Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Hikmah RamadanLiterasiOpini

Korelasi Positif Antara Bulan Ramadan dan Kecerdasan Profetik

×

Korelasi Positif Antara Bulan Ramadan dan Kecerdasan Profetik

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO,- Awalnya, saya hanya ingin mengulas bahwa, bulan Ramadan mampu meng-update dan meng-upgrade kecerdasan profetik. Namun, setelah saya merenungkan kembali pengetahuan dan pemahaman mengenai bulan Ramadan dan keceradasan profetik (prophetic intelligence) atau kecerdasan kenabian, ternyata keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sifatnya positif. Antara satu dengan yang lainnya, saling memberikan dampak positif.

Jenis kecerdasan yang akan diulas ini, tentunya berbeda dengan teori Multiple Intelligences (MI) yang dikembangkan oleh Howard Gardner. Berbeda pula dengan Emotional Quotient (EQ) Daniel Goleman, dan Spiritual Quotient Dannah Zohar. Meskipun demikian, kecerdasan profetik bukan berarti hanya bisa dimiliki oleh para nabi saja. Apalagi, jika mencermati makna dan nilai-nilai yang ada di dalamnya, kecerdasan profetik ini memiliki energi yang sama dengan ESQ yang dikembangkan oleh Ary Ginanar Agustian, terutama jika merujuk pada karakter dan implementasinya dalam realitas kehidupan.

Dari buku Prophetic Intelligence: Kecerdasan Kenabian karya KH. Hamdani Bakran Adz-Dzkiey bisa dipahami bahwa, kecerdasan profetik adalah potensi atau kemampuan berinteraksi, menyesuaikan diri, memahami dan mengambil manfaat dan hikmah dari kehidupan langit dan bumi, ruhani dan jasmani, lahir dan batin, serta dunia dan akhirat, dengan senantiasa mengharapkan bimbingan Allah Swt. melalui nurani. Kesehatan ruhani yang menjadi poros ketakwaan sebagai dasar kecerdasan profetik.

Dari KH. Hamdani BDz, saya bisa memahami bahwa dengan kecerdasan profetik, seseorang dalam kehidupannya di dunia, sikap dan perilakunya akan senantiasa fokus dan/atau bermuara pada dua hal: sebagai abdullah (hamba Allah) dan sekaligus sebagai khalifatullah (pengganti Allah). Pada dirinya senantiasa terpancar potensi ketuhanan sehingga etos dan kinerjanya adalah semangat kenabian dengan mengedepankan karakter kenabian.

Karakter kenabian yang dimaksud di sini, relevan dengan sifat dan karakter yang senantiasa dilekatkan bagi Rasulullah Muhammad Saw. Shiddiq, berkarakter jujur; amanah, setia terhadap kebenaran; tabligh, mengedepankan sikap dan perilaku keterbukaan; dan fathanah, mengedepankan karakter profesionalitas dan kecerdasan.

Selain itu dirinya pun, orang-orang yang memiliki kecerdasan profetik akan senantiasa memiliki konsistensi yang kokoh (istiqamah), tulus tanpa pamrih (ikhlas), dan lapang dada atau fokus pada rido Allah. Hal ini terjadi karena kecerdasan profetik berangkat pada nurani yang sehat dan bermuara pada implementasi keimanan dan ketakwaan secara simultan dalam kehidupan empirik atau sosial.

Siapa saja yang memiliki kecerdasan profetik, maka bisa dipastikan dirinya tidak hanya berdiam diri dalam masjid untuk beribadah. Dirinya tidak egois, untuk memfokuskan segala hidup dan kehidupannya agar mendapatkan rida Allah yang menyelamatkan dirinya semata dari api neraka dan demi surga dengan berbagai keindahan dan kenikmatannya. Dirinya pun, demi melaksanakan fungsi khalifatullah, akan senantiasa berupaya memikirkan kehidupan orang lain, lingkungan, bangsa dan negaranya.

Saya tertarik dengan satu tafsir progresif dan saya menduga—berdasarkan ingatan lama saya—itu dari Kuntowijoya atas QS. At-Taubah [9]: 128, yang dalam pandangannya dimaknai sebagai kepemimpinan profetik, “Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang beriman”.

Bagi saya, selain ini dipandang sebagai spirit, nilai, dan sifat kepemimpinan profetik, maka QS. At-Taubah [9] ayat 128 tersebut, bisa pula dipandang dan idealnya menjadi refleksi dan/atau implementasi konkret dari kecerdasan profetik. Atau, idealnya kristalisasi dari kecerdasan profetik harus tercermin pula dari spirit ayat ini.

Azizun alaihi maa anittum (berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami). Penggalan ayat ini harusnya sebagai wujud dari kecerdasan profetik dengan terpancarnya apa yang disebut dengan sence of cricis (kepekaan), empati dan simpati. Bisa dipastikan, ketika dalam diri seseorang tidak terpatri sence of cricis, maka fungsi khalifatullah-nya di muka bumi ini atau dalam realitas kehidupan empirik tidak akan maksimal. Apalagi kehidupan era sekarang, banyak hal yang beroperasi dan itu memiliki potensi besar untuk mereduksi kepekaan dalam diri.

Ketika kita memahami tiga jenis kesadaran, dan satu di antaranya—yaitu kesadaran kritis—sebagai kesadaran yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi harapan suatu perubahan dalam kehidupan, maka prasyarat utamanya adalah sence of cricis, kepekaan atau empati. Selain pemahaman dan kesadaran akan relasi struktural yang melekat di dalamnya.

Harisun ‘alaikum, (Dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Penggalan kedua ini, dari ayat tersebut di atas mengandung sence of achievement. Dia atau mereka memiliki semangat yang menggebu-gebu agar masyarakat dan bangsanya mencapai keunggulan. Belajar dari berbagai sejarah kenabian, kita akan menemukan bahwa salah satu spirit utama yang melekat dalam dirinya adalah semangat yang menggebu-gebu untuk tujuan perubahan dan keunggulan dalam kehidupannya.

Ra’ufur rahim(un), pengasih dan penyayang, penggalan ayat ini, mengandung spirit dan modal utama yang merupakan kristalisasi kecerdasan profetik yang sangat signifikan dalam kehidupan. Energi utama yang bisa menggerakkan seseorang termasuk para nabi dahulu untuk hadir dalam realitas empirik demi sebuah perubahan, selain harapan, dan kepekaan, dalam dirinya pun melekat kasih-sayang yang amat dalam dan besar. Bahkan, jika belajar dari sejarah perjalanan hidup Rasulullah Muhammad Saw., pada penghujung hidupnya pun, masih memikirkan “umat”-nya.

Membaca dan mencermati uraian di atas, sesungguhnya hari ini, kita sangat membutuhkan tampilnya sosok yang memiliki kecerdasan profetik, bukan hanya sebagai seorang negarawan. Sosok dengan kecerdasan profetiklah yang akan mampu melakukan perubahan dalam kehidupan ini. Mengapa? Karena sesungguhnya, dirinya tidak hanya fokus untuk memenuhi kepentingan, kebutuhan dan harapan pribadi, tetapi dirinya memiliki kepekaaan dan harapan untuk sebuah perubahan yang bermuara pada kehidupan yang lebih baik dalam bingkai keimanan dan ketakwaan.

Selain itu, pada dirinya terpancar banyak karakter, nilai, dan spirit yang bersifat magnetis sehingga orang-orang akan mampu atau minimal berniat untuk meneladaninya. Meskipun berat menjadi sosok seperti yang diharapkan dan digambarkan di atas, namun tentunya bukan sesuatu yang mustahil, kelak mungkin di antara kita ada yang mampu untuk membawa diri menjadi sosok dengan kecerdasan profetik yang melekat dalam diri, sekaligus nyata dalam kehidupan.

Bulan Ramadan dengan berbagai ibadah, ritual, kebaikan, nilai, dan spirit yang ada di dalamnya, memiliki potensi dan mekanisme yang akan menjadi jalan untuk menghadirkan kecerdasan profetik dalam diri, khususunya umat Islam. Mengapa, karena kecerdasan profetik, titik berangkatnya adalah kesehatan ruhani. Sedangkan berbagai amalan yang dilaksanakan dalam bulan Ramadan, jika kita mencermatinya, sarat dengan upaya dan proses kesehatan ruhani. Semuanya bermuara pada ketakwaan, dan di atas sebagaimana pandangan KH. Hamdani, telah ditegaskan “Kesehatan ruhani yang menjadi poros ketakwaan sebagai dasar kecerdasan profetik”.

Jika kita menelesuri buku karya KH. Hamdani BDz itu, buku Profetik Intelligence Kecerdasan Kenabian: Menumbuhkan Potensi Hakiki Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani, yang ketebalannya lii + 704 halaman, maka secara substansial, segala nilai yang menjadi harapan untuk diinternalisasi dalam diri, secara praksis atau melalui langkah praksis atau konkret bisa diperoleh nilai-nilainya ketika kita sungguh-sungguh dan secara benar mengamalkan berbagai ibadah yang menjadi tuntutan dan tuntunan selama bulan Ramadan.

Ternyata, bukan hanya bulan Ramadan mampu memberikan kontribusi positif terhadap pencapaian kecerdasan profetik, sebaliknya pun ketika kecerdasan profetik melekat dalam diri, maka bisa dipastikan pelaksanaan ibadah, dan berbagai kebaikan yang menjadi tuntunan dalam bulan Ramadan, bisa dilakukan secara maksimal, tanpa kecuali dalam hal sedekah dan berzakat yang memiliki potensi untuk membangun kohesivitas sosial, sebagai refleksi di antara penggalan QS. At-Taubah di atas.

Saya, dan mungkin sebagian dari sahabat pembaca masih sulit meraih kecerdasan yang satu ini, kecerdasan profetik, tetapi tentunya bukan hal mustahil. Semoga dengan harapan yang ada untuk mencapainya, dan proses pengendapan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam, kelak diri kita masing-masing bisa mencapainya. Hal ini penting, agar dengan kecerdasan profetik yang kita miliki, kelak diri kita bisa memberikan kontribusi positif, produktif, dan konstruktif bagi kehidupan pribadi, keluarga, agama, bangsa dan negara.

Agar diri kita pun, bisa memenuhi harapan agama untuk manusia ideal yaitu “yang hidupnya banyak memberikan manfaat dalam kehidupan”.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply