Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Literasi

Bebas dari Patriarki Islam? Refleksi Bacaan Karya Syafiq Hasyim

×

Bebas dari Patriarki Islam? Refleksi Bacaan Karya Syafiq Hasyim

Share this article
Buku “Bebas dari Patriarkisme Islam” Karya Syafiq Hasyim

KHITTAH.CO, Di banyak kesempatan, diskusi maupun obrolan biasa, kadang kita mempertanyakan mengapa ada dalil-dalil agama, ayat maupun hadis yang terkesan misoginis.

Demikian pula dengan hukum-hukum agama yang dianggap tidak adil dan relevan bagi perempuan, apabila dibaca secara literal.

Tak banyak juga yang mengamini maksud yang tersurat tersebut. Hasilnya, timbullah asumsi bahwa agama Islam memang agama yang memihak hanya pada laki-laki atau agama patriarki.

Melihat hal-hal tersebut, kita perlu dudukkan masalahnya dahulu. Darimanakah ide ketidaksetaraan itu muncul?

Buku “Bebas dari Patriarkhisme Islam” karya Syafiq Hasyim menjelaskan bahwa yang banyak menimbulkan ketidaksetaraan adalah datang dari agamawan, pemangku adat, politisi, laki-laki.

Bahkan, ide ketidaksetaraan tidak hanya muncul dari kalangan laki-laki, tapi juga datang dari kalangan perempuan yang memiliki pandangan patriarki. Sebaliknya, kadang banyak laki-laki yang memiliki pemikiran pro kesetaraan.

Bisa disimpulkan bahwa persoalan sesungguhnya adalah tidak terletak pada jenis kelamin melainkan kesadaran akan kesetaraan itu sendiri.

Tuduhan-tuduhan bahwa agama Islam adalah agama yang patriarki, dalam buku ini, Syafiq Hasyim meluruskan bahwa patriarki Islam sebenarnya adalah bentuk penafsiran atas Islam.

Penafsiran tersebut merupakan hasil dari penggabungan cara baca literal dan asumsi sosial kultural tentang nilai-nilai pengutamaan laki-laki atas perempuan.

Penafsiran tersebut didasarkan pada jenis kelamin biologis, bukan didasarkan pada kapasitas non-fisik yang dimiliki kedua makhluk tuhan itu.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa patriarki itu bukan bagian dari Islam, tapi hanyalah sebuah buatan atau tafsir sekelompok orang yang mementingkan gender tertentu dalam penafsirannya.

Terkadang, banyak di antara kita yang langsung menelan mentah-mentah penafsiran-penafsiran ulama tanpa melihat bagaimana konteks kehidupan sekarang.

Mereka mengarantinakan Al-Qur’an dan hadis dari hal-hal yang kontekstual. Ini karena tak bisa kita mungkiri bahwa penafsiran-penafsiran hadis tidak lepas dari konteks sosial budaya serta pandangan subjektivitas para mufasir.

Demikian halnya dengan pembacaan untuk memenuhi kebutuhan ideologis. Artinya, seseorang akan menafsirkan Al-Qur’an dan atau hadis dengan membawa pandangan ideologinya.

Contohnya, ideologi yang patriarki menjadikannya bersikap patriarki pula dalam membaca Al-Qur’an dan hadis. Hal-hal tersebutlah yang akan mendatangkan pandangan ketidaksetaraan dalam sebuah penafsiran.

Tidak heran, mengapa penafsiran/pembacaan terhadap hadis maupun ayat-ayat itu terkesan patriarki. Ini sebab Islam datang dan berkembang pada konteks sejarah yang mengutamakan laki-laki.

Selain itu, secara tekstual, Al-Qur’an memang sangat memungkinkan untuk dibaca secara patriarki. Ini karena bahasa yang digunakan memungkinkan untuk menafsirkannya secara patriarki pula.

Lalu apakah kita hanya sampai di situ saja dan menerima begitu saja apa yang telah ulama wariskan dengan model penafsiran yang kaku dan mengabaikan isu-isu yang berkembang di era kontemporer?

Tiga Langkah Bebas dari Patriarki Islam

Syafiq Hasyim dalam bukunya “Bebas dari Patriarkhisme Islam” memaparkan tiga langkah untuk membebaskan Islam dari patriarki. Pertama adalah umat Islam harus mampu membedakan, mana agama dan mana pemikiran agama.

Dalam pemahaman keislaman umum, masih terasa sulit untuk membedakan mana agama dan mana yang merupakan pemikiran agama, seperti fikih, tafsir, kalam, serta tasawuf.

Kesemua itu merupakan pemikiran agama dan menjadi sumber utama ajaran Islam itu sendiri adalah Al-Qur’an dan hadis.

Mengapa ini penting? Sebab ajaran yang sampai pada kita adalah ajaran-ajaran yang tidak berperspektif keadilan dan kesetaraan gender.

Maka perlulah kiranya untuk dilakukan reinterpretasi terhadap dalil-dalil Al-Qur’an, hadis-hadis, makalah ulama, dan lain sebagainya yang menjadi rujukan kita selama ini.

Dari corak pembacaan dan penafsiran ulama yang tidak berperspektif keadilan dan kesetaraan gender tersebut, yang kadang menghasilkan tafsir-tafsir yang misoginis, di sinilah sekiranya penting bagi kita untuk membedakan mana agama dan pemikiran agama itu sendiri.

Kedua adalah menyusun prinsip-prinsip keagamaan dengan mengategorisasikan ayat-ayat Al-Qur’an. Kita harus mengklasifikasi, mana ayat-ayat yang jelas maknanya dan merupakan ayat-ayat prinsipil (muhkamat) dan mana ayat-ayat yang memiliki kemungkinan makna lebih dari satu (mutasyabihat).

Terakhir adalah melaksanakan dalam keseharian. Syafiq Hasyim memaparkan bahwa jangan sampai ada gap atau kesenjangan antara idealias dan realitas itu sendiri.

Artinya bahwa kemapanan teori harus didukung dengan gerakan amaliah. Selain itu, kerja-kerja intelektual haruslah mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Jika gerakan intelektual tanpa dukungan, maka akan terjadi kemandekan proses transformasi, baik itu transformasi sosial maupun keagamaan.

Sekiranya ketiga hal tersebut bisa dimaksimalkan pelaksanaannya, maka perlahan-lahan kita bisa saja meruntuhkan sistem patriaki yang sudah mengakar dan menjerat masyarakat begitu erat.

Penafsiran Gerakan Ganda

Para cendikiawan muslim serta ulama-ulama progresif telah menawarkan beberapa alternatif penafsiran terhadap Al-Qur’an dan hadis.

Salah satunya datang dari cendekiawan muslim yaitu Fazlur Rahman. Teorinya dikenal dengan “Teori Gerakan Ganda” Fazlur Rahman.

Menurut Fazlur Rahman, setidaknya, ada dua step dalam menafsirkan Al-Qur’an. Pertama, gerakan memahami Al-Qur’an secara menyeluruh, baik itu terkait sejarah dan keharusan moral etiknya.

Kedua adalah menerapkan tujuan sosial moral etis yang umum atas peristiwa dalam konteks zaman modern atau kekinian. Misalnya adalah ayat poligami dalam Q.S. An-Nisa: 3. Dalam penafsirannya, kita bisa menerapkan langkah-langkah teori “Gerakan Ganda” Fazlur Rahman ini.

Langkah pertama adalah dengan melihat bagaimana sejarah masa lalu berkenaan dengan ayat tersebut. Ayat tersebut, yang berkenaan dengan poligami, adalah respons sosial terhadap banyaknya sahabat yang meninggal dalam perang Uhud, dan banyak pula perempuan yang menjadi janda.

Ini adalah realitas sosial dan sejarah masa lalu. Anjuran poligami dimaksudkan untuk menolong para janda dan anak yatim yang ditinggalkan.

Meskipun dibolehkan poligami, tapi tetap ada batasan dan harus didasarkan oleh asas keadilan. Sikap terbatas dan adil ini merupakan tujuan sosial moral etis atas dibolehkannya poligami.

Langkah selanjutnya adalah menerapkan tujuan sosial moral dan etis yang umum atas peristiwa ini dalam konteks zaman sekarang atau kekinian.

Dalam konteks kekinian, keterbatasan dapat diartikan hal yang dari sesuatu tak terbatas menjadi terbatas. Monogami dan keadilan dalam konteks kekinian harus dikaitkan dengan hak asasi manusia termasuk hak-hak gender.

Takwil dan Hermeneutika

Selain teori ganda Fazlur Rahman, ada alternatif pembacaan yang lain, yaitu teori takwil dan hermeneutika. Kalangan intelektual islam modern yang menggunakan metode ini adalah Abu Zayd. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, Abu Zayd menggunakan semua sumber bacaan.

Salah satu contohnya adalah dalam pandangan Abu Zayd ini, ada pembelaan Al-Qur’an atas sistem pernikahan monogami dalam surah An-Nisa.

Islam menganjurkan sistem monogami, karena sistem poligami sudah terhapus sebagaimana terhapusnya sistem perbudakan di dalam Islam.

Pertanyaan yang diajukan oleh Abu Zayd adalah mengapa ayat tentang perbudakan bisa dihapuskan berdasarkan kesepakatan ulama-ulama Islam pada masa modern sementara ayat poligami tidak bisa?

Padahal, keduanya sama-sama nyata dalam bagian ayat yang sama. “Fa in khiftum alla ta’dilu fawahidatan au ma malakat aimanukum” yang artinya “Jika kamu khawatir untuk tidak mampu berlaku adil maka nikahilah satu saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki”.

Sudah menjadi kesepakatan bahwa perbudakan dihapuskan. Ini karena praktik tersebut menyalahi hak asasi manusia. Pertanyaannya adalah mengapa kita tidak lakukan hal yang sama pada poligami?

Alternatif-alternatif pembacaan/penafsiran tersebut bisa menjadi pegangan untuk membuktikan bahwa sebenarnya Islam bukan agama patriarki.

Namun, beberapa kalangan atau kelempok-kelompok tertentu sajalah yang dalam pembacaan dan penafsirannya selalu isolatif dari hal-hal yang kontekstual.

Ditulis oleh

Ummu Sa’adah

(Sekretaris Bidang Kader Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Gowa)

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply