Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Menulis: Memancarkan Cahaya dan Menyucikan Hati dari Belenggu Literatur

×

Menulis: Memancarkan Cahaya dan Menyucikan Hati dari Belenggu Literatur

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Lazimnya menulis dipandang sebagai aktivitas keabadian. Artinya, dengan menulis kita (baca: penulis) akan abadi. Seseorang bisa saja, sudah lama meninggalkan dunia (meninggal dunia), tetapi ketika memiliki karya, terutama dalam bentuk tulisan, maka dirinya akan dikenang sepanjang masa. Saya pun menambahkan—sekilas terkesan memiliki makna yang sama, tetapi memiliki orientasi yang berbeda—menulis adalah aktivitas mengabadikan. Mengabadikan sesuatu, bisa berupa hal positif atau yang dicintai, bisa pula menyangkut hal sebaliknya, yang dibenci atau negatif. Meskipun, saya pribadi tidak menjatuhkan pilihan pada pilihan terakhir dari aktivitas mengabadikan tersebut.

Adalah Hernowo, seorang penulis prolifik menegaskan bahwa “menulis itu: mengikat; mengonstruksi; menata; memproduksi; menggambarkan atau menampakkan; menggali; membuang. Membuang kekecewaan, frustasi, dan lain-lain; menjabarkan; mengeluarkan; dan membagikan. Yang paling menarik dan mampu memberikan motivasi belajar adalah ketika menulis dimaknai sebagai upaya “mengikat makna”.

Mengikat makna dalam perspektif Hernowo, “memberikan kemungkinan untuk melihat hubungan membaca dan menulis yang saling membantu dan mendukung. Selain itu, manfaat membaca akan diperoleh secara penuh apabila menulis disandingkan dengannya”. Singkatnya, membaca memerlukan menulis, dan menulis memerlukan membaca.

Menulis membutuhkan komitmen dan konsistensi yang kuat/tinggi, ilmu pengetahuan, dan skill. Yang pertama, komitmen memiliki relevansi dengan niat, tekad, dan tujuan yang melandasi aktivitas menulis, dan untuk hal ini saya pun mendapatkan pemantik kesadaran bahwa harus disemangati dengan spirit “memberi” atau “tangan di atas”. Spirit “memberi” atau “tangan di atas” maksudnya bahwa seseorang tidak akan mampu bertahan menulis jika harus selalu menunggu apresiasi atau pujian. Menulis seringkali menjadi aktivitas di jalan sunyi, bahkan terkadang harus berhadapan dengan kritikan. Berbeda dengan bidang olahraga—dalam perspektif masyarakat ekstasi pun diakui—itu memang sangat digemari oleh banyak orang.

Yang kedua ilmu pengetahuan. Menulis membutuhkan ilmu pengetahuan, karena ibarat berperang, senjata yang ada harus memiliki peluru dan itu pun harus dipahami dengan baik, peluru apa yang tepat. Bagaimana bisa memiliki “peluru” dan “mengetahui jenis peluru yang tepat” jika tidak memiliki ilmu pengetahuan yang memadai. Ini pula yang mendasari logika “penulis yang baik sudah pasti pembaca yang baik, meskipun sebaliknya tidak bisa serta merta”. Meskipun saya menggunakan diksi “peluru yang tepat”, tetapi saya pribadi dalam menulis tetap menjaga karakter, tidak serta merta, karena ada pandangan atau saran agar tulisan disesuaikan selera generasi millenial, lalu saya mengikuti selera itu, tanpa memiliki karakter.

Ketiga, menulis membutuhkan skill. Untuk memiliki skill menulis, bagi saya berdasarkan pengalaman pribadi, tidak harus mengikuti diklat/pelatihan khusus, atau sejenis kelas menulis. Untuk bisa memiliki skill menulis, maka langkah pertama dan utama adalah menulis, menulis, dan menulis. Segera menulis. Urusan kualitas tulisan—termasuk sesuai rumus filosofi habits—akan memiliki korelasi positif atas intensitas atau tingkat rutinitas kita dalam menulis atau latihan menulis.

Menulis, dan ini banyak dirasakan oleh penulis, terasa bagaikan berjalan di jalan yang sunyi. Meskipun demikian, menulis itu adalah upaya memancarkan cahaya untuk menerangi jalan yang sunyi tersebut, meskipun terkadang masih sepi. Menulis pun sebagaimana judul di atas bisa berfungsi sebagai upaya untuk menyucikan hati dari belenggu literatur.

Perjalanan yang dilakukan, kesuksesan dan/atau kegagalan yang dicapai seseorang, jika kita mau merenunginya, seringkali sangat tergantung dari literatur yang dimiliki oleh seseorang. Mengapa? Literatur ini, akan terserap ke dalam hati, jiwa, dan pikiran. Sedangkan perbuatan, perilaku atau tindakan sangat tergantung dari apa yang terpancar dari hati, jiwa, perasaan dan pikiran.

Literatur dalam pemahaman yang luas, sebagaimana yang saya pahami dan interpretasi ulang dari buku ESQ Ary Ginanjar Agustian, bukan saja bermakna referensi-referensi dalam bentuk buku atau kitab. Literatur dalam hal ini, saya memaknainya pula, berupa pengalaman, apa yang telah ditonton, didengar, dan dialami, kemudian dipahami dan dijadikan sebagai pedoman. Jadi literatur bukan hanya apa yang dibaca dari buku. Meskipun demikian untuk meng-counter berbagai problem dari sesuatu yang dimaknai literatur ini, bisa dalam bentuk tulisan.

Ada orang karena rajin nonton Sinetron Anak Jalanan, maka bintang film dari sinetron tersebut, segala sikap dan perilakunya menjadi referensi atau literatur bagi dirinya. Penonton yang menjadikan sinetron ini sebagai referensi atau literatur, salah satunya, dirinya akan bersikap bahwa lelaki ideal adalah yang ke mana-mana mengendari motor gede. Selain itu akan tertanam dalam dirinya bahwa komunitas terbaik dan wajib dimasuki oleh generasi muda sekarang adalah komunitas motor, bukan lagi organisasi kepemudaan, seperti Pemuda Muhammadiyah atau GP. Ansor, atau organisasi kemahasiswaan + OKP seperti HMI.

Hal di atas hanya sekadar contoh saja, bagi yang menjadikan sinetron sebagai referensi atau literatur. Terkait film pun, saya berpesan bahwa tujuan utamanya, bukan hanya bagaimana alur ceritanya dipahami oleh si penonton, tetapi dibaliknya ada tujuan ideologis dan bisnis.


Akibat terbukanya ruang yang semakin luas, sebagai konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, maka ketersediaan dan daya akses literatur-literatur yang beragam semakin mudah. Hal ini menimbulkan konsekuensi baru atau lanjutan, peluang terpaparnya seseorang oleh literatur yang “menyesa(t/k)kan” atau tidak sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini melekat secara primordial dalam dirinya, semakin luas.

Secara sederhana bisa digambarkan bahwa hari ini, khususnya di media sosial, terkadang tanpa disadari telah terjadi perang opini. Opini yang diproduksi dan direproduksi memainkan peran untuk memenangkan peperangan dalam merebut atau menguasai opini publik. Apa lagi era media sosial hari ini, terjadi pergeseran paradigma. Jika sebelumnya, apa yang ada di media sosial atau dunia virtual adalah reinterpretasi dan representasi dari apa yang terjadi dalam realitas empirik, kini, hari ini terbalik. Apa yang terjadi dalam realitas empirik seringkali adalah berawal dari apa yang viral di media sosial, meskipun awalnya bersumber dari informasi hoax.

Dari berbagai problem yang ada, dan berawal dari informasi dan narasi yang menyesa(t/k)kan terutama di media sosial, maka salah satu peran strategis yang bisa ditempuh untuk meng-counter hal tersebut adalah dengan cara menulis. Menulis minimal diniatkan dan/atau bertujuan untuk memberikan pencerdasan, pencerahan dan penyadaran meskipun—dalam istilah saya—hanya setetes.

Niat dan/atau tujuan inilah, khususnya untuk saya pribadi menjadi spirit utama yang menjaga komitmen dan stamina untuk terus menulis. Jadi ada pula sejenis keprihatinan yang melandasi gairah menulis tersebut. Dan atas niat dan/atau tujuan itu pula, saya tidak mau terseret dalam arus selera generasi millenial—yang oleh sebagian orang, berdasarkan masukannya—mengharapkan “saya harus menulis lebih singkat, dengan narasi yang lebih sederhana (meskipun saya sendiri, menilai tulisan-tulisan saya itu sudah sangat sederhana) agar sesuai dengan harapan mereka.

Saya memiliki cara pandang, berdasarkan perenungan dan pendalaman secara filosofis atas kondisi generasi millenial hari ini (dalam konteks tulisan ini, generasi millenial bukan hanya yang dimaknai generasi Y, tetapi semua yang aktif di dunia virtual/media sosial), bahwa cara pandang saya yang harus mewarnai mereka. Bukan sebaliknya, mental yang serba instan, yang terkesan manja, dan malas membaca tulisan-tulisan panjang, yang harus diikuti dengan penyesusaian gaya menulis yang relevan. Namun hal ini pun, bukan berarti mengabaikan prinsip, bahwa tulisan-tulisan yang kita produksi harus mudah dipahami, tertarik dibaca, dan ringan dibaca oleh pembaca atau masyarakat. Saya pun harus menjaga harapan besar, agar kelak model generasi yang bisa dipandang sebagai generasi strawberry—meminjam istilah Rhenald Kasali yang menunjukkan generasi rapuh—bisa berubah menjadi lebih baik.

Dalam hal membaca pun, apakah suatu bacaan terasa berat atau tidak, sama dengan yang berlaku pada dimensi lainnya, sangat ditentukan dari pembiasaan. Jadi meskipun tergolong bacaan berat, jika sering dibiasakan, maka kelak terasa ringan. Apalagi dalam menulis, seringkali kita harus berpegang pula pada prinsip “setiap tulisan akan menemukan pembacanya sendiri”.

Tulisan-tulisan yang saya produksi, ada juga segelintir orang, dan itu sudah sampai di telinga saya, bahwa dia tidak suka dan sangat mencelanya, tetapi jauh lebih banyak—apalagi jika melihat background keilmuannya, ada yang sudah doktor bahkan professor—yang memberikan apresiasi. Sekali lagi, saya menegaskan dalam menulis pun harus mengedepankan prinsip “memberi” dan “tangan di atas”. Saya memaknai hal ini, “jangan semangat menulis kita, digantungkan pada penilaian orang”, tetapi kembali pada spirit awal untuk memberikan pencerdasan, pencerahan, penyadaran meskipun hanya setetes kepada orang-orang yang hati dan pikirannya terbuka dan menyadari prinsip perbedaan dan semangat belajar sepanjang masa.

Tulisan ini, sengaja tidak terlalu teknis membahas mengenai menulis, termasuk teori kepenulisan karena beberapa tulisan saya sebelum telah pernah dibahas, termasuk pada tulisan kedua puluh enam Ramadhan tahun yang lalu menyentuh pula terkait “Jihad Literasi”, yang Insya tepat hari kedua puluh enam Ramadhan saya akan kembali share secara massif.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply