Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Masa Depan Negeri Pendidikan: Pembebasan Pendidikan Merdeka (Bagian 1)

×

Masa Depan Negeri Pendidikan: Pembebasan Pendidikan Merdeka (Bagian 1)

Share this article

Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah*

Sudah sejak tahun 2018 Salaja Pustaka sampai sekarang dengan jatuh bangun cita-cita di dalamnya. Sebuah komunitas yang memfasilitasi geliat aktivisme gerakan literasi, pendidikan, dan sosial di Bima, NTB dan Makassar; lembaga itu lengkapnya bernama Salaja Pustaka Institute. Saya dan bersama dengan beberapa teman, baik yang bersama lahir dan besar di Bima maupun yang berasal dari Sulawesi merantau kuliah ke Makassar membangun wadah komunitas ini untuk melihat kualitas dunia pendidikan yang lebih baik. Selepas kuliah, saya memutuskan untuk berkelana ke daerah ibukota, Jakarta.

Di Jakarta saya pernah menjadi karyawan di beberapa perusahaan swasta, sebab karena pandemi setelah itu kemudian mengabdi dengan menjadi pengajar sukarela anak-anak putus sekolah dan sebuah komunitas kampung pemulung di pinggiran kota Jakarta.

Waktu berlalu, pengalaman mesti diperluas dan diperbanyak, saya pun hingga akhirnya memutuskan untuk mengajar, demi juga mewujudkan semangat literasi dan menulis di sebuah sekolah formal swasta prestis pula menerapkan kurikulum internasional. Terutama ini berkaitan dengan semangat saya untuk mengejawantahkan sebuah anjuran yang saya pandang punya landasan ontologis tinggi.

Sebuah anjuran yang mengatakan sebaik-baik manusia dapat pula ia bermanfaat banyak untuk makhluk lain selain dirinya sendiri. Pengalaman eksistensial dalam mengajar itulah justru berasal dari anjuran ontologis yang berada di dalam dada saya.

Namun, jika saya dapat menuliskan sedikit pengalaman saya selama ini dalam kegiatan mengajar baik semi-formal hingga ke fakultas pendidikan formal lainnya. Barangkali seperti pertanyaan bagaimana pendekatan yang menurut saya tepat agar membuat mata pelajaran yang diampu bisa diterima oleh siswa.

Menyukai sesuatu saya kira itu berkaitan dengan selera. Tentu saja, kita berharap tiap siswa mampu menguasai banyak pelajaran yang diprogramkan oleh sekolah. Jika berdasarkan penelitian, anak-anak itu tergantung lingkungan belajarnya; keluarga, teman sebaya, dan sekolah. Sebab saya sekarang mengajar di jenjang SMP-SMA. Secara periode usia, mereka belum punya cita-cita yang pasti. Khususnya yang SD dan SMP, tidak jarang ini terjadi juga untuk siswa yang sudah SMA. Meskipun mereka hanya bisa mengucapkan saja cita-citanya, namun kita bisa temukan rata-rata tanpa keyakinan yang betul-betul pasti.

Nah, walaupun setiap orang diyakini punya bakat yang dibawa sejak lahir masing-masing tiap orang, masih diperdebatkan oleh ahli. Maka secara personal peserta didik sebetulnya bisa dibentuk untuk menjadi apa saja yang mereka inginkan. Pekerjaan apa saja yang mereka citakan.

Olehnya, untuk membuat siswa menyukai apa yang kita ajar. Maka masuklah ke dalam emosionalnya yaitu seperti rasa empati, simpati, motivasi, marah, sabar, ketakutannya, dan lainnya. Sebab berdasarkan penelitian yang saya pelajari dari Dr. Greg asal Jerman bahwa manusia itu rata-rata keputusan hidupnya ditentukan oleh situasi emosionalnya, dibandingkan oleh pertimbangan rasionalnya.

Ini menjadi celah penting bagi guru untuk mendekati dulu secara personal anak-anak yang diajar. Sebab, jika si anak sudah dekat dengan gurunya, maka mereka akan menerima semua materi yang diajarkan oleh guru yang sudah mengambil hati kecilnya. Kita bisa membuat pula pembelajaran yang kreatif, yang tidak monoton, baik di dalam pun luar kelas. Tergantung situasi dan kondisi sekolah, guru, dan siswa-siswanya.

Pembebasan pada Kegiatan Minat Positif Siswa dan Peran Guru di Dalamnya

Selain dapat memahami dan memengaruhi murid untuk dapat menerima guru dan ilmunya, tak kalah penting mesti dijawab tentang bagaimana cara guru tersebut menghadapi murid yang dari awal sudah tidak suka pembelajaran dan cara-cara apa yang akan ditempuh untuk itu.

Seperti langkah awal yang kami sebutkan tadi, mendekati siswa untuk menyukai pembelajaran yang hendak kita ajarkan, maka begitu pula teknik yang kita terapkan kepada mereka yang tidak suka pada pembelajaran. Misal dengan cara; menanyakan apa saja aktivitas yang biasa dia lakukan di rumah, di lingkungan mainnya, kesukaan-kesukaannya yang kita mesti mendukung apa yang dia suka. Walaupun jika yg dia suka kurang bagus, sedikit-sedikit akan kita ajak untuk menggantikan hobinya dengan hobi yg lebih bagus, lebih positif, dan berkualitas. Atau setidaknya kita menyarankan apa-apa saja hobi yang lebih baik dan positif.

Salah satu bentuk dukungan lain adalah seperti juga memberikan hadiah tertentu tentang apa yang mereka sukai pun walau sederhana, untuk memunculkan kesenangan dan gairah di dalam diri, walau tidak melulu mahal. Dapat pula kemudian masuk kepada mengenai situasi orang tuanya dan cara mereka menilai orang tuanya sendiri atau keluarga, berlanjut pada fokus kita menyelesaikan apa kendala-kendala yang mereka hadapi sehingga tidak atau belum menyukai pembelajaran yang kita ampu.

Mengapa saya sebegitu yakin dengan itu? Tidak diragukan bahwa saya yakin, manusia bisa berubah, oleh harapan. Tinggal PR-nya yaitu mencoba menghadirkan harapan di dadanya jika ia belum memilikinya, kemudian berlanjut meyakinkan dirinya sendiri agar harapan itu menjadi semakin kuat.

Jika cita-cita itu sudah kuat, ia akan memegang cita-cita dan tujuan untuk mewujudkannya sendiri, dengan semangatnya sendiri. Bagi saya harapan adalah api, yang terpenting adalah jangan biarkan api menjadi padam, tak peduli seredup apapun nyalanya. Jika batu saja bisa berubah pecah permukaannya dijatuhi rintik hujan, apalagi jika yang dididik ini adalah seorang manusia, seorang siswa, yang memiliki intelegensi dan hati.

Mereka adalah selembar kertas putih. Kertas putih itu jika tidak digambarkan dan diisi oleh kebaikan-kebaikan juga cita-cita, maka dikhawatirkan akan terisi oleh kebodohan dan ketertinggalan. Orang yang belum mencintai apa yang kita ajarkan, bisa jadi disebabkan karena dia belum tahu pun paham apa yang kita ajarkan.

Maka ini menjadi salah satu tanggung jawab guru bersama orang tua walinya untuk sama-sama mengembangkan bakat dan kecintaan mereka pada pentingnya mata pelajaran yang kita ajarkan untuk masa depan mereka sendiri. Demi kebaikannya sendiri. Tentu saja akan berdampak untuk kepercayaan dan atau agamanya, dan berdampak terhadap masyarakat pada umumnya. Guru di satu sisi mesti ramah tapi di sisi yang lain mesti mampu menjaga kewibawaan dan integritas di depan siapa saja, termasuk di depan siswa yang diajar. Antara mudah ditemani mengobrol dan juga guru mesti menciptakan citra dihormati dan dirindukan oleh siswa-siswanya.

*Penulis, Direktur Eksekutif Salaja Pustaka Institute

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply