Oleh: Muhammad Chirzin*
Wahyu Al-Quran turun dalam rentang waktu 23 tahun, setara dengan masa pendidikan formal di Indonesia dari TK hingga S3 (2 + 6 + 3 + 3 + 4 + 2 + 3). Ayat-ayat Al-Quran perdana adalah pembuka surat Al-‘Alaq/96, yakni perintah untuk membaca, bukan untuk shalat, puasa, zakat, haji, ataupun yang lainnya, ketika Nabi Muhammad saw menyepi di gua Hira. Perintah membaca mengandung pesan untuk menulis bahan bacaan yang layak dibaca.
Ayat pertama surat Al-‘Alaq, iqra` bismirabbikalladzi khalaq – bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan, itu pun tidak menyebutkan apa yang mesti dibaca. Ulama Al-Quran merumuskan suatu kaidah penafsiran, bahwa bilamana suatu ayat Al-Quran menggunakan kata kerja transitif tanpa disertai objek, maka objeknya ialah apa saja yang terjangkau oleh kata kerja itu. Dalam konteks ayat pertama tersebut, sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia, apa yang mesti dibaca semakin hari semakin banyak. Apakah pada hari ini Anda sudah membaca Al-Quran, buku, dan pesan teman-teman di WhatsApp?
Allah swt berfirman dalam Al-Quran tentang salah satu fungsi Al-Quran sebagai berikut.
Kami tidak menurunkan Al-Quran kepadamu supaya kamu menderita. Demikianlah Kami turunkan Al-Quran dalam bahasa Arab… agar mereka terpelihara dari kejahatan, mudah-mudahan ia menuntun mereka untuk melaksanakan kebenaran (QS Thaha/20:2, 113).
Rasulullah saw bersabda, “Al-Quran adalah jamuan Tuhan. Rugilah orang yang tidak menghadiri jamuan-Nya, dan lebih rugi lagi yang hadir tetapi tidak menyantapnya. (Hadis).
Para ulama dan cendekiawan menggambarkan Al-Quran sebagai berikut.
Ayat-ayat Al-Quran bagaikan intan: setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dari apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika Anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak ketimbang apa yang Anda lihat (Abdullah Darraz).
Al-Quran memberikan kemungkinan arti yang tak terbatas. Ayat-ayatnya selalu terbuka untuk interpretasi baru; tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal (Mohammed Arkoun).
Tidak ada seorang pun dalam Islam yang mengklaim dirinya sebagai otoritas atas, dan menjadi penjaga terhadap pemahaman yang tepat mengenai Al-Quran. Seluruh umat Islam bertanggungjawab terhadap pengabadian, pengembangan pemahaman yang tepat dan implementasi ideal-ideal Al-Quran (Muhammad ‘Ata al-Sid).
Al-Quran adalah “karya keagamaan”, kitab petunjuk. Untuk mencapai petunjuk itu kita harus menafsirkannya. Al-Quran adalah pesan Tuhan yang memiliki kode dan “saluran” berupa bahasa Arab. Kita membutuhkan analisis teks lebih dari disiplin filologi yang menempatkan Al-Quran sebagai teks poetik yang terstruktur. Al-Quran bukan teks puisi, melainkan teks keagamaan yang memiliki banyak fungsi (Navid Kermani).
Al-Quran memiliki keampuhan bahasa yang tidak tertandingi, baik bentuk, gaya, maupun isi pesan yang dikandungnya. Kekuatan penggerak bahasa Al-Quran terletak pada kemampuan dan keampuhannya menghadirkan ide-ide ketuhanan, kemanusiaan dan wawasan kosmik, yang sama sekali baru dari kepercayaan paganisme Arab, yang sulit diingkari kebenarannya oleh nalar sehat dan hati yang jernih dan terbuka (Komaruddin Hidayat).
“Al-Quran adalah pengantin wanita yang menyembunyikan wajahnya. Bila engkau membuka cadarnya dan tidak mendapatkan kebahagiaan, itu karena caramu membuka cadar telah menipu dirimu sendiri. Apabila engkau mencari kebaikan darinya, ia akan menunjukkan wajahnya, tanpa perlu kaubuka cadarnya.” (Jalaluddin Rumi).
“Al-Quran adalah jaring untuk menangkap jiwa manusia. Seperti ikan, manusia berenang dari satu tempat ke tempat lain, dan Tuhan memasang jaring ke dalam mana manusia terjerat, demi kebahagiaannya sendiri.” (Fritjof Schuon).
“Jika Anda ingin berbicara dengan Allah, berdoalah, dan jika Anda ingin Allah berbicara dengan Anda, bacalah Al-Quran.” (M. Quraish Shihab).
Penyebab kesalahan penafsiran Al-Quran: (1) subjektivitas mufasir; (2) kesalahan metode penafsiran; (3) kedangkalan ilmu alat bahasa Arab; (4) kedangkalan pengetahuan tentang pembicaraan ayat; (5) tidak memperhatikan konteks asbabun-nuzul; (6) tidak memperhatikan siapa pembicara dan kepada siapa pembicaraan itu. (M. Quraish Shihab).
Setiap orang berhak memahami Al-Quran dan mengungkapkan buah pemahamannya dilandasi keikhlasan, kesungguhan, dan kerendahan hati. Rengkuhlah Al-Quran, niscaya Pemilik Al-Quran merengkuhmu. Cintailah Al-Quran, niscaya Allah swt mencintaimu.
Tak seorang pun tahu rahasia
Hingga seorang mukmin
Ia tampak sebagai pembaca
Namun Kitab itu ialah dirinya sendiri.
(Mohammad Iqbal)
Orang bilang, “Nothing new under the sky – tak ada sesuatu yang baru di kolong langit.” Isyarat bahwa segala sesuatu sudah ada di dunia ini, termasuk tafsir Al-Quran dengan segala metode, pendekatan, corak, model, sumber, teknis, bahasa, dan sebagainya. Entah sudah berapa ribu jilid/eksemplar karya tafsir yang ditulis dan dicetak dari masa ke masa. Begitu pula berapa kali setiap ayat Al-Quran dijelaskan maksudnya, baik secara lisan maupun tulisan, termasuk alih bahasa ke dalam bahasa-bahasa di seluruh penjuru dunia. Semua mengacu pada pengalaman masing-masing dalam berinteraksi dengan Al-Quran.
Tafsir ialah buah pemahaman atas ayat Al-Quran yang diungkapkan, baik secara lisan, tulisan, maupun perbuatan. Terdapat pro dan kotra terhadap buah pemahaman orientalis ataupun nonmuslim atas ayat-ayat Al-Quran. Sebagian kalangan mengakui dan menerimanya, sebagian yang lain menolak.
Al-Quran telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Alexander Ross (1649) berdasarkan terjemah edisi Bahasa Perancis karya Andre du Ryer, J. M. Rodwell, 1861, The Koran (London: Phoenix, 2001, cetakan perdana 1909), Palmer, 1880, Bell, 1937-9. Dan Arberry, 1955. Terjemah Al-Quran ke dalam Bahasa Inggris oleh kalangan muslim antara lain dilakukan oleh Muhammad Marmaduke Pictall, 1930, dan Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran, Text, Translation and Commentary,1934.
Prof. Dr. H. Bermawy Munthe menulis buku, Tafsir 40: Kritik Teks Pendekatan Struktur dan Classroom Assesmet Techniques (CAT), (Yogyakarta: Idea Press, 2022). Buku ini memberikan alternatif bacaan dan cara membaca serta memahami ayat-ayat Al-Quran dengan bahan kajian utama surat-surat pendek Juz 30, ditambah beberapa ayat pilihan dari beberapa surat dalam Al-Quran. Dengan buku ini siapa saja akan memperoleh pengalaman baru berinteraksi dengan Al-Quran.
*Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga, Dosen Program S3 Psikologi Pendidikan Islam UMY, dan Kajian Kitab Tarsir Fakultas Agama Islam UAD, anggota Tim Penyusun Tafsir Al-Quran Tematik dan Revisi Al-Quran dan Terjemahnya Kementerian Agama RI, penulis trilogi Kamus Pintar Al-Quran, Kearifan Al-Quran, dan Nur ‘Ala Nur: Sepuluh Temua Utama Al-Quran (Jakarta: Gramedia, cetak ulang 20219), dan 60an buku lainnya.