KHITTTAH.CO, Makassar- Seminar dan Pelatihan Ideopolitor Muhammadiyah Sulawesi Selatan membincang soal demokrasi di negeri ini pada Rabu, 26 November 2022 di Hotel Sultan Alauddin Makassar.
Akademisi Unhas, Adi Suryadi Culla mengungkapkan, terdapat tiga faktor penghambat demokrasi di Indonesia, yaitu partai politik, pemilu, dan masyarakat sipil.
Pertama, Ia mengingatkan bahwa Muhammadiyah merupakan bagian dari masyarakat sipil. Sebagai masyarakat sipil-madani, Muhammadiyah memiliki fugsi kontrol.
“Persyarikatan ini tentu bukanlah partai yang melaksanakan aktivitas politik praktis dan menjadi peserta pemilu, yang bervisi untuk merebut, mengambil alih, atau memperjuangkan kekuasaan. Tapi kita memiliki moral force, kekuatan moral,” ungkap dia.
Sebagai pemilik kekuatan moral, Muhammadiyah bertugas mengontrol kekuasaan. Kalaupun terlibat dalam politik kekuasaan, gerakannya adalah politik moral.
“Dahulu, Pak Amien Rais istilahnya bagus sekali, high politics. Itu kan moral, dalam artian nilai, value. Itulah politik yang tinggi. Peran Muhammadiyah di sini, politik moral. Muhammadiyah sebagai kekuatan moral,” ungkap Adi.
Adi menekankan Muhammadiyah adalah benteng terakhir bahkan fondasi utama demokrasi bangsa ini. Sayangnya, fondasi demokrasi ini tidak berfungsi optimal.
“Fondasi utama demokrasi itu bukan parpol, tapi masyarakat sipil. Salah satunya adalah Muhammadiyah. Sayangnya, masyarakat sipil ini tidak hanya jongkok, bahkan tiarap,” kata Adi.
Sementara itu, Adi berpendapat, partai politik perlu untuk direformasi. Perubahan fundamental harus dilakukan kepada parpol di negeri ini.
“Partai politik inilah salah satu penyebab terbesar kemunduran demokrasi kita. Jadi, memang harus diubah, dan aktor perubahan, perbaikan tu adalah masyarakat sipil,” tegas dia.
Ia menegaskan perubahan atas partai politik itu harus didorong sesegera mungkin. “Bahkan mungkin satu-satunya lembaga yang tidak pernah mengalami reformasi di negeri kita itu adalah partai politik.”
Terkait pemilu negeri ini, Adi menyebut pelaksanaannya dibayang-bayangi oleh oligarki. Bahkan, parpol dan masyarakat madani juga diarahkan oleh oligarki ini.
“Pemilu kita tidak bisa benar-benar jurdil, karena ada bayang-bayang monster besar, yaitu oligarki. Pemilu ini akhirnya hanya menciptakan pemimpin yang otokrasi,” kata dia.
Padahal, para pemimpin ini dipilih dengan proses demokrasi. “Sudah banyak riset yang menunjukkan hampir di seluruh negara berkembang, demokrasinya rusak karena otokrasi dan oligarki ini.”
Apalagi, biaya untuk mengikuti pemilu ini sangat tinggi. “Transaksinya juga di kamar gelap. Politik uang di mana-mana. Rakyat juga sudah jadi permisif. Akhirnya, yang bisa jadi calon itu hanya yang punya uang.”
Untuk itu, kader Muhammadiyah harus memastikan diri sebagai kekuatan untuk perubahan ini.
“Apalagi ada kaderisasi yang jelas di Muhammadiyah, yang tidak ada di partai politik. Ideologi Muhammadiyah jelas, sementara di partai yang terjadi adalah deideologisasi. Kita butuh kontrol untuk ini semua.”
Artikulasi Muhammadiyah sebagai gerakan masyarakat madani yang punya kekuatan kontrol moral harus dibunyikan lantang.
“Tugas Ideopolitor ini adalah itu, bukan hanya memunculkannya di meja seminar, tapi dengan langkah, action. Kata Hannah Arendt, tindakan itu berbeda dengan perbuatan. Tindakan itu value,” tutup Adi.