Oleh : Muh. Asratillah Senge, ST*
“Barangsiapa kebingungan, maka ia telah sampai pada Tuhan.
Dan barangsiapa merasa mendapat petunjuk, maka telah terpisah dari Tuhan”
-Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi
Pendahuluan
Idealnya agama merupakan sarana bagi manusia dan kemanusiaan untuk mengenyam kedamaian dan “ke-tidak-gamang-an”. Tapi realitas berucap lain, kini jika kita menyebut “agama” maka bukan hanya “keharuan yang kudus” yang terlintas dalam benak kita, tetapi juga ikut serta dengannya “perang”, “pembantaian”, “pembunuhan”, “klaim kebenaran yang berujung pada kekerasan” dan “teror”. Kita bisa berkata bahwa itu semua bukanlah salah agama, itu merupakan salah dari manusia yang beragama atau manusia yang memanfaatkan agama. Tapi yang perlu kita ketahui kita tak pernah melihat agama dengan tubuh tertentu berteriak-teriak di jalan, menunjuk-nunjuk hidung orang yang berbeda mazhab dengannya, ataupun menengadah berdoa meminta agar Tuhan mengazab pesaingnya. Dengan kata lain statement yang mengatakan bahwa “bukanlah salah agama, tetapi penganutnya” adalah statemen yang terkadang menyesatkan, kenapa demikian ?. Karena statement tersebut mengasumsikan adanya agama yang astral nan abstrak dan terlepas dari realitas kemanusiaan yang konkrit.
Agama dan manusia adalah dua hal yang saling mengandaikan. Jika bagi Martin Heidegger (1889-1976) penanda dari eksistensi da-sein (manusia) adalah sorge (keterlibatan) terhadap dunianya, maka manusia dengan agama yang dianutnya adalah manusia yang senantiasa terlibat dengan dunianya. Maka lahirlah ritual-ritual keagamaan, simbol-simbol, rumah-rumah ibadah, institusi dan lembaga keagamaan, dan semua kesibukan ini terkadang membuat kita larut dengan tingkat molaritas (kepekatan) yang sangat rendah sehingga kita tak mampu berjarak terhadapnya, untuk “diam” dalam momen refleksi. Titik itulah agama menjadi rutinitas sebagaimana modernitas. Dulu agama yang sering diadu dengan modernitas kini tak relevan lagi karena rutinitas keduanya membuat manusia semakin terserak-serak, tanpa-makna dan begitu bergantung dengan objek di luar dirinya, keduanya membuat manusia kehilangan “pusat” dirinya.
Mungkin kita sebagai manusia yang beragama, membutuhkan “perangkat” tertentu agar kita bisa menatap diri kita, kita membutuhkan sebuah cermin, agar kita bisa berkaca, sampai sejauh mana agama dan piranti-piranti budaya kontemporer memoles wajah kemanusiaan kita. Apakah kita makin rupawan dan anggun ataukah semakin mirip “serigala pemakan serigala lainnya” ?. Cermin yang coba dipakai oleh penulis kali ini adalah fenomenologi. Walaupun dalam konteks kelahirannya fenomenologi dijiwai oleh kritik terhadap perangkat epistemologi modern, tetapi penulis yakin fenomenologi juga bisa dipakai untuk mengkritik sekaligus memperkaya modus keberagamaan kita. Karena agama, modernitas dan budaya kontemporer telah bertemu pada satu muara yaitu “rutinitas yang melahap vitalitas kemanusiaan”.
Persoalan dasar dalam fenomenologi
Pada tahun 1901 Edmund Husserl (1859-1938), yang oleh sejarah dicatat sebagai pendiri fenomenologi, melahirkan sebuah karya yang menyuntikkan sebuah nafas baru dalam dunia filsafat dan kebudayaan di eropa khususnya di Jerman saat itu, karya itu berjudul Logische Unstursuchungen (Peneyelididkan-peneyelidikan Logika). Bahkan Ito Prajna Nugroho dalam bukunya yang berjudul Fenomenologi Politik (2013) menyebutkan bahwa karya Husserl tersebut telah mencapai jepang pada tahun 1920 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Hampir sebagian besar pemikir raksasa di abad ke dua puluh khususnya pemikir kontinental pernah membaca buku Husserl tersebut.
Dari karya tersebut kita bisa melihat dua akar persoalan yang ingin dikemukakan oleh Edmund Husserl . Pertama, Husserl ingin menunjukkan dasar permasalahan dari “kosmik epistemik” pada saat dia hidup (kita sebutlah ini sebagai “dunia modern”), yaitu kesalahpahaman dalam memandang sifat dasar dunia dan sifat dasar manusia. Kedua, tawaran Husserl dalam menawarkan solusi dari problem tersebut melalui apa yang dia sebut sebagai “sikap fenomenologis” di hadapan realitas. Apakah “sikap fenomenologis” itu ?
Bagi Husserl, hal yang paling prinsispil bahwa intuisi langsunglah yang bisa digunakan sebagai kriterium akhir dalam filsafat. Husserl penah mengatakan “ ‘Melihat’ secara langsung (Sehen), bukan saja melihat dalam arti pengalaman indrawi, tetapi melihat pada umumnya sebagai kesadaran yang memberikan apa saja secara asali adalah sumber kebenaran yang terakhir bagi semua pernyataan rasional ”. Hanya yang disingkapkan kepada kita melalui kesadaran secara langsung dapat dianggap benar sejauh yang diberikan, dengan kata lain bagi Husserl kesadaran merupakan dasar bagi filsafat.
Kita ketahui Rene Descartes melalui adigium cogito ergo sum nya , telah memiliki keinsafan intelektual yang hampir serupa yang dimiliki oleh Husserl, bahwa kesadaran lah yang menjadi pusat dari filsafat, pusat dari pengetahuan sekaligus pusat dari keberadaan manusia. Tapi Husserl mengambil jalan dengan arah dan pola yang berlainan dari Descartes, pemikiran Husserl terus berkembang secara dialektis, hingga suatu saat Husserl menyebut dirinya sebagai ein ewige Anfanger yang artinya sebagai “seorang pemula yang abadi”.
Secara sederhana kita bisa mengartikan fenomenologi sebagai ilmu pengetahuan (logos), tentang apa yang nampak atau yang meampakkan diri (phenomenon). Istilah fenomenon di sini merupakan sesuatu yang baru bagi Husserl, walaupun dalam filsafat Kant disebutkan pula antinomi noumena-fenomena tetapi kata “fenomena” Husserl tidak bisa diasalkan padanya. Dalam filsafat Kant, yang berusaha untuk menelisik batas-batas pengetahuan manusia, dikatakan bahwa manusia hanya bisa mengakses atau mengetahui fenomena bukan noumena, manusia hanya bisa mengetahui sesuatu yang nampak bagi dirinya (das-ding-fur-mich) yang dalam hal ini fenomena, tetapi buta atau tertutup tirai untuk mengetahui sesuatu pada dirinya sendiri (das-ding-an-sich), dan kita bisa melihat bahwa filsafat Kant adalah filsafat yang dilatarbelakangi oleh filsafat Descartes, filsafat Kant adalah filsafat yang terbangun untuk mengantisipasi oposisi yang dibuat oleh Descartes antara res-cogita dan res-extensa. Tetapi menurut Husserl, fenomena adalah realitas sendiri apa yang tampak, sehingga tak ada noumena dalam filsafat Husserl, realitas itu sendiri yang nampak kepada kita. Sehingga bagi filsafatnya Husserl memilih semboyan yang berbunyi Zuruck zu den Sachen selbst yang artinya “kembalilah pada benda-benda sendiri”.
Jikalau kita membaca sejarah filsafat barat bermula dari Descartes hingga Hegel, maka kita bisa melihat keserupaan dalam memandang kesadaran, bahwa kesadaran merupakan kesadaran yang tertutup, pejal, ilahiah, “melayang-layang” di atas dan ditengah-tengah ruang realitas yang euclidean. Bahkan menurut penulis hal ini memiliki akar yang cukup dalam dalam filsafat abad pertengahan, yang sering mengidentifikasi Tuhan yang Maha Tahu sebagai akal yang memikirkan dirinya sendiri, dengan kata lain kunci bagi pengetahuan segala sesuatu adalah melalui tindak mengetahui dirinya, jika kesadaran ingin menjelajah dan mengetahui segala segi, rupa dan aspek realitas maka hal yang perlu dilakukan adalah melalui mengenal dirinya sendiri. Bagi Husserl, kesadaran bukanlah sebuah cogito yang tertutup, tetapi kesadaran merupakan sesuatu yang terbuka, tertuju bahkan tertambat pada yang lain daripada dirinya. Kesadaran selalu merupakan kesadaran akan….sesuatu, inilah yang dalam fenomenologi sebut dengan intensionalitas atau keterarahan realitas. Tapi kita tidak bisa membaca intensionalitas ini dalam kacamata dualisme subjek dan objek seperti dalam epistemologi modern, karena intensionalitas juga pada saat yang sama berarti “realitas menampakkan dirinya”, bagi penulis dalam intensionalitas berarti kesadaran secara aktif tak henti-hentinya melayangkan “undangan” bagi realitas agar menampakkan diri dan secara bersamaan realitas juga secara aktif tak henti-hentinya “memenuhi undangan” kesadaran untuk menampakkan diri. Menurut K. Bertens Intensionalitas dan fenomena adalah sesuatu yang korelatif dan korelasi ini berlaku bagi kesadaran dan realitas pada umumnya.
Lewat pemahaman ini , konsep otonomi individu dengan sendirinya menemui batasnya. Melalui analisis atas konsep intensionalitas, kita bisa melihat bahwa kesadaran manusia bukan saja mengandaikan yang lain, melainkan kesadaran telah selalu terarah pada yang lain, selain dari kesadaran itu sendiri. Maka dari itu, otonomi manusia bukanlah sesuatu yang sifatnya mutlak, tak ada manusia yang bisa mengatasi sepenuhnya keberadaan dari yang lain dan menyisakan kesendiriannya yang mutlak, tetapi yang ada adalah adanya relasi intensional atau kesaling terhubungan antara berbagai hal yang membentuk cakrawala atau horizon kesadaran. Kesaling keterkaitan segala hal yang membentuk horizon kesadaran dan kehidupan kita inilah yang disebut oleh Husserl sebagai “dunia kehidupan” (lebenswelt).
Analisis atas intensionalitas juga memperlihatkan bahwa realitas menampakkan atau menyingkapkan diri dalam “wajah” yang tak terbatas dan beragam. Dengan kata lain perangkat ideologi, persepsi, paradigma atau kepercayaan yang kita gunakan sebagai alat bantu pemaknaan realitas, hanyalah salah satu realitas dalam memberikan dan menampakkan dirinya di hadapan realitas. Intensionalitas sebagai keterarahan kesadaran sekaligus penyingkapan diri realitas, secara implisit mengasumsikan akan adanya horizon realitas yang tak terbatas, tapi hanya dibatasi oleh batas kemampuan “melihat” kita, intensionalitas mengsumsikan bahwa horizon dunia-kehidupan takkan bisa sepenuhnya direngkuh oleh satu pandangan, satu orang, satu agama ataupun satu ideologi tertentu. Intensionalitas menunjukkan kepada kita akan realitas yang selalu mengandaikan adanya kesaling-keterkaitan (Zusammenhang) yang tidak terbatas di antara berbagai hal di dalam realitas itu sendiri, realitas yang nampak bagi kita sesungguhnya memuat sesuatu yang lebih (plus ultra), sesuatu yang selalu melampaui dan mengatasi persepsi yang terbatas (perspectival). Kesadaran intesnional mensyaratkan bahwa realitas yang hadir menampakkan diri sebagai sesuatu yang menyertakan sesuatu yang lebih bersamanya, sisinya yang belum terpahami, sisi yang tetap tertinggal sebagai wilayah yang tidak diketahui. Sesuatu yang lebih, yang tetap tinggal di latar belakang, yang tidak memberikan diri dalam keterberiannya inilah yang Husserl sebut sebagai sifat transenden dari realitas, dikarenakan yang transenden selalu mengatasi daya jangkau persepsi dan pemahaman manusia. Bersambung……………………..
*Penulis adalah anggota Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Sulsel