Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Dari Latihan Mental ke Quantum Skill

×

Dari Latihan Mental ke Quantum Skill

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Dalam kehidupan, semua orang membutuhkan skill. Skill sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu, bisa pula disebut dengan istilah keterampilan atau keahlian. Skill adalah salah satu modal utama dalam mengarungi kehidupan terutama dalam upaya untuk bertahan, meskipun yang dimiliki bukan untuk semua bidang, tetapi minimal skill untuk bidang tertentu.

Memiliki suatu skill tertentu, terkadang bukanlah—menurut penilaian sebagian orang—perkara mudah atau semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan sebuah proses yang panjang, bertahap, serius, dan energi yang besar. Jika seperti ini, berarti—menurut saya—tidak atau minimal “belum” bisa dikategorisasikan atau diklasifikasikan sebagai “Quantum Skill”.

Padahal, dalam diri manusia telah built-in seperangkat software (perangkat lunak) dan hardware (perangkat keras) yang bisa diaktivasi agar proses penguasaan skill tertentu (bahkan lebih dari satu) dengan capaian yang bisa dikategorisasikan sebagai proses quantum (loncatan dahsyat). Sehingga, lahir apa yang disebut dengan quantum skill.

Quantum skill berdasarkan yang saya rumuskan dan pahami, adalah suatu upaya penguasaan kecakapan atau kemampuan dalam melakukan sesuatu tanpa melewati proses yang panjang dan bertahap. Sederhananya, dikuasai tanpa upaya yang lazim dilakukan oleh orang lain, dan bahkan seringkali berpotensi mengakibatkan timbulnya risiko tertentu, luka fisik sebagai salah satu contoh.

Terkait keyakinan—dan telah pernah saya buktikan—bahwa pada dasarnya diri kita sebagai manusia, makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dengan berbagai perangkat luar biasa yang telah built-in dalam diri sebagai satu paket penciptaanNya, mampu mencapai apa yang disebut dengan quantum skill, berawal dari buku Being Happy: Kiat Hidup Tenteram dan Bahagia (1997/2002) karya Andrew Matthews. Ada satu bagian yang menginspirasi di dalam buku tersebut.

Dalam upaya memperkuat keyakinan saya, atas pandangan Matthews dalam bukunya tersebut, saya membaca beberapa buku lainnya yang memiliki garis relevansi, dan bisa dielaborasikan. Untuk sementara saya sebut saja satu di antaranya, yaitu buku Dahsyatnya Pikiran Bawah Sadar karya Andri Hakim, seorang hipnoterapis dan pakar pikiran bawah sadar.

Dari buku Matthews, sebagaimana yang saya sebutkan judulnya di atas, saya mendapatkan satu bagian pembahasan yang menarik dan menginspirasi yaitu—yang disebutnya dan diuraikan dengan contoh sebagai hasil penelitian—“latihan mental”. Dari Matthews (2002: 71-74) ini, kita selaku pembacanya bisa mendapatkan satu kesimpulan bahwa “latihan mental” jauh lebih dahsyat dibandingkan “latihan fisik”.

Terkait “latihan mental” ini, Matthews menguraikan hasil publikasi majalah Reader’s Digest. Yang dipublikasi majalah tersebut adalah hasil penelitian yang dilakukan di sebuah sekolah lanjutan. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa para siswa yang memiliki kemampuan yang kurang lebih sama dibagi dalam tiga kelomp;ok untuk menguji kemampuan mereka memasukkan bola baket ke dalam ring.

Kelompok pertama, berlatih memasukkan bola satu jam sehari selama sebulan. Kelompok kedua, kelompok kontrol dalam penelitian tersebut, tidak berlatih sama sekali. Kelompok ketiga berlatih memasukkan bola hnaya di dalam pikiran mereka satu jam sehari.

Hasil penelitian itu, sampai pada kesimpulan bahwa kelompok yang belatih fisik meningkat sebesar dua persen. Kelompok yang tidak berlatih menurun dua persen. Kelompok ketiga, yang hanya berlatih secara mental, meningkatkan kemampuannya sampai tiga setengah persen. Ini yang diuraikan Matthews dalam bukunya.

Latihan mental sederhananya menggunakan imajinasi atau visualisasi. Latihan mental—jika merujuk pada pembedaan pikiran oleh Andri Hakim: pikiran sadar, dan pikiran bawah sadar—beroperasi dalam “pikiran/alam bawah sadar”. Dari buku Andri Hakim pun, bisa dipahami bahwa pengaruh pikiran [alam] bawah sadar pengaruhnya delapan puluh delapan persen, dibandingkan pikiran/alam sadar hanya dua belas persen.

Dari Matthews pun bisa dipahami—berdasarkan penemuan ilmiah—ketika kita membayangkan diri anda melakukan sesuatu, maka kita sedang melakukan proses pemprograman mental yang sama bahkan jauh lebih dahsyat ketika kita benar-benar melakukannya. Otak mengalami perubahan elektrokimia dalam sel-sel yang menghasilkan perilaku baru, tanpa kecuali jika kita sedang membayangkan sesuatu.

Apa yang diungkapkan oleh Matthews ini, menurutnya relevan dengan berbagai eksprimen—yang pada substansinya membuktikan prinsip “latiha mental”—Dr. Maxwell Maltz, yang bisa contoh-contohnya dibaca dalam bukunya Psycho-Cybernetics. Maltz dalam Matthews menegaskan “Para atlet olimpiade dan olahragawan professional secara intuitif memvisualisasikan kinerja mereka. Karena itu, bukanlah hal yang aneh kalau kita melihat mereka memejamkan mata di lapangan, berlatih olahraga yang mereka tekuni dalam benak mereka.

Menurut Malts sebagaimana dikutip oleh Matthews, “Mereka sibuk menanamkan pola-pola penampilan yang sangat baik ke dalam bawah sadar mereka sehingga prestasi mereka meningkat. Meskipun, Malts pun menegaskan bahwa “Saya tidak bermaksud mengesampingkan nilai latihan dan kerja yang sesungguhnya; saya ingin menekankan kenyataan bahwa dengan memvisualisasikan hasil akhir yang sempurna, kita mampu menyadari potensi kita jauh lebih dini dan dengan lebih sedikit usaha”.

Apa yang diungkapkan dan telah dibuktikan, baik oleh Malts maupun Matthews, jauh sebelum memiliki dan membaca gagasan spektakulernya dalam bukunya tersebut, saya telah melakukan hal yang sama, meskipun pada saat itu belum mengetahui teorinya termasuk istilah yang tepat untuk mengatribusi mekanisme tersebut.

Tahun 2000/2001, saya berupaya menguasa skill mengetik sepuluh jari tanpa melihat tuts keyboard. Pada saat itu, saya hanya memiliki dua jam pelajaran dalam sepekan di SMK Negeri 1 Bantaeng, yang memberikan ruang untuk mengakses peralatan untuk latihan fisik menguasai skill tersebut. Di rumah atau di luar jam pelajaran, saya sama sekali tidak memiliki fasilitas atau peralatan untuk melatih diri secara fisik sebagai upaya menguasai kemampuan mengetik sepuluh jari tanpa melihat tuts keyboard tersebut.

Saya hanya melakukan—dan berhasil setelah dua pekan—dengan metode apa yang disebut oleh Matthews sebagai “latihan mental”. Setiap hari selama dua pekan, terutama ketika saya berjalan kaki pulang pergi dari rumah ke sekolah, membayangkan diri atau memvisualisasikan diri sedang mengetik depan komputer, “dengan 10 jari tanpa melihat tuts keyboard”. Sejak saat itu, sampai detik ini, pada saat menyelesaikan tulisan ini, kemampuan atau skill mengetik sepuluh jari tanpa melihat tuts keyboard tersebut saya kuasai.

Selain, pembuktian nyata atas apa yang saya alami dalam kehidupan ini, belakangan atau mungkin lima tahun terakhir, saya pernah menememukan video di Youtube terkait “alat simulator balap mobil”. Alat simulator ini, digunakan oleh para pembalap mobil tersebut meningkatkan kemampuannya.

Hanya saja—dengan dukungan kecanggihan teknologi digital multidimensi—mereka tidak lagi berlatih di sirkuit/roadrace yang sebenarnya. Mereka hanya berlatih di dalam kamar/ruangan kecil menggunakan perangkat teknologi yang merepresentasikan miniatur sebuah mobil dengan sirkuit yang dilewati hanya berbasis digital. Ketika mereka tabrakan atau terbalik hanya terjadi di ruang digital, sehengga mereka tidak mengalami luka fisik.

Melihat alat simulator ini, meskipun Matthews maupun Malts sama sekali tidak menarik garis relevansi dengan pandangannya di atas tetapi saya mendapatkan percikan pengetahuan bahwa hal itu sama saja menunjukkan bahwa “latihan mental” lebih utama dan luar biasa daripada latihan fisik. Intinya kita hanya ingin menciptakan pola-pola perilaku dalam pikiran/mental.

Sebenarnya pandangan luar biasa di atas, “Latihan Mental” bisa dihubungkan dengan pilar Islam yaitu “ihsan”, “perspektif to see Rhenald Kasali”, dan termasuk ada pesan leluhur orang Bugis Makassar, bahkan dengan konsep iman dalam Islam. Dan latihan mental ini pun, dalam pandangan saya bisa dikontekstualisasikan dan difungsionalisasikan bukan hanya dalam penguasaan skill dalam pengertian keterampilan fisik, termasuk dalam kemampuan menulis, sebagai contoh.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply