Oleh : Mahram Mubarak*
“Hidup yang tidak dipikirkan adalah hidup yang tak pantas untuk dijalani”, demikian kurang lebih pernyataan Sokrates, salah seorang filosof Yunani Klasik.
Filsafat memang sebuah diskursus yang amat rumit untuk ditekuni, ia bagaikan gelombang arus laut yang tak kenal henti menghantam segala karang persoalan kosmos, baik itu makrokosmos (alam) sampai kepada inti terdalam dari mikrokosmos (manusia). Filsafat mencakup segala hal yang ada dan yang mungkin saja ada, ia mendamba sebuah kearifan profesional di hati setiap insan cendekia. Filsafat bukanlah bagian dari deretan disiplin ilmu pengetahuan melainkan induk daripada ilmu pengetahuan itu sendiri. Filsafatlah yang melahirkan dan merekonstruksi epistemologi saintifik yang ada. Tidak sampai disitu, ia juga bagaikan mercusuar yang memberi peringatan sinar kebijaksanaan agar ilmu hadir sebagai upaya menenangkan batin manusia.
Apakah kita bisa hidup tanpa berfilsafat? Tentu jawabannya bisa, tetapi bagaimana menjalani hidup yang arif nampaknya filsafat patut anda pertimbangkan. Filsafat menyediakan banyak hal untuk didiskusikan, corak berpikir filosofis berangkat dari yang universal, sistematis, logis dan radikal. Filsafat juga mempersoalkan perihal epistemologis, ontologis hingga aksiologis hidup dan kehidupan kita. Maka tidaklah mengherankan ketika kita membaca literatur-literatur filsafat akan terus terjadi dialektika, entahkah itu hanya menghantarkan kita pada perputaran lingkaran eksistensi semata, sebagaimana apa yang terjadi pada paradigma Cartesian ataupun Newtonian. Ataukah akan sampai menghantarkan kita pada pusat lingkaran eksistensi kita menuju kepada The One.
Kekeringan etos berpikir filosofis masyarakat Indonesia, dikarenakan filsafat terpublikasi dengan sewenang-wenang. Mereka menampilkan filsafat hanya dari satu sisi terburuk bagi sudut pandang mereka saja, terjadilah miss comunication terhadap filsafat. Maka tak dipungkiri timbullah ke permukaan bahwa filsafat itu sesat dan menyesatkan, filsafat itu hanya membuang-buang waktu berpikir saja, filsafat itu tidak bisa memproduksi uang dan sebagainya, yang tuduhannya itu hanya mencoba menyudutkan citra filsafat dan sesegera mungkin mengintimkan citra mereka. Jadi, terlalu banyak stigma negatif di kepala masyarakat tentang filsafat sehingga filsafatpun menjadi dijauhi.
Indonesia memiliki permasalahan yang begitu kompleks, mulai dari persoalan politik, ekonomi, agama, sosial, budaya, sampai kepada pendidikan. Suatu waktu penulis sempat membaca bahwa mantan Mendikbud era pemerintahan Soeharto, Fuad Hassan, dimasa jabatannya pernah mengusulkan pembelajaran filsafat dan logika di sekolah-sekolah, tapi karena miskin tenaga pengajar, jadi proyek tersebut akhirnya ditunda. Logika merupakan salah satu cabang dari diskursus filsafat yang berfungsi sebagai pisau analisa. Logika kurang lebih adalah cara yang benar untuk berpikir benar dalam rangka memperoleh kebenaran. Bahwa daya kritis pelajar-pelajar Indonesia itu harus ditempa sejak dini dan akan menjadi budayanya kelak di lingkungan kerjanya, apalagi kalau si anak terjun ke dunia politik. Bukan tidak mungkin kalau wacana yang dulunya dicanangkan oleh mantan Mendikbud, Fuad Hasan itu, direfleksi kembali melihat momentum keindonesiaan kita hari ini, dimana dunia seakan begitu sempit dan tantangan global yang demikian mendesak.
Belum lama ini Indonesia diperhadapkan pada konflik antar umat beragama, kasus Tolikara seakan menggoyang panggung pemerintahan kabinet kerja bahwa isu-isu keagamaan masih perlu sentuhan pemerintah. Kasus Sampang, Madura yang dahulu berkonflik akibat gesekan ajaran Islam antara Sunni dan Syiah. Wacana Islam Nusantara, ancaman terorisme yang tidak jarang menunggangi dan merasa dilegitimasi oleh doktrin keagamaan tertentu, dan masih banyak kasus keagamaan yang menurut penulis tidak mesti diselesaikan secara parsial-materil, tetapi harus dilihat secara kompleks-terintegrasi.
Tidak hanya poin agama yang menjadi fokus perhatian, pesta demokrasi regional yang sebentar lagi akan dilaksanakan, juga menemukan titik masalahnya, pasangan calon tunggal dan lawan politik yang gigit jari melihat popularitas lawannya menggambarkan wajah perpolitikan di Indonesia masih perlu pendewasaan.
Beberapa bulan lalu keegoisan lembaga keagamaan yang mengkritik salah satu program pemerintah, dalam hal ini MUI yang mengharamkan BPJS Kesehatan, seolah Indonesia ini merupakan negeri yang dijanjikan oleh Tuhannya, karena itu mereka merasa wajib mengambil alih seluruh urusan pemerintah dan dipaksakan agar sesuai dengan kehendaknya. Terlukiskan bahwa mereka itu mengalami kegamangan intelektual terhadap semilir angin modernitas yang menerpa daratan Indonesia.
Masalah-masalah sosial, mulai dari tindak asusila di lingkungan keluarga hingga tindak asusila yang tidak jarang terjadi di lingkungan pendidikan. Bapak yang menghamili anaknya, ibu yang menganiaya anaknya, guru yang mencabuli muridnya, dan yang paling sering sesama pelajar saling bertindak asusila, maka terlahirlah anak yang kurang jelas statusnya. Dikritiklah oleh kelompok-kelompok agamis-ekstrimis non-solutif, ditambah lagi pengucilan di lingkungan sosialnya yang justru memberi beban psikis bagi si anak.
Masalahnya belum selesai, masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif membuatnya latah akan arus teknologi mutakhir barat. Amat sangat sedikit masyarakat kita yang berpikir maju untuk menciptakan etos produktivitas teknologi yang lebih sesuai dengan budaya masyarakat kita. Sistem pendidikan kita pun terlambat sadar terhadap ketidakefektifan perpeloncoan yang terjadi di lingkungan sekolah seperti yang baru-baru ini terjadi, tidak hanya di sekolah tetapi di kampus pun marak terjadi hal demikian yang kemudian justru membentuk karakter tempramental dan pendendam bagi kaum terdidik kita. Persoalannya bukan pada struktur senior-junior, relasi senior-junior lumrah-larut dalam perkampusan. Hanya saja seringkali senior menganut paham bapakisme dan junior diproyeksi sebagai babuisme.
Tawaran filsafat terhadap kekompleksan masalah di atas dimana? Filsafat bukan serta merta melakukan tindakan praksis secara sewenang-wenang, tetapi muatan filosofis dan kearifan yang dibangun berdasarkan kerangka pikir yang dimiliki niscaya melahirkan keluaran yang memiliki muatan yang arif dan bijak. Karena diproses berdasarkan sistem pikir yang jernih dan sehat serta memperhatikan berbagai sisi yang meliputi suatu persoalan, tarulah kasus Tolikara misalnya yang kebanyakan hanya dilihat dari sisi dogmatism ajaran tanpa melirik sisi politis dan ekonomisnya. Jadi, hal yang perlu dibenahi adalah etos berpikir kita yang harus filosofis-praksis. Dan bisa kita lihat negara-negara dengan wacana filsafatnya yang tumbuh subur, sebut saja misalnya Jerman, Prancis, dan Iran, dengan membangun etos berpikir filosofis mereka, terbangunlah bangsa yang mandiri dan arif.
* Penulis merupakan peneliti di Profetik Institute dan Pengurus Pemuda Muhammadiyah Kota Makassar