Oleh: Mansurni Abadi
Dua hari sebelum puasa, sahabat karib dari Brunei mengirimkan pesan ucapan ramadhan dengan disertai nasehat dari Shaykh Hisham Kabbani yang buat saya menarik untuk dibuatkan tulisan tentangnya, isi nasehat itu berpesan jika “Yang disebut Mujaahid adalah orang yang memerangi dirinya sendiri demi cinta Allah. Ia memerangi egonya, ia memerangi karakter-karakter buruknya, memerangi akhlak dan perilaku buruknya demi kecintaan Allah. Kerana itu, untuk mensucikan diri dari ‘lumpur’ ego ini, kita mesti tahu bahwa berjuang memerangi diri kita sendiri adalah suatu kewajiban. Sebagaimana kalian solat, berpuasa serta pergi Haji, kalian mesti menganggap perjuangan melawan diri kalian tersebut sebagai suatu kewajiban pula.
Dalam konteks puasa , sepertinya ibadah ini bisa menjadi salah satu cara menjadikan diri kita sebagai mujaadid asalkan prosesnya sendiri harus dinikmati, dirasakan, dihayati, dihadirkan dalam hati, dan membangkitkan mahabbah kepada Allah Swt. Tentu saja untuk sampai pada proses-proses itu memang tidaklah mudah namun bukan berarti tidak bisa yang hanya perlu kita lakukan hanyalah penguatan terhadap pengetahuan akan tugas-tugas pada setiap lapisan spiritual yang selama ini jarang kita ketahui seperti misalnya tugas Sirr yang menghidupkan,Tugas Qolbu yang mengakui, tugas wujud yang memperlihatkan af’al-nya, tugas akar yang berfikit, dan terakhir tugas nafsu yang selalu berkeinginan.
Puasa banyak dibincangkan baik di banyak literasi Islam sebagai salah satu cara pengekangan nafsu yang telah menjauhkan kita dari hal-hal spiritual bahkan bulan ini dinisbatkan sebagai bulan yang paling efektif untuk meningkatkan amal ibadah , didalam hadis yang di riwayatkan HR. At Tirmizi, Rasulullah Saw. bersabda :
“Sesungguhnya di surga terdapat ruangan-ruangan yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar. Allah menganugerahkannya kepada orang yang berkata baik, bersedekah makanan, berpuasa, dan shalat dikala kebanyakan manusia tidur.” (HR. At Tirmidzi)
Karena bulan Ramadhan merupakan bulan penyucian rohani, tentu harus ada proses penyadaran akan pengekangan nafsu dunia yang sementara ini. Perihal ini ada nasehat dari sahabat saya Muh. Jabir yang mengetuai Rumi Institute Indonesia yang mengatakan kalau manusia selama ini sulit mengekang nafsu karena terlanjur tenggelam pada permainan dunia dengan amat serius bahkan sebagian orang sampai bersedia mengorbankan dirinya dan sesamanya demi permainan ini. Permainan itu ada banyak rupa yang merasuk dalam bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, bahkan agama itu sendiri.
Pengekangan nafsu selama sebulan ini bisa menjadi solusi untuk menyehatkan kembali rohani dan fisik yang selama ini tercemari dengan hal- hal yang negatif tadi, hanya saja setelah bulan ini berlalu ada free will buat kita antara hendak menginternalisasi atau tidak-nya apa yang telah kita lakukan selama sebulan ini.
Namun muslim yang terus mencoba menjadi baik bagi dirinya sendiri yang nantinya akan berdampak kepada sesamanya akan memilih jalan pertama setelah berpuasa sebulan penuh untuk konsisten pada pengekangan nafsu-nya. Untuk sampai pada konsistensi pengekangan nafsu setelah Ramadhan yang perlu dilakukan adalah selalu meanggap puasa bukan sebatas menahan lapar dan haus semata namun harus menghayati jika ibadah juga harus menghindarkan kita dari perbuatan-perbuatan tercela yang menjadi sebab berkurangnya esensi puasa kita, lebih jauh dari ini kita pun harus membawa puasa kita pada puasa jiwa yang berusaha semaksimal mungkin tidak terjun ke perbuatan – perbuatan tercela yang kedua kali pada tingkat ini, pengekangan nafsu akan menjadi kebiasaan sebagai kebiasaan buruk yang selama ini kita lakukan.
Namun untuk mencapai kesadaran ibadah puasa sebagai puasannya jiwa tentu tidak mudah apalagi suasana Ramadhan tidak jarang justru semakin membangkitkan nafsu kita terutama soal makanan dan minuman misalnya atau konsumerisme setelahnya yang pada akhirnya membuat esensi kemenangan kita hanya pada yang terlihat elegen setelahnya seperti fashion baru, mobil baru, bahkan ironisnya momentum berbuka puasa seringkali menjadi arena flexing dan Roasting yang justru melemahkan mental kita ataupun malah menguatkan nafsu kita untuk menjadi yang paling mantap di hadapan orang lain.
Seharusnya bulan puasa ini adalah proses untuk kita menjadi muslim yang lebih baik, yang mana baik disini bukan soal ilmu agama saja yang meningkatkan, tapi amalan ilmu agama yang kita pelajari itu bisa diterapkan dalam kehidupan kita sehari – hari sebagai pengendali nafsu kita. Ada proses becoming yang harus terus menerus kita terapkan bukan sebatas hanya Know dan Do dalam praksis ibadah ritual saja namun juga sosial dan psikologis.
*(Pengurus RPK IMM Malaysia dan peneliti untuk embode International)