Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Hikmah RamadanLiterasiOpini

Puasa Ramadan Mengendalikan Ego

×

Puasa Ramadan Mengendalikan Ego

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Dalam diri setiap manusia, ada anasir atau elemen kepribadian yang senantiasa berfungsi sebagai penghubung antara diri dengan realitas yang ada. Meskipun, berdasarkan pemahaman sederhana saya dari Sigmund Freud (Bapak Psikoanalisis, ahli saraf dan ilmuwan psikologi asal Austria), elemen kepribadian yang satu ini tidak selamanya wujud dan dampaknya negatif, tetapi ada juga yang positif. Elemen yang dimaksud adalah “ego”.

Hanya saja, dalam tulisan ini, terkesan difokuskan pada pemaknaan bahwa “ego” itu, wujud dan dampaknya negatif. Apatah lagi, pemahaman dan pemaknaan ini, dalam kehidupan masyarakat atau realitas sosial, telah menjadi pengetahuan dan pemahaman umum bahwa, ego itu negatif. Memahami tiga anasir atau elemen kepribadian Freud—“id”, “ego”, dan “superego”—maka, kita pun bisa menemukan basis teori, ketika “ego” dipahami dan dimaknai, bahwa wujud dan dampaknya negatif.

Ego—minimal dalam konteks tulisan ini atau substansi tulisan berdasarkan judul di atas—seringkali dipahami sebagai sumber petaka atau kehancuran dalam kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai bentuk kejahatan, tindak pidana, sampai pada yang diistilahkan intolernasi, terorisme, korupsi, perang saudara, dan/atau penjajahan, pemicu awalnya karena “ego”.

Memahami teori kepribadian Freud, maka kita bisa memahami bahwa “ego” itu adalah anasir kepribadian yang bertanggungjawab atas segala apa yang terjadi dalam realitas kehidupan. Ego beroperasi dalam realitas kehidupan dan sebagai penghubung antara harapan dalam diri dengan kenyataan. Ego bekerja dalam ruang sadar. Ego adalah cermin utama ke-“AKU”-an seseorang.

Saya teringat dengan satu kisah yang ditulis oleh Anthony de Mello dalam buku karyanya Berjalan di atas Air: Menemukan Tuhan di dalam Hidup Kita. Kisah itu bercerita tentang dua orang perempuan yang sudah puluhan tahun hidup bersama dan bahagia dalam sebuah gubuk sederhana. Pada suatu ketika, mereka berdua ingin mengetahui apakah betul pertengkaran yang menghancurkan kebahagiaan.

Kisah singkatnya kurang lebih seperti ini: Sebagaimana saya telah ungkapkan di atas, bahwa mereka ingin mengetahui apakah betul pertengkaran yang menghancurkan kebahagiaan. Mereka akhirnya ingin memulai pertengkaran. Mereka bingung bagaimana caranya bertengkar.

Salah seorang di antara mereka mengusulkan “Bagaimana kalau kita bertengkar dengan sepotong roti ini?” Lalu perempuan yang satunya, balik bertanya “Bagaimana caranya, kita bertengkar dengan sepotong roti ini?” Maka salah seorang berkata “ini rotiku”, akhirnya yang satu pun berkata “ini rotiku”. “Ini rotiku”, “ini rotiku”, “bukan, ini rotiku”, “ini rotiku”, “bukan, ini rotiku”, “ini rotiku”, “ini rotiku”, “ini rotiku”.

Suara pertengkaran tersebut di ataslah yang menggema dalam gubuk sederhana itu. Akhirnya, mereka bertengkar, kebahagiaan mereka mulai berubah menjadi permusuhan. Berhari-hari, mereka tidak saling berkomunikasi, hingga akhirnya tidak satu pun di antara mereka yang mengurus gubuknya.

Dari kisah singkat ini, De Mello menyimpulkan—dan saya sepakat dengan itu setelah memahami teori kepribadian Freud—bahwa yang menghancurkan kebahgiaan mereka, kehancuran gubuknya, bahkan jika dibawa dalam konteks kehidupan kita hari ini, kehancuran beberapa sendi kehidupan, penyebab utamanya bukanlah karena pertengkaran. Penyebab utamanya karena ego masing-masing di antara mereka yang mengklaim atau merasa bahwa “ini” dan/atau “itu” adalah milik atau haknya.

De Mello pun memahami bahwa egoisme sebagai sebuah mekanisme jiwa yang cenderung berorientasi pada kepentingan diri, keluarga, dan golongannya yang menimbulkan kehancuran, pertengkaran, dan merusak kebahagiaan dan ketentraman. Sekali lagi, apapun bentuk kehancuran dalam kehidupan ini, baik kehidupan pribadi, keluarga, bangsa dan negara, atau lembaga tertentu, karena di dalamnya masih ada oknum atau pihak tertentu yang masih mengedepankan ego pribadi, ego sektoral, dan/atau ego organisasi. Intinya “ego” itulah yang merusak.

Setelah memahami, tiga elemen kepribadian berdasarkan teori atau pandangan Freud, maka saya yakin—berdasarkan apa yang saya pahami pula terkait puasa Ramadan—bahwa, puasa pada bulan Ramadan atau saya menyebutnya “Puasa Ramadan” mampu mengendalikan “ego”.

Ego harus dikendalikan melalui puasa Ramadan, agar—sebagaimana atau relevan dengan pandangan Freud—yang menonjol atau wujud dan dampaknya adalah sesuatu yang bersifat positif, produktif, dan konstruktif, sesuai etika, moralitas, atau akhlak. Bukan justru sebaliknya, ego negatif, destruktif, amoral, nir etika, dan jauh dari akhlak.

Sebagaimana bisa kita pahami dari Freud, bahwa tiga elemen kepribadian itu adalah “id”, “ego”, dan “superego”. Id adalah sumber utama energi psikis, yang built-in atau ada sejak lahir. Secara sederhana dan singkat, “Id” inilah yang orientasinya pada prinsip kesenangan, mendorong upaya untuk segera memberikan pemuasan pada keinginan dan kebutuhan. Bagi bayi, “Id” inilah yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan hidupnya, sehingga jika lapar maka langsung menangis.

Hanya, berdasarkan yang saya pahami dari Freud sendiri, “id” ini terkesan dalam upaya pemenuhannya tidak mengindahkan aturan, etika, moralitas, dan/atau akhlak apatah lagi konsepsi takwa dalam Islam. Intinya apapun caranya, halal atau haram, yang penting bisa memuaskan kebutuhan dan keinginan, maka itu no-problem baginya.

Jika “ego” dikendalikan oleh “id” ini, maka wujud dan dampaknya dalam realitas kehidupan adalah sesuatu yang negatif, destruktif, amoral, nir etika, jauh dari akhlak. Sebagai contoh,—meskipun sudah banyak contoh diuraikan di atas—jika “haus kekuasaan” mendominasi diri seseorang, maka “ego”-nya sebagai bagian dari mekanisme psikis yang menjadi penghubung ke realitas, akan cenderung menampilkan perilaku yang menghalalkan berbagai cara, seperti “politik uang”, “kampanye hitam”, dan lain-lain, yang saya yakin para sahabat pembaca, sudah memahami dan bisa mengungkap lebih banyak contoh dalam hatinya.

Selain “id”, ada pula yang dikenal sebagai “superego” yang menjadi salah satu dari tiga elemen kepribadian setiap manusia. Merespon pandangan Freud tentang “superego” Priscilia Roth penulis buku Seri Gagasan Psikoanalisis: Superego (2001), menegaskan bahwa, nama lain “superego” adalah “kesadaran” dan/atau “moralitas”.

Jika memperhatikan proses pertumbuhannya antara tiga elemen kepribadian di atas, “id” dipahami sejak lahir, sedangkan “superego” berkembang seiring dengan proses pendidikan, interaksi sosial, nasihat, dan ajaran orangtua, keluarga, dan lingkungan. Intinya relevan dengan moralitas atau akhlak.

Jika “ego” dikendalikan atau didominasi oleh “superego” maka wujud dan dampaknya dalam realitas atau dalam bentuk perilaku dan dinamika sosial itu adalah sesuatu yang positif, produktif, konstruktif, kontributif, sesuai nilai moralitas, etika, akhlak, dan mencerminkan ketakwaan.

Berdasarakan pemahaman di ataslah sehingga, saya yakin bahwa puasa Ramadan mampu mengendalikan ego, dalam pengertian lahirnya wujud dan dampak ego yang positif tersebut. Mengapa? Karena puasa apalagi puasa Ramadan yang di dalamnya bekerja mekanisme habits dan beriorentasi pada pembentukan karakter, itu sesungguhnya mampu mengendalikan kecenderungan “id” sebagai salah satu elemen kepribadian yang built-in sejak lahir.

Puasa Ramadan, melatih diri untuk menahan lapar, haus, dan/atau nafsu, yang di mana ini adalah kecenderung dan tuntutan “id” yang sangat besar, yang selanjutnya ini bisa memengaruhi dan mendominasi “ego”. Jangan heran, jika terkesan ada “aksioma” bahwa sumber kehancuran seringkali dipicu oleh persoalan “perut” (lapar dan haus) dan “di bawah perut” (nafsu atau seks).

Selain itu puasa pun, bukan hanya untuk belajar menahan dan mengendalikan kebutuhan atau pemuasan terhadap “lapar”, “haus” dan “nafsu/seks”, tetapi puasa pun apalagi puasa Ramadan, melatih dan mengendalikan setiap diri seseorang untuk mengarahkan pemenuhannya, dengan cara-cara yang benar, sesuai moralitas, sesuai etika, dan akhlak.

Puasa Ramadan pun, selain mengendalikan “id” sebagaimana yang dijelaskan di atas, termasuk pula dan ini yang utama, adalah memupuk, memperkaya, memberikan asupan gizi ruhaniah, spiritualitas dan religiusitas bagi “superego”. Agar super ego semakin mampu mengendalikan dam mendominasi “ego” dalam diri manusia.

Dengan kata lain dan sangat sederhana bahwa, puasa Ramadan mampu mengendalikan atau me-rem “id” dan menggas-full “superego”. Ingat, berdasarkan pandangan Freud pun bahwa “ego” berada di tengah-tengah antara “id” dan “supergo”. Apapun yang mendominasi “ego” maka seperti itulah wujud dan dampaknya yang ditimbulkan dalam realitas kehidupan.

Semoga puasa Ramadan, mampu mengendalikan “id” untuk tidak mendominasi “ego” tanpa kendali “superego”, tetapi diharapkan puasa Ramadan semakin menguatkan “superego” untuk mendominasi “ego”. Kehidupan bangsa dan negara Indonesia hari ini, masih sangat membutuhkan kondisi di mana “superego” menguasai “ego” agar selanjutnya yang mendominasi kehidupan adalah the power of love (kekuatan cinta) bukan sebaliknya the love of power (cinta kekuasaan).

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply