Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Dalam lubuk hati manusia yang paling dalam, saya yakin terdapat suatu keniscayaan bahwa dirinya senantiasa ingin hidup damai. Dalam zaman—meminjam istilah Yuval Noah Harari—antroposen (zaman kemanusiaan) pun, apa yang dirasakan oleh manusia zaman sebelumnya berupa kekerasan, pembunuhan, dan/atau peperangan masih saja terjadi hingga hari ini. Homo sapiens maupun homo deus sepertinya masih akan mengalami suasana yang tidak damai selama dalam dirinya tidak memperbaiki atau menjernihkan satu hal, apalagi jika hanya mengandalkan pendekatan teknologi dan sains. Apa itu, satu hal yang dimaksud? Jawabannya “Kacamata”. Kacamatanya ini harus dijernihkan agar merasakan kedamaian hidup.
“Jernihkan Kacamata Damailah Hidup” sangat analogis, di dalamnya terdapat pilihan diksi yang mengandung makna konotatif (bukan makna yang sebenarnya), meskipun sebagian diksinya lagi mengandung makna denotatif (makna yang sebenarnya). Menjernihkan kacamata di sini adalah menjernihkan atau memperbaiki “sudut pandang”. Ada banyak perselisihan, penghinaan, penuduhan, atau vonis negatif, itu berawal dari sudut pandang yang negatif, keliru, sempit, dan dangkal.
Sebelum lebih jauh menjelaskan, saya ingin mengajak teman pembaca untuk mengimajinasikan terlebih dahulu suatu fakta bahwa “jika kacamata yang kita gunakan, lensanya kuning, maka semua yang kita tatap nampak kekuning-kuningan. Jika lensanya merah, maka nampak kemerah-merahan. Jika hijau maka nampak kehijau-hijauan”. Jadi agar yang ditatap, bisa nampak sesuai dengan warna yang sebenarnya, maka lensa kacamata kita, harus yang bening (jernih).
Sebagaimana yang saya jelaskan pada tulisan-tulisan sebelumnya, “sudut pandang” yang keliru, negatif, sempit, dan dangkal merupakan satu di antara tujuh belenggu hati yang bisa menutupi suara kebenaran, suara hati, dan suara ilahiah. Maka hati pun, harus dibersihkan dari belenggu yang satu ini: sudut pandang negatif, keliru, sempit dan dangkal.
Sudut pandang yang bermuara pada sesuatu yang dinilai negatif, keliru, sempit, dan dangkal, ada beberapa faktor penyebabnya. Bisa karena pengetahuan yang minimalis (sedikit lebih halus daripada minim), dominasi prasangka negatif dan kepentingan pribadi, dan bisa pula karena faktor doktrin dan/atau dogmatisme terhadap satu pandangan tertentu, tanpa kecuali oleh orientasi atau motif tertentu.
Suatu ketika status facebook saya terkait penegasan “konsep diri” atas relasinya dan sebagai solusi atas dua pihak yang masing-masing mempunyai otoritas, sedang berselisih, dikomentari oleh teman dan intinya menyalahkan status facebook saya, karena dinilai tidak sesuai atau relevan. Merespon komentar dan tanggapan teman itu, saya menyampaikan bahwa “Penilaian Anda yang menilai salah seperti itu, bisa saja ada benarnya karena menggunakan sudut pandang Anda sendiri yang (mungkin) belum memahami dengan baik seperti apa itu konsep diri. Sedangkan saya menilai bahwa ada relasinya dan bisa jadi solusi karena saya memahami dengan baik konsep diri tersebut”.
Dan pada saat itu pun, saya mengajaknya dengan santun (untuk tidak menantangnya) untuk diskusi bersama di komunitasnya membahas konsep diri ini. Karena dirinya seorang ketua di suatu komunitas/organisasi. Namun ajakan itu tidak kunjung datang. Kejadian ini, jika tidak salah ingat kurang lebih 13 tahun yang lalu.
Saya pun teringat dalam sebuah group WhatsApp, saya melakukan diskusi (untuk tidak menyebutnya perdebatan) berawal dari pernyataan teman (bukan orang yang sama dengan yang di atas) bahwa “Nada dering atau ringtone ponsel, haram hukumnya menggunakan suara adzan atau mengaji (bacaan Al-Qur’an). Saya mengejar alasannya, akhirnya dia menjawab “karena ini semua adalah suara suci, tidak boleh berbunyi dan terdengar pada saat di dalam toilet/kamar mandi terutama ketika sedang buang hajat”.
Lalu, saya menanggapi kembali jawabannya, “jadi bagaimana hukumnya suara adzan atau orang mengaji (membaca Al-Qur’an) yang terdengar dari toa masjid masuk ke dalam toilet masjid/rumah dekat masjid”. Dirinya menegaskan bahwa “itu beda, yang dari ponsel itu asli langsung, sedangkan yang dari toa itu tidak langsung”. Dari jawabannya yang terakhir ini, saya sudah mulai menemukan inkonsistensi (tidak konsisten) atas argumentasinya yang mengharamkan nada dering itu.
Saya kembali menanggapi bahwa, “argumentasi Anda tidak tepat dan tidak konsisten. Suara adzan yang terdengar atau pun orang mengaji melalui nada dering, dengan suara adzan dan orang mengaji yang terdengar dari toa masjid di dalam toilet/kamar mandi, itu sama-sama bukan suara asli. Tetapi suara rekaman dan/atau suara yang dikonversi melalui teknologi digital”.
Setelah saya menegaskan ini, saya memberikan kembali penekanan “Jika Anda mengharamkan nada dering suara adzan dan sejenisnya, karena khawatir akan tiba-tiba berbunyi atau terdengar dalam toilet/kamar mandi, maka Anda harus konsisten, usahakan toilet-toilet masjid/rumah dekat masjid yang kemungkinan Anda tempati untuk sesuatu hal, itu didesain kedap suara, tidak ada suara yang bisa masuk/tembus dan terdengar di dalamnya. Karena tidak bisa dijamin, Anda sedang di dalamnya dan pada saat itu terdengar suara adzan di dalam”. Komentari terakhir saya ini, tidak ditanggapi lagi dalam group itu sampai hari ini, enam tahun telah berlalu. Tentunya, saya pun tidak sepakat jika membawa kitab Al-Qur’an masuk ke toilet lalu, mengaji di dalam sambil buang hajat, karena ini sangat bertentangan pula dengan nilai etika.
Banyak hal serupa, yang menunjukkan karena sudut pandang yang terkesan sempit dan dangkal, sehingga tanpa berpikir rasional menjatuhkan vonistertentu kepada orang lain. Sama halnya ketika suatu waktu, mungkin kejadiannya 18 tahun lalu, tetapi lokasi dan orangnya saya masih ingat dengan baik. Pada saat itu, saya ke Musala Pasar Sentral Bantaeng, untuk bermaksud beli buku, tetapi sambil membawa buku yang judulnya Filsafat Pendidikan. Tiba-tiba seseorang yang mengenal saya, berkomentar, “Agus, jangan baca buku itu, kamu bisa bisa menjadi kafir!” Saya kaget, dan hanya menanggapi, “mungkin sebaiknya dibaca dulu buku ini, alhamudullilah, saya sudah hampir menamatkan buku ini, dan saya merasa sama sekali tidak ada yang akan menggiring diri ini untuk menjadi kafir”.
Ada juga hal menarik lainnya, yang bisa ditarik garis relasi dengan apa yang disebut dengan “sudut pandang” yang keliru, sempit dan tidak konsisten. Seorang facebooker menghujat aktivtas suatu komunitas, dengan beberapa komentar, di antaranya bisa disimpulkan bahwa “semua yang tidak diajarkan dan tidak ada pada zaman Rasulullah, itu tidak boleh dilakukan”, ini substansi di salah satu komentarnya. Lalu saya ikut berkomentar, “Ustadz, yang digunakan berkomentar ini apa? bukan Facebook? Apakah facebook ada dan diajakan pada zaman Rasulullah? Komentar ini, sama sekali tidak ditanggapinya, dan tidak ada lagi komentarnya yang lain.
Menghadapi kritikan destruktif, komentar ekstrim, dan cacian, saya punya jurus memaklumi dengan penegasan “Bisa jadi seseorang yang menghina, tidak sepakat, dan menyalahkan konsep yang kita miliki, hanya karena mereka belum sampai pada level pemahaman yang kita miliki. Dan sebaliknya pun kita harus berpikir, bahwa bisa jadi kritikannya memang benar, hanya karena kita belum sampai pada level pemahamannya”. Hanya saja untuk aspek penegasan kedua ini, dalam menyampaikan tanggapan atau kritikan tetap dengan cara yang baik dan konstuktif.
Sudut pandang, bukan hanya mekanisme penilaian yang bersifat teknis, prosedural, praktis, dan regulatif. Lebih daripada itu “sudut pandang” berupa mekanisme psikis yang sangat memengaruhi sikap, selanjutnya mampu menentukan dan menggerakan suatu jenis perilaku atau tindakan.
Contoh-contoh yang telah diuraikan, yang mencerminkan sikap dan perilaku yang terkesan langsung menjatuhkan vonis, bahkan menyalahkan itu berawal dari sudut pandang yang dimiliki seseorang. Sudut pandang yang dipengaruhi oleh banyak faktor, juga menyasar banyak dimensi kehidupan. Jika sudut pandang yang berbeda diikuti dengan cara penyampaian yang baik dan beretika tetap bisa diterima maka menjadi sebuah rahmat sebagaimana adagium “perbedaan adalah rahmat”. Dan menjadi persoalan ketika penyampaian sudut pandang yang berbeda-beda itu diikuti oleh perilaku yang tidak beradab maka ini akan senantiasa menimbulkan suasana yang tidak damai.
Tidak sedikit pula, perang saudara sesama anak bangsa terjadi karena sudut pandang dalam memahami ajaran agama, tanpa kecuali termasuk dalam memahami ideologi bangsa dan negara, itu berbeda-beda. Jadi idealnya dalam setiap konteks kehidupan yang ada kita harus mampu menjernihkan sudut pandang kita, dengan melihat berbagai dimensi, aspek atau sisi kehidupan sebelum menampakkan sebuah sikap dan perilaku, yang bisa saja ada yang berpotensi menimbulkan kekacauan dalam hidup.
Sama halnya ketika dalam suatu institusi keluarga, maupun institusi atau lembaga tempat bekerja, sering terjadi suatu peristiwa yang mencerminkan ketidakdamaian, itu bisa dipicu karena di antara para subjek yang ada, masing-masing memiliki sudut pandang yang berbeda. Tidak mampu ditemukan satu sudut pandang yang merefleksikan titik temu dari perbedaan-perbedaan yang ada.
Saya pernah membuat satu tulisan yang judulnya “Dari Cinta Agama Menjadi Agama Cinta”. Sesungguhnya jika pembaca jeli menangkap substansi tulisan saya ini, akan ditemukan satu mutiara pesan tentang pentingnya sudut pandang yang jernih. Tidak sedikit berawal dari “Cinta Agama” justru sikap dan perilaku yang ditampilkan bukanlah “Agama Cinta” tetapi terkesan agama penuh dengan kebencian, cacian, kekerarasan, dan sikap takfiri dan truth claim.
Memiliki sudut pandang yang jernih memang bukan hal yang mudah, termasuk diri saya sendiri belum mampu menilai dengan baik apakah saya sendiri sudah memiliki sudut pandang yang jernih dalam berbagai dan setiap konteks kehidupan. Dan, untuk memiliki sudut pandang yang jernih dibutuhkan banyak instrumen, metodologi pemahaman—atau dalam perspektif filsafat, dibutuhkan perangkat epistemologi yang benar dan baik—termasuk literatur/referensi yang banyak, luas, dan mendalam.
Tulisan ini pun, tidak mampu tidak mampu menjadi instrumen untuk memberikan pemahaman yang sangat detail terkait sudut pandagn tersebut, yang menandaikan luasnya cakupan dan banyaknya perangkat yang dibutuhkan utnuk memahaminya.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023