankan oleh para pelaksana negara kita tidak mewujudkan kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan lahir batin bagi rakyat; klaim demokrasi kita hanya melahirkan para otoritarian berjubah demokrat. Lagi-lagi, agama dipersalahkan untuk tidak mengatakan Tuhan dipersalahkan.
Republika, 05 Mar 2010
Sumber: Muhammadiyah Studies, diakses 17 April 2016