KHITTAH.CO, Yogyakarta- Muhammadiyah untuk kemanusiaan, bukan hanya untuk Indonesia. Hal itu dikatakan Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Gunawan Budianto.
Hal tersebut ditegaskan Gunawan Budianto dalam acara Muktamar Talk, Jumat, 5 Agustus 2022 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Ia mengatakan tidak ada satu pun tokoh Muhammadiyah yang mengatakan bahwa Persyarikatan ini hanya untuk Indonesia.
Menurut Gunawan Budianto, sebetulnya ajaran Al-Ma’un yang disampaikan KH. Ahmad Dahlan itu tidak menyebutkan bangsa apa, tapi manusia, dan kemanusiaan.
“Sudah saatnya kita harus kembali kepada ide KH. Ahmad Dahlan bahwa Muhammadiyah untuk manusia dan kemanusiaan, bukan khusus untuk satu bangsa dan negara,” kata Gunawan.
Acara yang dipandu Budi Santoso ini merupakan program diskusi yang digelar secara berseri dalam rangka menyambut dan menyemarakkan Muktamar Muhammadiyah ‘Aisyiyah ke-48 di Surakarta, 18–20 November 2022 mendatang.
Menurut Gunawan, atas dasar itulah, di berbagai daerah Muhammadiyah hadir dengan amal usahanya yang melayani tanpa memandang perbedaan.
“Kita lihat bagaiamana Universitas Muhammadiyah di Kupang itu mahasiswanya 80 % itu non Islam. Di Sorong, di Unimuda juga demikian. Artinya apa? Muhammadiyah bukan gerakan eksklusif, tapi gerakan inklusi yang prioritasnya itu keluar dan itu tidak mengenal golongan, tidak mengenal agama,” ungkap dia.
Internasionaliasi Muhammadiyah
Berbicara tentang internasionalisasi gerakan Muhammadiyah, menurut Gunawan, bukan berarti urusan sosial kemasyarakatan di Indonesia sudah selesai. “Ini kita bicara Muhammadiyah untuk manusia dan kemanusiaan, dimanapun…!” tegasnya.
Untuk mempercepat internasionalisasi gerakan Muhammadiyah itu, Gunawan menambakan, Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (PTMA) bisa menjadi motornya.
“Perguruan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah sudah bukan lagi pabrik sarjana, tapi harus diubah menjadi sebuah proses yang menghasilkan sarjana internasional, yang siap berinteraksi dalam kawasan-kawasan internasional apakah regional ASEAN, Asia bahkan dunia,” ungkapnya.
Menurut Gunawan, pengiriman dosen-dosen PTMA untuk studi lanjut di luar negeri, mengirim para mahasiswa untuk melaksanakan program pertukaran pelajar dan mendatangkan mahasiswa asing untuk kuliah di PTMA bisa menjadi jalan untuk membukan internasionalisasi gerakan Muhammadiyah melalui PTMA.
Lewat kegiatan-kegiatan peningkatan atmosfer internasional dari masing-masing PTMA itu, menurut Gunawan, otomatis mereka (pihak luar negeri) akan mengenal Muhammadiyah. Namun Gunawan juga mengingatkan tantangan dan kendala yang harus dihadapi yaitu kerja sama internasional yang tidak ditindak lanjuti aktifitas nyata serta penguasaan bahasa asing.
PTMA dan PCIM
Gunawan juga menyinggung Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Dikti Litbang) yang perannya sudah cukup baik dalam mendorong PTMA untuk menjalin kerja sama dengan berbagai perguran tinggi di Eropa, Amerika, dan Turki.
Namun, memang tidak semua dari PTMA tersebut kemudian menjalin kerja sama secara nyata dengan berbagai perguruan tinggi luar negeri yang dikunjungi itu.
“Kalau 40 PTMA saja melakukan kerja sama internasional, saya yakin Muhammadiyah akan berkibar” tegas Gunawan.
Peran Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) yang saat ini sudah mencapai 23 cabang juga disinggung Gunawan.
Menurut dia, PCIM ini sangat luar biasa, mereka membantu sebanyak-banyaknya generasi muda Muhammadiyah untuk kuliah di luar negeri dan bahkan kadangkala mereka menjadi tulang punggung dari kegiatan-kegiatan kenegaraan kantor kedubes Indonesia.
(Rls/Fikar)