Ketika pertama kali mendengar kabar berpulangnya Buya, yang teringat adalah pesan itu. Ditambah sejumlah pijakan-pijakan pemikiran Beliau di kepala dan relung sanubari saya.
Sentuhan pertama saya dengan pemikiran Beliau yang paling membekas adalah tulisan Buya dalam buku “Menuju Persatuan Umat Pandangan Intelektual Muslim Indonesia”. Saya membacanya saat awal-awal saya benar-benar sibuk menjadi IMMawan, sekira awal 2012.
Membaca tulisan Buya yang mengulas sejarah konflik umat Islam dan kaitannya dengan etika Quran itu, saya tersentak. “Ada juga orang Muhammadiyah yang seperti ini!”
Meski sudah agak terbiasa dengan keliaran pemikiran– sebelumnya, saya sudah membaca Catatan Harian Ahmad Wahib, tertarik dengan tweet-tweet Cak Ulil, dan diskursus-diskursus FINS– saya agak heran, karena itu terlontar dari seorang yang bahkan adalah Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.
“Betapa lancangnya Buya menyebut Mu’awiyah sebagai salah satu penulis wahyu yang tidak selalu mengamalkan etika Quran yang ia tulis.”
Buya bahkan menyebut Ali bin Abi Thalib r.a, ‘Aisyah r.a, dan sahabat Nabi, serta umat Islam yang ditinggal Nabi belum seperempat abad, sudah sulit dikendalikan oleh etika atau ajaran Quran terkait ukhuwah Islamiyah.
Sambil sumringah, terangguk-kagum, suatu keyakinan hadir bagai benderang surya di waktu Syuruq. “Kudapat-mi idolaku,” gumam dalam hati.
Saya mengidolakan Buya dengan tulisannya itu bukan karena keliarannya belaka, melainkan betapa beraninya Beliau mengatakan sesuatu yang dianggap salah tanpa melihat “siapa pelakunya”.
Wawancara saya dengan Prof Dr Irwan Akib terkait sosok Buya kemarin, menguatkan saya bahwa memang Buya akan tetap mengkritik siapa pun.
Bahkan kabarnya, Buya sebenarnya seringkali menancapkan tajam kritiknya kepada Jokowi, yang juga tetap “dianui” Buya secara politik hingga akhir hayatnya. Lebih sering dibanding yang termuat di media.
Persentuhan yang juga amat membekas adalah ketika membaca pengantar yang ia tulis untuk buku DPP IMM yang terbit pada 2007. Buku itu saya baca sekira medio 2012.
Cerapan saya atas tulisan Buya tersebut, bahkan menjadi kutipan favorit saya di masa-masa itu. Saya selalu mendeklamasikannya saban kali membawakan materi. Bahkan pernah jadi pamungkas dalam salah satu tulisan saya.
“Kerja intelektual adalah kerja seumur hidup. Itu pun tidak akan pernah tuntas dan memuaskan. Ada saja yang kurang, ada saja yang tidak genap. Yang pasti, kinerja intelektual memerlukan kesabaran dosis tinggi untuk terus berpikir dengan stamina spiritual yang prima,” tulis Buya.
Karena itu, hingga kini, tidak jarang saya hanya tertawa geli atas cibiran rekan ke saya: “Kenapa masih peduli dengan gerakan?”; “Kenapa masih mau mengkritik penindasan?”; ” Kau belum move on dari masa mahasiswa”.
Dari Buya, saya juga sadar bahwa kerja-kerja intelektual bukanlah sekadar berteriak di jalan. Terkait stamina spiritual, lagi-lagi tulisan Buyalah yang menepikan saya dari hamparan buih salah-kaprah yang berbau amat wangi.
Saya ingat, Sabtu atau Ahad pagi. Di akhir pekan, membaca Harian Kompas hanya untuk menikmati sajiannya terkait budaya dan sastra. Tetapi betapa saya senang sekali menemukan tulisan Buya hari itu.
Dari tulisan Buya itu, saya disadarkan bahwa nilai Quran, nilai Islam tidak hanya tulisan-tulisan Arab yang dikutip dari Quran atau Hadis.
Seingat saya, kata Buya, semua nilai-nilai baik bahkan ketika menggunakan bahasa bukan Arab, adalah ajaran Islam, ajaran Quran. Bahkan yang bukan dari Quran jika tidak bertentangan dengan Quran.
Selanjutnya, saya memahami spiritualitas bukan ajaran agama belaka, bukan sekadar religiusitas, pelembagaan keyakinan dan segala hal yang mengikutiya.
Spiritualitas seharusnya berbentuk efek positif. Meskipun, saya pernah mengernyitkan dahi ketika istilah spiritual tidak tepat digunakan oleh Buya, belakangan, ketika Beliau menyebut pengultusan berlebih atas habib sebagai perbudakan sprititual.
Buya Syafi’i adalah pintu masuk pergumulan saya dengan pemikiran progresif Muhammadiyah. Dari menyelancari Buya, kursor saya menemukan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Semula, saya hanya tahu JIL yang centil itu.
Khittah lalu semakin membuat saya terjeblos masuk ke dalam lubang Muhammadiyah Berkemajuan yang sejati. Pergumulan dengan Khittah membuat saya menemukan suatu fakta yang bikin saya sumringah.
Fakta itu adalah saat Buya menjadi Ketum PP Muhammadiyah, Majelis Tarjih bertugas untuk mengembangkan pemikiran ke-Islaman yang dipunggawai Prof Dr Amien Abdullah.
Masa itu bahkan menelurkan sebuah “Tafisr Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama”. Sebuah produk progresif Persyarikatan karya Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam yang karbarnya telah diaborsi.
Di masa Buya, gerakan Dakwah Kultural juga digalakkan. Progresivitasnya konsep dakwah ini terlihat jelas dengan konsep bahwa Islam tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan manusia. Islam bukan soal Ilahiyah semata.
Dakwah Kultural juga menegakkan Islam sebagai nilai universal yang tidak melihat muslim apa kafir, terlebih ras, jenis kelamin, dan profesi atau “strata sosial”.
Di masa Buya, perempuan, Ibu-Ibu ‘Aisyiyah juga mulai diakomodasi dalam kepengurusan Muhammadiyah, hal yang sebelumnya belum pernah terjadi.
Bahkan, akomodasi pengurus perempuan ini menjadi putusan Tanwir dan di-tanfidz-kan dalam AD/ART Muhammaidyah. Sayang, wujud dari egalitarianisme ini sempat dipatahkan di masa awal Prof Din Syamsuddin.
Buya dan Agen Pemikiran Liberal
Tulisan ini sebenarnya telah dibuat pada Jumat, 27 Mei 2022, ketika Buya Syafi’i wafat, tetapi lama prosesnya hingga bisa benar-benar dianggap selesai. Beruntung, ada hal baru yang sekalian bisa saya komentari di sini.
Tidak lama setelah sepeninggal Buya, di WhtasApp, telah beredar tulisan yang membincang Buya sebagai tokoh pemikiran liberal Indonesia. Maksud tulisan itu mudah saja ditafsirkan.
Kita juga bisa saja berseloroh “Kenapa sai mi ini e, wafat-mi orangnya!” atas tulis yang repot-repot itu. Meski demikian, saya tertarik untuk mempertimbangkannya.
Saya harus mengaku, sulit untuk tidak mengait-ngaitkan progresivitas pemikiran Buya Syafi’i ini dengan profilnya sebagai “anak Paman Sam”, sebagaimana Gus Dur yang menyebut Buya salah satu pendekar Chicago.
Sebagai orang yang sebisa mungkin tidak ingin diperdaya, saya sebenarnya juga sangat berhati-hati dengan pemikiran-pemikiran progresif, termasuk dari dan dengan idola saya sekalipun. Meski terkesan naif.
Tentu, saya tidak ingin menjadi antek-antek Paman siapa pun. Karena itu, saya harus berhati-hati, meski saya menyadari bahwa pemikiran porgresif yang seringkali secara serampangan digaris sebagai liberal, menurut saya, beberapa ada benarnya, bahkan jelas benarnya.
Lantas, terkait Chicago-nya Buya, sewaktu Beliau menampik keras isu kebangkitan gerakan komunis (yang secara ceroboh disimplifikasi dengan PKI) di negara ini, saya heran betul.
“Masa iya, antek-antek Paman Sam sudi mengakomodasi komunis? Bukankah selamanya “agen liberal” akan menggoreng wacana PKI?” Begitu respons reptil saya.
Kita bisa saja menyebut, sikap Buya itu sebagai tindakan “mengamankan” pemerintahan kini yang memang sering ia bela, dan seringkali dikait-kaitkan dengan isu PKI.
Kita juga mungkin akan mengatakan, agen liberal akan selalu kontra dengan antikapitalisme, tetapi menggoreng isu PKI itu terlalu murahan untuk menjadi counter-nya.
Atau kita mungkin kita akan berpikiran, agen liberal akan selalu menghargai apapun pemahaman manusia, tetapi akan tetap sepaket dengan upaya membendung pemahaman berbeda itu untuk berkuasa. Tapi, perlu kiranya untuk memikirkan ulang hal ini.
Setelah mewawancarai Prof Irwan Akib terkait kenangannya atas Buya, saya benar-benar memikirkan, kesan Prof Irwan yang menyebut Buya sebagai orang yang selalu tulus. Prof Irwan bukan satu-satunya yang mengatakan demikian!
Akhirnya, saya yakin, sikap Buya ini sungguh didorong oleh keprihatinan atas kondisi “jumud” umat dan masyarakat awam.
Terlebih, sebelum berpikiran seperti belakangan ini, Buya juga mengaku sebagai fundamentalis yang kadang agak ekstrem dan betah termangu dengan kejumudannya.
Saya mafhum, Buya benar-benar meyakini, bukan dibayar untuk yakin. Ia benar-benar mentranformasi bukan demi transferan.
Gus Dur menyebut Buya dan Pak Amien sebagai pendekar Chicago. Lalu cap tersebut dimaknai oknum sebagai agen, sebagaimana Mafia Barkeley.
Lantas, bukankah Pak Amien malah menerjemahkan buku Ali Syariati, Sosisolog Iran, musuh Paman Sam?
Buya, meski menolak jika negara harus meminta maaf kepada PKI dan menghapus sejarah keterlibatan PKI dalam pemberontakan, Ia tetap mengiyakan rekonsiliasi, pemenuhan hak hidup, dan penghapusan stigma atas anak-cucu anggota PKI.
Buya bahkan meminta wacana-wacana PKI tidak lagi diributkan saban September bagai iklan sirup yang masif setiap jelang dan masa Ramadan.
Ada perbedaan yang unik dan menakjubkan dari Buya dan Pak Amien yang alumni program Paman Sam ini. Saya pikir, itu digariskan oleh keinsyafannya pada Muhammadiyah, Persyarikatan yang pendirinya juga dahulu disebut sebagai antek-antek Barat dan liberal.
Dari situ, saya bahkan berkeyakinan bahwa Buya bukan “agen”. Ia hanya benar-benar memperjuangkan kemerdekaan. Ia setulus-tulusnya membela keadilan. Ia senyata-nyatanya mendamba sebuah kemajuan.
Ditulis oleh: Zulfikar Hafid (Wakil Sekretaris Majelis Pustaka dan Informasi PWM Sulsel)