Dalam tulisan ini, saya meminjam analisis Cendekiawan Amerika Ian G. Barbour. Ia banyak menyoroti hubungan sains dan agama, serta memperkenalkan empat tipologi dalam melihat relasi ilmu dan agama. Empat tipologi itu yakni konflik, independensi, dialog, dan integrasi.
Konflik dimaksudkan Barbour sebagai pandangan yang memosisikan sains dan agama dalam dua kutub ekstrem yang saling bertentangan dan saling menegasikan.
Sementara independensi memandang, baik sains dan agama, sama-sama mempunyai ruang kajiannya masing-masing tanpa harus saling mengintervensi dan menafikan sesamanya.
Berbeda dengan cara pandang independensi yang saling memagari dan meletakkan batas juga jarak bagi hubungan dua entitas ini, tipologi dialog hadir menawarkan interaksi yang membuka kemungkinan bagi titik temu dan kemitraan yang dialogis antara sains dan agama.
Dari tiga cara pandang tersebut, Barbour menawarkan cara pandang lain yang melampaui tipologi dialog. Barbour menyebutnya dengan “integrasi”.
Integrasi adalah sebuah cara pandang yang secara konseptual menempatkan sains dan agama sebagai sumber koheren yang valid dalam pandangan dunia namun saling membuka ruang yang dialektis untuk saling mengisi dan menyempurnakan.
Di sini, pandangan tentang dunia yang diperoleh dari sains semestinya memperkaya pemahaman keagamaan umat beriman dengan membuka selebar-lebarnya pintu ijtihad dan pembaharuan pemikiran keagamaan.
Pun sebaliknya dalam sains, ada dimensi religius di mana intelijibilitas dunia memerlukan landasan rasional tertinggi yang bersumber dari teks-teks keagamaan dan struktur pengalaman kemanusiaan yang ada di dalamnya.
Dalam tradisi keilmuan, baik yang diwakili oleh Islam maupun Barat, masih melanggengkan pola berpikir yang serba dikotomis-atomistik, di mana dalam tradisi intelektual Islam, bangunan keilmuan Islam diletakkan terpisah.
Tidak hanya terpisah, bangunan itu juga tak saling berhubungan dengan bangunan keilmuan natural science (ilmu-ilmu alam), social science (ilmu-ilmu sosial), dan humanities (humaniora).
Pun begitu sebaliknya, tradisi keilmuan Barat masih mengambil jarak dengan hal-hal yang berbau agama dan Tuhan (sekularisasi ilmu).
Susungguhnya, cara pandang yang mengandung atribut sinisme dan permusuhan ini tidak boleh terus dibiarkan tumbuh subur dalam diskursus intelektualisme, baik di Universitas Islam pun demikian halnya di organisasi.
Terlebih, dua lembaga tersebut semestinya merawat ruang-ruang dialogis konseptual antara berbagai disiplin keilmuan.
Dengan begitu, keterbukaan untuk saling menjembatani keterhubungan dan keterpaduan berbagai cabang ilmu menjadi hal yang dibutuhkan untuk tidak mengulang apa yang Amin Abdullah sebut dengan “Kecelakaan sejarah umat Islam” di masa lalu.
Dalam masa kecelakaan tersebut, pemikiran Islam hampir tidak bergerak dalam waktu lima ratus tahun karena mempertahankan episteme klasik-skolastik yang dikotomistik-atomistik.
Pandangan keilmuan yang dikotomis atau sebaliknya, meletakkan rambu-rambu yang terlalu ketat dalam membaca kemajuan sains.
Keketatan tersebut hanya malah mengisolir perkembangan pemikiran Islam yang pada kemestiaannya berjalan mengiringi kemajuan sains.
Dengan begitu, kita tidak kembali mengulang sejarah matisurinya sains di dunia Islam, seperti yang terjadi di abad delapan belas, yang justru di masa itu sains begitu pesat berkembang di dunia Barat.
Geneologi pemikiran yang berwawasan “moderasi keilmuan” sesungguhnya sejak dahulu telah diperkenalkan oleh para pemikir Islam yang dalam tradisi keilmuannya mewakili corak intelektualisme “Integralistik-ensiklopedik”.
Tokoh-tokohnya seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Haitsam. Manhaj pemikiran keilmuan mereka inilah tawaran alternatif yang inklusif terhadap seruan corak pemikiran keilmuan yang spesifik-parsialistik.
Corak pemikiran ini dikembangkan oleh para ahli fikih dan hadis yang cenderung tertutup dan hanya fokus pada tradisi keilmuan Islam klasik. Kita juga mengenal kerangka koherensi epistemik antara fikih dan sains di masa awal perkembangan sains dalam Islam.
Dalam kelanjutan sejarahnya, kedua corak pemikiran keilmuan, baik yang integralistik-ensiklopedik maupun spesifik-parsialistik ini, menjelma dalam rumusan pola relasi dalam memosisikan paradigma epistemologi bayani, burhani, dan irfani.
Corak pemikiran keilmuan yang spesifik-parsialistik mengambil pola relasi linear yang menempatkan salah satu bidang keilmuan sebagai primadona sehingga memunculkan penilaiaan yang berat sebelah dan tidak utuh.
Ini karena corak keilmuan tersebut meminggirkan serta cenderung menegasikan pandangan dari cabang keilmuan lain di luar satu bidang keilmuan yang telah dipilih.
Di banyak perguruan tinggi dan komunitas “berpikir”, jika tidak ingin menyebut semua, paradigma keilmuan jenis ini berkecambah dan masih menjadi rancang bangun keilmuan.
Ini berbeda dengan corak intelektualisme integralistik-ensiklopedik yang mengambil pola relasi sirkular yang mengandaikan keterbatasan di semua cabang keilmuan.
Akibatnya, dari corak tersebut dibutuhkan kesadaran untuk berdialog dan bertegur sapa, serta saling menyempurnakan di antara disiplin keilmuan yang berbeda demi mendapatkan pemahaman yang lebih utuh dan menyeluruh.
Rancang Bangun Keilmuan IMM
Kelahiran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di atas panggung sejarah tidak bisa dipisahkan dari misi intelektualismenya yang menjadi kepribadian gerakan organisasi ini.
Hal ini mengindikasikan misi suci IMM di dalam membangun kiprah intelektualnya tidak hanya bertunas dan bercokol di internal IMM atau pun Muhammadiyah, namun menggejala di multi lini dan sektor.
Glorifikasi intelektualisme IMM sebagai “cendekiawan berpribadi” mengemban beban semantik yang tidak sederhana, karenanya diperlukan tafsiran kreatif-progresif yang diarahkan pada upaya mencapai cita-cita dan tujuan intelektualisme ikatan.
Salah satu tafsiran yang cukup merepresentasikan maksud dari “cendekiawan berpribadi” dilukiskan dalam postur intelektual integralistik oleh Amin Abdullah sebagai sesosok manusia beragama yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pascamodern.
Tidak hanya itu, dituntut pula penguasaan berbagai pendekatan baru yang ditawarkan oleh ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (social science), dan humaniora (humanities) kontemporer.
Di atas segalanya, dalam setiap langkah dan gerakan intelektualnya, selalu dibarengi landasan etik dan moral keagamaan yang objektif dan kukuh, di mana Al-qur’an dan Sunnah menjadi landasan dan pandangan hidup yang menyatu dalam tarikan nafas keilmuan, keagamaan, dan kemanusiaan.
Semua itu diabadikan untuk kesejahteraan manusia universal tanpa memandang latar belakang etnisitas, agama, ras, maupun golongan.
Misi diaspora kader IMM di masa depan sesungguhnya membutuhkan postur intelektual ikatan seperti yang digambarkan oleh Amin Abdullah, sehingga paradigma intelektual lama yang dibumikan dalam aktivitas dialogis dan perkaderan ikatan harus mulai digugat dan dipersoalkan kembali.
Terlebih, ketika pendekatan yang digunakan dalam pengaderan malah mengisolir para kader IMM dari realitas postmodern sehingga posisi ikatan tidak lagi dianggap penting dalam perikehidupan masyarakat dalam seluruh tingkatannya.
Sudah saatnya IMM dengan misi intelektualismenya tampil sebagai intelektual moderat yang mampu mengawinkan peradaban ilmu pengetahuan empiris (akademisi) atau hadarah al-ilmi yang menghasilkan sains dan teknologi dengan peradaban teks atau hadarah al-nash.
Peradaban teks inilah yang diterjemahkan dalam tradisi intelektual Islam klasik (Islam), ditambah dengan peradaban filsafat atau hadarah al-falsafah yang dibangun di atas koherensi argumen-argumen logika.
Bertahan dengan kondisi intelektualisme yang sempit, dikotomis, serta tertinggal tanpa rancang bangun keilmuan, malah menempatkan posisi IMM sebagai bagian dari pihak yang menyumbang “kecelakaan sejarah keilmuan” yang berulang, maka terkutuklah kita yang katanya “cendekiawan berpribadi”.
Ditulis oleh :
Taufiqurrahman
(Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah )