Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Thomas Jefferson dan Al-Quran

×

Thomas Jefferson dan Al-Quran

Share this article

Oleh: Muhammad Chirzin*

KHITTAH.CO, – Thomas Jefferson adalah Bapak Pendiri Amerika Serikat. Pada tahun 1765, sebelas tahun menjelang Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, Thomas Jefferson membeli Al-Quran. Ini menandai awal minatnya yang panjang terhadap Islam. Ia terus mencari buku-buku tentang bahasa, sejarah, dan perkembangan Timur Tengah. Jefferson lalu memahami Islam secara intensif. Sejak 1776, Jefferson membayangkan kaum Muslim sebagai warga negara masa depan bagi negeri barunya, Amerika Serikat!

Danise A. Spellberg, cendekiawan Amerika dalam bidang sejarah Islam, Profesor Sejarah dan Studi Timur Tengah di University of Texas, Austin menulis buku, Thomas Jefferson’s Qur`an: Islam and The founders, 2013. Edisi Bahasa Indonesia Al-Quran dan Impian Amerika Serikat: Kisah Thomas Jefferson Mengkaji Islam saat Pendirian Amerika Serikat, penerjemah Adi Toha (Tangerang: PT Pustaka Alfabet, 2019).

Buku ini mengungkap cerita penting ihwal toleransi dan kebebasan agama di AS; sebuah drama di mana Islam memainkan peran mengejutkan. Spellberg menceritakan bagaimana para pendiri Amerika Serikat tertarik pada ide-ide toleransi Islam untuk menciptakan landasan bagi pemerintahan Amerika yang tengah diperdebatkan dengan sengit. Kaum Muslim yang kala itu bahkan tidak diketahui esistensinya di koloni ini menjadi batas imajinasi terjauh bagi pluralisme keagamaan Amerika.

Selagi kecurigaan Barat terhadap Islam terus hidup sementara jumlah warga Musllim di AS makin membesar, cerita Spellberg perihal gagasan revolusioner para pendiri AS ini sangat penting diketahui. Di tengah menguatnya keyakinan ihwal benturan peradaban antara Islam dan Barat, buku Spellberg ini menjadi bacaan yang tepat untuk merajut kembali harapan perdamaian dunia.

Beberapa pakar menulis endorsement untuk buku ini. “Spellberg mengeksplorasi bagiamana para pendiri Amerika Serikat merumuskan toleransi beragama sebagai cita-cita utama negaranya, tidak hanya untuk kelompok Protestan, tetapi juga bagi warga Muslim di masa depan.” (Ali Asani, Direktur The Prince Alwaleed bin Talal Islamic Studies Program, Harvard University).

“Dengan menekankan pasda pemahaman Jefferson atas Islam, Spellberg menuturkan cerita yang segar, dan menunjukkan kepada kita bahwa masa lalu masih menyimpan banyak pelajaran berharga bagi kita di masa kini.” (Jon Meacham, Pemenang Hadiah Pulitzer Prize).

“Luar biasa! Spellberg memaparkan konteks sejarah yang sangat berharga bagi perjuangan untuk toleransi beragama. Buku Spellberg ini merupakan langkah penting menuju inklusivitas dalam pembangunan kehidupan beragama.” (Jonathan P. Berkey, San Fransisco Chronicle).

Pada bagian pendahuluan: Membayangkan Muslim sebagai Warga Negara pada Era Pendirian Amerika Serikat, Danise A. Spellberg mengutip perkataan Thomas Jefferson dari John Lock, 1776, “Tak seorang pun dari kalangan Pagan, Muslim, ataupun Yahudi boleh dikucilkan dari hak-hak sipil Persekemakmuran karena agamanya.”

Ketika kebanyakan warga Amerika kurang informasi, salah informasi, atau semata-mata takut terhadap Islam, Thomas Jefferson sudah membayangkan Muslim sebagai warga negara masa depan dari negara barunya. Sebuah penelitian menemukan bahwa majalah-majalah Amerika memasukkan serangkaian sikap terhadap umat Muslim, termasuk “keingintahuan yang naif, eksotisme obsesif, perhitungan geopolitik, keangkuhan yang lembut, dan kefanatikan yang tak tahu malu,” sebagaimana ditulis oleh Robert Battistini, “Glimpses of the Other Before Orientalism: The Muslim World in Early American Periodical, 1785-1800” dalam Early American Studies, 2010.

Keterlibatan Jefferson dengan agama Islam berawal dengan pembelian sebuah Al-Quran sebelum dia menulis Deklarasi Kemerdekaan. Al-Quran milik Jeffereson masih bertahan hingga kini di Perpustakaan Kongres, sebagai sebuah simbol atas hubungan kompleks dirinya dan Amerika awal dengan Islam dan para penganutnya. Hubungan tersebut tetap menjadi pertanda penting hingga hari ini.

Bahwa Jefferson memiliki sebuah Al-Quran mengungkapkan minatnya terhadap agama Islam, tetapi hal ini tidak menjelaskan dukungannya terhadap hak-hak umat Muslim. Dia pertama kali membaca tentang “hak-hak sipil” Muslim dalam karya salah seorang pahlawan intelektualnya, fiolsof Inggris abad ke-17, John Locke. Orang pertama yang menghubungkan Jefferson dengan minat John Locke dalam hak-hak sipil umat Muslim adalah sejarawan terkemuka, kepala Divisi Naskah Perpustakaan Kongres, James H. Huston, melalui “The Founding Fathers and Islam,” Library of Congres Information Bulletin 61, no. 5 (2002).

 John Locke telah menganjurkan toleransi terhadap umat Muslim – dan Yahudi – mengikuti jejak beberapa orang lainnya di Eropa yang telah mempertimbangkan permasalahan tersebut selama lebih dari satu abad sebelum dirinya. Gagasan Jefferson tentang hak-hak Muslim harus dipahami dalam konteks yang lebih awal lagi yang terus berkembang paling mencolok pada abad ke-16 hingga abad ke-19.

Perlawanan terhadap gagasan kewarganegaraan Muslim sudah dapat diperkirakan pada abad ke-18. Orang-orang Amerika telah mewarisi dari Eropa distorsi negatif dari karakter teologis dan politis agama tersebut. Ternyata beberapa orang Amerika terkemuka tidak menolak untuk mengecualikan umat Muslim, bahkan membayangkan suatu hari ketika mereka akan menjadi warga negara Amerika.

Pada tahun resmi kemerekaan Amerika dari Inggris Raya, 1783, George Washington menulis surat kepada para imigran Katolik Irlandia yang baru tiba di New York City, “Perlindungan Amerika adalah terbuka untuk menerima semua Bangsa dan Agama yang tertindas dan teraniaya; mereka harus kita sambut ke dalam keikutsertaan dari semua hak dan keistimewaan kita.”  

Setahun kemudian, pada 1784, secara teoretis George Washington merengkuh umat Muslim ke dalam dunia pribadinya di Mont Vernon. Dalam sebuah surat kepada seorang teman untuk mencari tukang kayu dan tukang batu guna membantu di rumahnya di Virginia, dia menjelaskan bahwa agama yang dianut para pekerja – atau tidak adanya agama – tidak penting sama sekali. “Jika mereka pekerja yang bagus, mereka boleh saja dari Asia, Afrika, atau Eropa. Mereka boleh saja Muslim, Yahudi, atau Kristen dari Sekte mana pun atau mereka boleh saja ateis.” Jelas, Muslim merupakan bagian dari pemahaman George Washington tentang pluralism agama – setidaknya dalam teori. Namun, dia pastinya tidak benar-benar mengharapkan pelamar Muslim mana pun.   

Muslim sungguhan yang sengaja ditemui Thomas Jefferson bukanlah budak Afrika Barat berkulit hitam, tetapi dua duta besar Afrika Utara keturunan Turki. Pada waktu itu Jefferson tertarik dengan dua diplomat tersebut bukan karena alasan agama atau ras; dia terlibat dengan mereka karena kekuasaan politik mereka. Mereka tentu saja juga orang-orang merdeka.

Kesetaraan kaum beriman yang diupayakan Jefferson di dalam negeri sama dengan yang dia akui di luar negeri. Penghargaan yang terbatas tapi unik dari Jefferson terhadap Islam muncul sebagai unsur minor, tetapi aktif dalam kebijakan luar negeri pada masa kepresidenannya dengan Afrika Utara – dan keyakinan Deisme dan Unitarianisme paling pribadi yang dianutnya. Keduanya sangat mungkin berkaitan dengan sumber pemahaman Thomas Jefferson yang sedrhana tetapi efektif terhadap Al-Quran yang dimilikinya.(m)

*Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga, Dosen Program S3 Psikologi Pendidikan Islam UMY, dan Kajian Kitab Tarsir Fakultas Agama Islam UAD, anggota Tim Penyusun Tafsir Al-Quran Tematik dan Revisi Al-Quran dan Terjemahnya Kementerian Agama RI, penulis trilogi Kamus Pintar Al-Quran, Kearifan Al-Quran, dan Nur ‘Ala Nur: Sepuluh Temua Utama Al-Quran (Jakarta: Gramedia, cetak ulang 20219), dan 60an buku lainnya.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply