Oleh: Muhammad Chirzin**
Marcus Aurelius terlahir bernama Marcus Annius Verus pada 26 April 121 di Roma, Italia. Menjadi Kaisar Romawi pada 161-180 M bernama Marcus Aurelius Antonius Augustus, simbol Zaman Keemasan Kekaisaran Romawi. Ia mengalami banyak peristiwa sulit selama masa pemerintahannya, antara lain peperangan, dan munculnya wabah Antonine yang mematikan. Marcus meninggal akibat terserang wabah ini pada 17 Maret 180 di kota Wina, Austria. Bukunya, Meditations, merupakan jurnal pribadi yang ditulis kira-kira pada masa kampanye militernya di Eropa Tengah pada tahun 171-175.
Terdapat sejumlah sifat jiwa yang rasional: jiwa melihat dirinya sendiri, menelaah dirinya sendiri, dan membuat dirinya sendiri seperti yang ia inginkan. Ia mengumpulkan sendiri buah yang ia hasilkannya. Ia mencapai tujuannya sendiri di mana pun batas kehidupan ditetapkan. Tidak seperti pertunjukan tarian, sandiwara, dan semacamnya, di mana setiap gangguan bisa membatalkan keseluruhan pertunjukan.
Jiwa rasional melintasi seluruh alam semesta dan kehampaan di sekitarnya, mengeksplorasi bentuknya, membentang hingga tak terbatas waktu. Jiwa rasional cinta sesama, kejujuran, kesederhanaan, dan tidak menilai apa pun lebih tinggi daripada dirinya sendiri, yang juga merupakan kualitas tegas dari hukum.
Betapa mulia jiwa yang setiap saat siap untuk dilepaskan dari tubuh. Namun, kesiapan itu harus datang dari penilaian seseorang sendiri, dari pemikiran yang matang, dengan martabat, dan tidak dramatis.
“Apakah aku sudah melakukan sesuatu demi kepentingan umum? Maka, aku juga mendapatkan manfaatnya. Seorang manusia yang terpisah dari manusia lainnya telah keluar dari keseluruhan komunitas masyarakat sosial. Camkan hal ini di benakmu: jangan pernah berhenti melakukan kebaikan!”
“Tidak mungkin alam lebih rendah dibandingkan dengan karya seni. Karena, karya seni menirukan alam semesta dan benda-benda yang ada di dalamnya. Jika benar demikian, maka yang paling sempurna dan komprehensif dari semua alam semesta tidak dapat dilampaui oleh bakat artistik mana pun.”
“Jiwa adalah sebuah bidang yang mempertahankan integritas bentuknya sendiri, jika ia tidak menggembung atau mengkerut untuk apa pun, tidak berkobar atau meredup, tetapi menjaga cahaya yang konstan, yang dengannya ia bisa melihat kebenaran dalam segala sesuatu dan kebenaran dalam dirinya sendiri.”
“Orang-orang yang mencoba menghalangimu ketika kau berjalan mengikuti nalar yang benar, tidak akan dapat mengalihkanmu dari tindakan yang berprinsip. Jadi kau juga tidak boleh membiarkan mereka menjatuhkanmu dari niat baikmu terhadap mereka.”
Dalam setiap objek pengalaman, pertimbangkan asalnya, komponennya, ia berubah menjadi apa, apa yang akan terjadi ketika diubah, sehingga tidak ada kerugian yang akan menimpanya. Jika ada yang menyinggungmu, pertimbangkan hal ini. Pertama, seperti apa hubunganmu dengan mereka, dan fakta bahwa kita semua diciptakan untuk satu sama lain.
Kedua, pertimbangkanlah orang-orang macam apa mereka ketika berada di meja makan, di tempat tidur, dan lain sebagainya. Yang terpenting, apa yang mendorong mereka untuk memberikan penilaian mereka, dan mengenai tindakan mereka. Pikirkan kebanggaan apa yang mereka miliki ketika melakukan tindakan mereka.
Ketiga, jika mereka melakukan tindakan mereka dengan benar, jangan merasa tidak senang. Namun, jika salah, mereka jelas melakukannya dengan tidak sengaja, dan karena ketidaktahuan mereka. Manusia merasa sakit hati ketika ia dituduh tidak adil, tidak tahu terima kasih, dan tamak.
Keempat, pikirkan bahwa kau sendiri memiliki banyak kesalahan, dan bahwa kau adalah manusia, sama seperti mereka. Bahkan jika kau benar-benar menahan diri dari melakukan beberapa kesalahan, kau masih memiliki kecenderungan untuk melakukannya, walaupun entah karena ketakutan atau kekhawatiran akan reputasi, atau motif buruk lainnya.
Kelima, pikirkan bahwa kau bahkan tidak yakin apakah mereka melakukan kesalahan atau tidak. Banyak hal dilakukan dengan acuan tertentu terhadap keadaan. Seseorang perlu menyelidiki banyak hal sebelum ia dapat memberikan penilaian yang tepat terhadap perbuatan orang lain.
Keenam, Ketika kau sangat marah atau sedih, ingatlah bahwa kehidupan manusia hanyalah sebagian kecil dari waktu, dan segera kita semua akan terbaring di pusara kita.
Ketujuh, bukan perbuatan mereka yang mengganggu kita, karena perbuatan-perbuatan tersebut terletak pada pikiran pengendali mereka sendiri, tetapi opini kita sendiri yang mengganggu kita. Hilangkan opini-opini ini, maka kemarahanmu akan hilang.
Kedelapan, pikirkan, betapa lebih banyak rasa sakit yang kita derita akibat kemarahan dan kecemasan terhadap berbagai perbuatan mereka, alih-alih akibat perbuatan-perbuatan itu sendiri yang menyebatkan kedua emosi itu muncul.
Kesembilan, pikirkan bahwa watak yang baik itu tidak dapat dikalahkan, jika tulus, dan bukan senyum palsu dan berpura-pura. Apa yang akan dilakukan manusia paling jahat terhadapmu jika kau terus bersikiap baik kepadanya? Saat ada kesempatan, kau bisa dengan lembut menegurnya dan dengan tenang memperbaiki kesalahannya.
Kesepuluh, mengharapkan orang jahat tidak akan melakukan kesalahan adalah kegilaan; itu keinginan yang mustahil. Namun, membiarkan mereka berperilaku seperti itu kepada orang lain sambil berharap mereka tidak melakukan kesalahan kepadamu, merupakan sesuatu yang kejam, dan tidak rasional.
“Kemarahan adalah tanda kelemahan sekaligus rasa sakit. Dalam keduanya ada luka dan tanda menyerah. Dalam menulis dan membaca, kau tidak akan dapat mengajari orang lain sebelum kau belajar dulu, terlebih lagi dalam kehidupan.”
“Segala sesuatu yang kaudoakan agar segera datang, melalui jalan yang panjang, dapat menjadi milikmu sekarang, jika kau murah hati kepada diri sendiri; jika kau meninggalkan seluruh masa lalumu, dan mempercayakan masa depanmu kepada Sang Takdir, dan mengarahkan masa kini agar hanya selaras dengan ketaatan dan keadilan. Selaras dengan ketaatan, sehingga kau bahagia dengan bagian yang diberikan kepadamu, karena kodratlah yang merancangnya untukmu dan kau untuknya. Selaras dengan keadilan, sehingga kau selalu berbicara jujur dengan bebas dan terbuka, dan melakukan tindakan-tindakan yang mematuhi hukum dan sesuai dengan nilai masing-masingnya.”
“Ada tiga hal dalam komposisimu, yaitu tubuh, napas, dan pikiran. Dua yang pertama adalah milikmu, sejauh tugasmu harus menjaga mereka, tetapi hanya yang ketiga yang merupakan milikmu sepenuhnya. Jadi, jika kau harus berpisah dari dirimu seindiri – yaitu, dari pikiranmu – apa pun yang orang lain lakukan atau katakan, apa pun yang kau sendiri telah lakukan atau katakan, apa pun masalah di masa depan yang mengganggumu karena mereka bisa terjadi, dan apa pun yang ada dalam tubuh yang membungkusmu, dan napas yang menyertaimu yang terhubung dengan tubuhmu sesuai dengan kodratnya, melekat padamu tanpa kau punya pilihan, maka kau akan dapat menjalani waktu yang tersisa sebelum kematianmu dengan bebas dari kecemasan, dengan mulia, dan damai dengan Yang Ilahi bersemayam di dalam dirimu.”
“Betapa menggelikan – dan sungguh seperti orang asing di dunia ini – jika ada manusia yang masih juga terkejut dengan segala sesuatu yang dialami dalam hidup. Singkirkan prasangka, maka kau akan selamat. Dan, siapa yang bisa menghalangimu untuk menyingkirkan prasangka ini?”
“Akan lebih bijak bagi manusia untuk menggunakan materi yang diberikan kepadanya untuk menunjukkan dirinya adalah manusia yang adil, sederhana, dan patuh kepada Yang Ilahi. Tidak ada yang tampak hebat, kecuali bertindak sesuai arahan kodratmu, dan menerima dengan puas apa yang dibawa oleh kodrat universal.”
Wahai manusia fana, kau telah hidup sebagai penduduk kota yang hebat ini (dunia). Apa bedanya bagimu jika hidup itu hanya selama lima atau tiga tahun? Apa yang diatur oleh hukum, berlaku sama untuk semua. Apa yang perlu ditakuti dari hal ini, jika bukan tiran atau hakim korup yang mengeluarkanmu dari kota, tetapi hakikat tersebut yang membawamu masuk pada awalnya. Ini sama seperti jika seorang hakim mempekerjakan aktor komedi, lalu mengeluarkannya dari adegan di panggung. Katamu, ”Tapi aku belum menyelesaikan lima babak, hanya tiga.” “Kau benar, tetapi dalam hidup, tiga babak sudah membuat keseluruhan sandiwara menjadi lengkap.” Ia yang menentukan apakah sandiwara hidupmu sudah selesai, karena ia yang menyebabkan keberadaanmu, dan sekarang adalah penyebab peleburanmu. Dalam keduanya kau tidak memiliki andil. Maka, pergilah dengan bahagia dan suasana hati yang baik. Yang Ilahi yang membiarkanmu pergi, telah berdamai denganmu.”
Demikian, Marcus Aurelius menutup perenungannya. Hal itu senapas dengan firman Allah swt dalam Al-Quran,
Kepada jiwa yang beriman akan dikatakan, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu,- dengan rasa lega dan diterima dengan rasa lega. Masuklah engkau ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Masuklah engkau ke dalam surga-Ku!” (QS Al-Fajr/89:27-30).
*Marcus Aurelius, Meditations: Perenungan, terjemah Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo (Jakarta: Noura Books, 2021)
**Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga, Dosen Program S3 Psikologi Pendidikan Islam UMY, dan Kajian Kitab Tarsir Fakultas Agama Islam UAD, anggota Tim Penyusun Tafsir Al-Quran Tematik dan Revisi Al-Quran dan Terjemahnya Kementerian Agama RI, penulis trilogi Kamus Pintar Al-Quran, Kearifan Al-Quran, dan Nur ‘Ala Nur: Sepuluh Temua Utama Al-Quran (Jakarta: Gramedia, cetak ulang 20219), dan 60an buku lainnya.