Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Hikmah RamadanOpini

Membangun Masa Depan Indonesia dari Zona Ikhlas

×

Membangun Masa Depan Indonesia dari Zona Ikhlas

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

“Semua manusia akan rusak, kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu pun akan rusak, kecuali orang yang beramal. Orang yang beramal pun akan rusak, kecuali yang ikhlas”. Ini adalah nasihat Imam Al-Ghazali yang saya kutip dari buku Kubik Leadership (2009), merupakan buku bestseller karya Jamil Azzaini, dkk.

Adalah Ahmad Syafii Maarif menegaskan “Kita tidak boleh menutup mata, pembentukan Indonesia sebagai bangsa belum final. Masih dalam proses menjadi, belum stabil benar”. Dari penegasan ini, maka tidak keliru, ketika anak bangsa masih terus berpikir dan menawarkan minimal satu pandangan alternatif yang diorientasikan pada pembangunan masa depan Indonesia.

Masa depan Indonesia yang dimaksud, kita sederhanakan saja, seperti apa defenisi atau gambaran yang diharapkan: minimal menjadi bangsa dan negara yang mampu menjamin kesejahteraan, kemandirian, dan kedaulatannya, dan termasuk tidak tertinggal dari derap langkah kemajuan bangsa-bangsa lain. Para sahabat pembaca pun, pasti memiliki gambaran terkait harapan yang dimuarakan pada masa depan Indonesia itu.

Dalam upaya membangun masa depan Indonesia, berbagai hal telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun yang dilaksanakan secara mandiri oleh warga negara atau masyarakat. Namun, saya yakin kita semua menyadari bahwa—tanpa bermaksud mengedepankan perspektif nihilistik (yang menilai sama sekali tidak ada kemajuan), karena terbukti sejumlah kemajuan pun telah dicapai—masih banyak hal yang harus diperbaiki karena berbagai problematika masih mewarnai atmosfer kehidupan bangsa ini. Awan mendung perencanaan, kebijakan, pelaksanaan program, masih terkadang membuat anak negeri khawatir, yang menjerit pun masih sering tampak.

Gambaran tersebut di atas, membutuhkan satu atau lebih langkah solutif. Melalui tulisan ini, saya menawarkan bahwa idealnya masa depan Indonesia dibangun dari “Zona Ikhlas”. Jika merujuk pada nasihat Al-Ghazali di atas, sesungguhnya Indonesia tidak kekurangan orang-orang yang dikategorikan “berilmu”, begitu pun yang dikategorikan dengan “beramal”. Indonesia punya stock yang banyak.

Problematika Indonesia, dan itu pula yang menimbulkan sejumlah problematika baru dan kondisi anomali, serta paradoks dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah, kita (sepertinya) masih kekurangan orang-orang yang dikategorikan “ikhlas”. Justru—sebagaimana tulisan saya hari pertama Ramadan, “Ramadan Ruang Transformasi Cinta Kekuasaan Menjadi Kekuatan Cinta”—terkesan masih banyak yang mengedepankan “Cinta kekuasaan” (The love of power). Terbukti dengan masih tingginya tingkat korupsi, dan setiap proses demokrasi masih diwarnai praktik politik uang.

Padahal, jika kita membuka dokumen sejarah perjuangan Indonesia sampai menjadi bangsa dan negara yang merdeka, bisa dipastikan bahwa itu digerakkan dan berada dalam spirit dan zona ikhlas. Para founding fathers pun menegaskan dan mengabadikan modal besar tersebut, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur…”. Saya yakin kita semua atau para sahabat pembaca pernah membaca penggalan ini, yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari Yusuf Al-Qaradhawi melalui buku karyanya Energi Ikhlas: Agar Hidup Bahagia Dunia-Akhirat, kita bisa bisa memahami bahwa, “Ikhlas merupakan salah satu amalan hati, bahkan ia merupakan amalan hati yang paling utama, karena diterima tidaknya suatu amal bergantung kepada ikhlas. Selanjutnya dipahami bahwa, “makna ikhlas ialah keinginan untuk mendapatkan ridha Allah dengan melakukan suatu amal dan membersihkn dari segala kepentingan, baik yang bersifat pribadi maupun duniawi”.

Dari Al-Qaradhawi pun di atas, kita bisa mendapatkan satu pandangan dan seakan merekonstruksi bangunan argumentatif yang tegas, dan setelah mengonfirmasi ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, bahwa masih ada oknum dalam tata kelola bangsa dan negara ini, yang patut dicurigai—untuk tidak disimpulkan—yang bergerak di luar koridor rida Allah, dan,masih sarat dengan kepentingan pribadi dan duniawi. Atas kecenderungan ini, akhirnya menyisakan sejumlah persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ikhlas adalah kunci utama dalam kehidupan pribadi, sosial, sampai kehidupan yang lingkupnya lebih besar yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan pandangan yang saya pahami, ikhlas memiliki relevansi dengan Misi Mulia Manusia yang pertama dalam perspektif M. Quraish Shihab. Yaitu, satu bentuk pemahaman dan kesadaran bahwa, tujuan utama penciptaan manusia adalah “beribadah”. Beribadah tentunya bukan semata dalam pengertian melaksanakan rukun Islam, tetapi—agar bisa melingkupi seluruh dimensi kehidupan—maka wajib dimaknai “sebagai orientasi atau pembingkaian segala aktivitas dalam rida Allah”.

Sederhana saja, kita semua bisa memahaminya bahwa, andaikan semua anak bangsa terutama yang berstatus elit dan/atau penyelenggara negara senantiasa membangun orientasi dan membingkai segala dinamika dan aktivitasnya—tanpa kecuali dalam tata kelola bangsa dan negara—ke dalam “rida Allah”, maka bisa dipastikan jauh dari korupsi, gratifikasi, politik uang, dan berbagai bentuk perilaku lainnya yang berpotensi menggeroegoti sendi-sendi kehidupan. Realitas masih sering menunjukkan kondisi paradoks dari rida Allah.

Ketika bangsa dan negara Indonesia sedang mendorong langkah progresif dalam bentuk revolusi mental atau revolusi karakter, maka alurnya tidak boleh tidak atau tidak ada hal lain, harus dimulai dari hati. Sekali lagi sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa, amalan hati yang utama adalah ikhlas.

Mengapa dari hati? Karakter—berdasarkan alurnya yang memengaruhi takdir dan/atau realitas—berawal dari kecenderungan hati. Jika kecenderungan hati di luar dari rel rida Allah, berorientasi pribadi dan duniawi, bisa dibayangkan, akan seperti apa berikutnya nasib atau masa depan bangsa dan negara Indonesia.

Bahkan terkait hati ini, ada lirik lagu menarik dari KH. Abdullah Gymnastiar (yang akrab disapa Aa Gym). Jagalah hati jangan kau kotori//Jagalah hati lentera hidup ini//Jagalah hati jangan kau nodai//Jagalah hati cahaya ilahi. Bila hati kian bersih pikiran akan jernih//Semangat hidup kan gigih prestasi mudah diraih//Namun bila hati keruh batin selalu gemuruh//Seakan dikejar musuh dengan Allah kian jauh*. Ini dua bait, sebagai penggalan lagu dari Aa Gym.

Membangun masa depan Indonesia dari zona ikhlas—sebagaimana kita bisa meminjam pandangan Erbe Sentanu (penulis buku Quantum Ikhlas)—bisa pula dimaknai membangun Indonesia dari hati yang penuh rasa syukur, sikap sabar dan tenang, fokus pada niat atau orientasi ideal yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa, dan tanpa kecuali dengan hati yang bahagia. Dari beberapa poin ini saja, bisa dimaknai secara progresif lagi dan menjadi modal besar dan utama dalam membangun Indonesia.

Seperti sikap sabar. Sabar tentunya bukan hanya bermakna tidak-mengeluh menghadapi cobaan hidup, tetapi termasuk pula sabar untuk menahan godaan negatif. Sabar untuk tidak melaksanakan perbuatan negatif, Sabar pun berarti mampu menunda respon terhadap sesuatu yang menggiurkan untuk tetap tenang dan fokus pada cita-cita dan tujuan.

Bisa dipastikan dan diilustrasikan bahwa, salah satu penyebab sehingga bangsa dan negara kita, masih menyimpan berbagai problem karena, kita tidak fokus pada cita-cita dan tujuan nasional. Atau secara sederhana, kita tidak fokus lagi pada sumpah/janji jabatan bagi pejabat negara atau penyelenggara negara. Tidak fokus pada ideologi, dasar, dan falsafah bangsa dan negara. Termasuk tidak fokus pula pada konstitusi dan nilai-nilah luhur bangsa, baik sebagai elit bangsa secara khusus maupun sebagai warga negara secara umum.

Kehidupan terkadang tidak terbawa dalam zona bahagia, sebagai bagian dari zona ikhlas. Kehidupan masih sering dihantui sesuatu yang menakutkan, berbagai tindakan kriminal masih sering dijempai dalam kehidupan, seperti masih maraknya begal dan busur. Padahal jika kita berada dalam zona bahagia, secara psikologis bisa memberikan efek lanjutan yang lebih positif, produktif, dan konstruktif.

Sampai untaian ini, saya menyadari bahwa masih banyak hal yang bisa diuraikan yang mempertegaskan bahwa zona ikhlas bisa menjadi arena positif untuk merancang dan/atau membangun masa depan Indonesia. Namun, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya dan kita semua patut pula menyadari bahwa Ramadan adalah momentum tepat untuk mengaktivasi zona ikhlas yang mmiliki kontribusi besar, positif, produktif, konstruktif, dan kontributif bagi harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply