Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Menyelamatkan Pemilu dari Era Post Truth dan Kehidupan Inersia

×

Menyelamatkan Pemilu dari Era Post Truth dan Kehidupan Inersia

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi—salah satunya—bermuara pada perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi berbasis internet. Selanjutnya, ini pun menghasilkan turunan berupa media baru atau media sosial berbasis internet seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, yang penggunaan atau pemanfaatannya, kini sangat masif.

Adalah Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono dalam buku karya bersamanya, Demokrasi di Era Post Truth (2021), menegaskan beberapa hal: perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membentuk konstruksi peradaban baru serta membawa implikasi bagi kehidupan manusia; hampir semua bidang kehidupan, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, bahkan agama tidak dapat mengelak dari sentuhan teknologi internet; dan media sosial berperan besar dalam pergerakan politik dan menumbuhkan demokrasi.

Bisa pula dipahami dengan baik dari Budi dan Barito (2021) bahwa, gerakan massa—sebagai contoh—di Jazirah Arab pada tahun 2011 yang dikenal sebagai Arab Spring, dan berhasil menggulingkan kekuasaan rezim berkuasa selama puluhan tahun di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman, adalah bukti nyata bagaimana peran media sosial bisa memobilisasi kepentingan politik dan menumbuhkan spirit demokrasi. Hal ini bermula dari peristiwa atau kejadian pembakaran diri oleh Mohamed Bouazizi.

Untuk sedikit diketahui peristiwa awalnya bahwa, Ali Bouazizi sepupu dari Mohamed Bouazizi, yang seorang aktivis tersebut, mengunggah video pembakaran diri sepupunya tersebut di media sosial Facebook dengan disertai narasi yang diberi judul “The Intifada of the People of Sidi Bouzid”. Video ini akhirnya viral, dan beberapa hari kemudian menimbulkan gelombang demonstrasi besar-besaran. Akhirnya dengan hanya membutuhkan 28 hari, Presiden Zine El Abidine Ben Ali yang berkuasa selama 23 tahun tumbang pada 15 Januari 2011.

Gambaran kemajuan dan perkembangan teknologi, serta dampaknya di atas, bukan hanya menumbuhkan, memajukan, dan sebagai instrumen pergerakan massa, serta memberikan kemudahan, efektivitas, dan efesiensi dalam kehidupan, tetapi menimbulkan pula mudarat bagi manusia. Ibarat sungai, terus membentuk anak sungai baru sehingga menciptakan muara lain di antaranya: era post-truth; dan kehidupan inersia.

Post-truth dan kehidupan inersia sebagai salah satu muara dari anak sungai kemajuan dan perkembangan teknologi berbasis internet khususnya melalui media baru (baca: media sosial), terkesan sebagai suatu keniscayaan. Padahal, sejatinya itu bukan keniscayaan karena di dalamnya ada pilihan. Yang membuatnya “niscaya” adalah kekurangan dan kecenderungan manusia sebagai brainware-nya.

Post-truth, jika memperhatikan defenisi dan dampak realistiknya, semuanya negatif. Tidak ada pilihan di dalamnya. Berbeda dengan post-truth, kehidupan inersia mengandung dua dimensi—jika merujuk pada makna umum dan khususnya—positif dan negatif, atau kebaikan dan keburukan. Untuk yang kedua ini, di dalamnya kita bisa memilih dan ada ruang kebaikan untuk dimanfaatkan secara optimal.

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Budi dan Barito di atas. Bisa dipastikan perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi berbasis internet beserta turuannnya media sosial, termasuk efeknya berupa post-truth dan kehidupan inersia memberikan pula implikasi besar terhadap pelaksanaan pesta demokrasi: pemilu.

Namun, sebelumnya kita perlu mengetahui terlebih dahulu seperti apa yang dimaknai sebagai post-truth dan kehidupan inersia. Post-truth adalah suatu keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding daya tarik faktor-faktor emosional.

Adalah Bernando J. Sujibto (2018) menjelaskan bahwa “Post-truth menandai era saat kita memproduksi pemahaman dan pengetahuan bercampur baur dengan keinginan (desire) dan feelings yang melampaui fakta-fakta objektif yang semestinya menjadi dasar atas tindakan kesadaran pada makna. Nezar Patria dalam Bernando menggambarkan pula bahwa “Post-truth sebagai kondisi ketika informasi bohong atau palsu (hoax) dipakai untuk menyalakan bara emosi dan sentimen publik.

Sedangkan yang dimaksud dengan kehidupan inersia, secara sederhana berdasarkan yang saya pahami dari Yasraf Amir Piliang, adalah antitesis dari kehidupan ekspansif. Kehidupan inersia adalah hasil transformasi dari kehidupan ekspansif sebagai efek dari perkembangan teknologi digital.

Kehidupan ekspansif adalah kehidupan di mana ketika ada informasi yang beredar atau diterima maka tidak serta-merta dipercayai, tanpa terlebih dahulu mencari tahu sumber awalnya. Atau berupaya mendatangi tempat kejadian perkara (TKP). Berbeda dengan kehidupan ekspansif, kehidupan inersia, di mana diri kita seakan menjadi pusat informasi yang di kelilingi jutaan bahkan miliar informasi setiap hari, hingga akhirnya diri kita malas untuk mencari tahu sumber informasi. Bahasa agamanya malas “tabayyun”.

Dari perspektif di atas tentang kehidupan inersia, telah kita pahami bahwa di dalamnya masih mengandung pula hal positif dan kebaikan, karena kini kita dikatari oleh informasi. Kita bisa mengoptimalkan ruang kemanfaatannya. Selain itu, ada ruang untuk menutupi celah bagi orang-orang yang malas tabayyun, dengan memaksimalkan informasi positif di dunia virtual melalui media sosial.

Post-truth dan dampak negatif dari kehidupan inersia adalah efek lanjutan dari: pertama, ruang dan waktu kini bisa ditaklukkan dengan sangat dahsyat oleh kekuatan elektromagnetik; dan kedua,—jika meminjam pandangan Baudrillard dalam Yasraf—perkembangan nilai kehidupan dalam masyarakat, kini sudah sampai pada tahap keempat, yang disebut “fraktal” (viral).

Fraktal, sebagai tahap keempat ini, kini kita seakan kehilangan titik referensi, tidak lagi berorientasi pada sosok atau institusi yang otoritatif. Dari sinilah yang menyebabkan “matinya kepakaran” bahkan bisa menimbulkan kesan “matinya sang ulama”. Dalam tahap keempat ini, salah satunya dan itu sangat besar dampaknya bahwa, “apa saja yang viral dipandang sebagai suatu kebenaran”. Jadi kebohongan sekalipun jika terus diviralkan, berpotensi menjadi kebenaran.

Pada Pemilu 2019 yang lalu, KPU secara kelembagaan banyak merasakan dampak negatif post- truth. Salah satu narasinya yang merusak adalah “kardus digembok” sampai disebut “otak kardus”. Padahal tidak ada satu pun yang menggunakan “gembok”. Yang benar adalah karton kedap air yang penutupnya diikat dengan kabel-ties (bukan gembok). “Jutaan surat suara telah tercoblos”, ini semua tidak benar tetapi terus diviralkan untuk menyalakan emosi dan sentimen publik.

Menyelematkan Pemilu dari post-truth, KPU telah bekerjasama dengan berbagai pihak untuk menunjang teknologi informasi dan mendukung keamanan siber. Seluruh jajaran KPU sampai ke tingkatan PPS, hari ini sangat masif menyosialisasikan kegiatan dan hal positif pada masing-masing media sosialnya.

Menyelamatkan Pemilu dari post-truth maka literasi politik, literasi digital, demokrasi digital, penting untuk ditingkatkan. Optimalisasi penyebaran konten-konten dan narasi-narasi positif terkait pemilu, demokrasi, kedaulatan rakyat, pemilih berdaulat, pemilu berintegritas harus terus dilakukan sebagai upaya untuk (minimal) merebut narasi dan opini publik.

Kita harus berupaya jangan hal negatif yang menguasai opini publik. Sebagaimana dampak positif atau kebaikan dari kehidupan inersia yang saya jelaskan di atas dan dianjurkan untuk dioptimalkan, maka hal-hal positif atau kebaikan harus terus diviralkan pula. Jangan hoax, hate speech, dan bad & fake news yang diviralkan dan menguasai opini publik.

Terkait ini patut pula memahami satu pandangan dalam demokrasi digital yang dimiliki oleh James E. Katz dan Ronald E. Rice (dalam Budi & Barito), yang menurut saya, kita tidak boleh berada dalam kutub pandangan “distopia” dan “utopia”, tetapi sebaiknya memilih pandangan syntopian. Yaitu, teknologi internet [termasuk medi sosialnya] memang telah memperluas dan memperbaiki rutinitas sehari-hari manusia, memungkinkan ikatan emosional dan sosial di antara para penggunanya, bahkan mendorong kerjasama dan integrasi sosial. Namun, pada saat yang sama juga membawa berbagai risiko yang perlu diantisipasi agar tidak menjadi ancaman dan disfungsi bagi kehidupan sosial.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply