Oleh: Hadi Pajariyanto
(Aktivis Muhammadiyah Kota Palopo)
Usia Muhammadiyah saat ini adalah 113 Tahun sejak tahun kelahirannya 1912, di saat bangsa Indonesia mengalami kegelapan perabadan akibat penjajahan. Pengalaman yang membentang mulai dari era kolonialisme dalam situasi penjajahan, sampai saat ini dimana dunia terkoneksi satu sama lain dalam genggaman Internet of Things.
Situasi ini mengharuskan Muhammadiyah tidak hanya sekedar berbenah, tetapi merumuskan lompatan yang tinggi sehingga memberikan jaminan keberlanjutan dan kemajuan dakwah Muhammadiyah. Dari dokumen muktamar 48 Muhammadiyah di Solo yang telah dirilis oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, penulis merangkumnya menjadi dua agenda besar yang harus dikerjakan oleh Muhammadiyah secara bertahap dan sistematis, yakni; Pemajuan (Advancement) dan Keberlanjutan (Continuity), yang menjadi diksi khas di persyarikatan ini.
Dua diksi ini sangat penting, apalagi regenerasi di Muhammadiyah sudah berlangsung lebih dari 1 abad lamanya, tentu memerlukan akselerasi karena dunia berubah dengan cepat dan dinamis. Apa makna kedua diksi ini bagi regenerasi Muhammadiyah di masa yang akan datang?
Secara terminologis, Islam Berkemajuan tidak hanya menjadi jargon semata tetapi wujud dari ruh yang menggerakkan Muhammadiyah sejak pertama berdiri sampai pada abad kedua saat ini. Ini adalah pelajaran Kyai Dahlan kepada muridnya dalam bahasa Jawa “Dadiyo kyai sing kemajuan lan aja kesel-kesel anggonmu nyambutgawe kanggo Muhammadiyah”, yang bermakna jadilah Kyai yang berkemajuan, dan jangan pernah merasa lelah bekerja untuk Muhammadiyah.
Selanjutnya kata berkemajuan termaktub dalam Statuten Muhammadiyah 1912. Pemajuan adalah salah satu pilar dari Tanwir yang meliputi Pembebasan (liberation), Pemberdayaan (Empowerment), dan Pemajuan (Advancement) yang menjadi ketetapan (tanfizd) Muktamar Muhammadiyah 47 di Makassar.
Demikian juga dengan Keberlanjutan (Contiunity), bermakna ketersambungan risalah dakwah dari generasi ke generasi. Hal ini tidak hanya terkait dengan agenda lima tahunan dalam muktamar semata, tetapi akan menentukan hidup matinya Muhammadiyah di masa yang akan datang.
Beberapa diskusi yang berkembang terkait dengan regenerasi di Muhammadiyah, baik yang dilontarkan oleh elit maupun di tingkat akar rumput Muhammadiyah. Salah satu Ketum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin misalnya mengusulkan adanya “darah segar” dari kalangan akademisi dan praktisi untuk menjamin keberlanjutan dan akselerasi pemajuan Muhammadiyah.
Darah segar dapat dimaknai sebagai orang baru ataupun kaum muda yang masih memiliki energi dan performance prima, berwawasan digital dan mampu merangkul milenial dan Gen-Z populasinya mencapai 70-72% (Sensus, 2020) dari komposisi penduduk Indonesia.
Di kalangan kaum muda Muhammadiyah Sulawesi Selatan melontarkan perlunya pembatasan masa jabatan Pimpinan Muhammadiyah di semua level dan sampai pada pengurus harian. Tentu agenda ini bukan hanya menjadi tanggungjawab kader-kader di Jakarta ataupun Jogjakarta sebagaimana yang disebut oleh Pak Din, tetapi seluruh kader Muhammadiyah dari seluruh Indonesia, bahkan sampai pelosok juga memiliki tanggungjawab dan kesempatan yang sama dan setara.
Pemajuan harus menyentuh dakwah Muhammadiyah, ke-Indonesiaan, ke-Islaman, dan ke-Manusiaan, dan kehidupan global yang sering kontraproduktif satu sama lain. Selain itu, keberlanjutan dalam konteks regenerasi di Muhammadiyah, juga sangat penting dipikirkan. Ini sebagai wujud kesadaran untuk mempersiapkan kader-kader yang kapabel dan adaptif dalam memimpin Muhammadiyah, di zaman yang tak menentu ini dan digerakakn oleh digital. Secara teknis, rekruitmen kader-kader Muhammadiyah dapat ditetapkan atau diserahkan melalui kebijakan pimpinan masing-masing level.
Misalnya dengan penambahan anggota pimpinan untuk diisi dengan kader-kader muda yang potensial baik dari akademisi, pengusaha, dan agamawan yang memiliki kapasitas dan rekam jejak yang baik. Beberapa Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, termasuk Sulawesi Selatan telah menerapkan penambahan anggota Pimpinan Wilayah sebagai bagian dari mempersiapkan keberlanjutan dakwah di masa yang akan datang.
Selain itu, diperlukan pola afirmasi dalam rekruitmen dan penambahan anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah agar ada keterwakilan dari berbagai wilayah di Indonesia. Ini bukan ego kedaerahan, tetapi aspirasi yang tentunya akan dikembalikan pada hasil muktamar.
Dapat dibayangkan, jumlah daerah, cabang dan ranting akan menjadi dasar untuk menetapkan jumlah peserta muktamar, tentu probabilitasnya akan sangat kecil bagi wilayah yang memiliki cabang dan ranting yang jumlahnya sedikit. Dalam pleno 1 (satu) beberapa Pimpinan Wilayah Muhammadiyah mengusulkan perlunya pembatasan masa jabatan ketua dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, maupun penambahan Pimpinan.
Disinilah penting mengakomodasi keterwakilan beberapa wilayah. Perlu dicatat, bahwa Muhammadiyah besar tidak hanya di Jogja dan Jakarta atau wilayah lain di pulau Jawa, tetapi kebesarannya dikuatkan oleh Muhammadiyah di seluruh pelosok nusantara, Sulawesi, Maluku, Papua, Kalimantan, dan daerah lainnya. Dengan militansi tinggi berjibaku melawan tantangan dakwah dan keterbatasan sumber daya yang dimilikinya.
Akhirnya, para mutamirin yang akan menentukan perjalanan Muhammadiyah 5 tahun, bahkan seratus tahun yang akan datang. Muktamar ke-48 yang digelar secara blended dan hybrid adalah wujud adaptasi teknologi di era revolusi 4.0 yang sangat menekankan kemampuan penguasaan teknologi informasi.
Semua perbedaan pendapat, aspirasi, akan tunduk dan patuh pada keputusan Muktamar sebagai permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah. Semua kader boleh memiliki pendapat, aspirasi, maupun ijtihad pribadi, tetapi jika permusyawaratan telah memutuskan maka sami’na wa atha’na (Edisi, 15 Nopember 2022, di atas Kapal Darma Kencana VII, bersama 1.200 penggembira Muktamar Sulsel).