Oleh : Ma’ruf Nurhalis*
Aku pandang estetika bunga emas.
Bibir senyuman yang merekahkan lautan.
Seperti ombak yang menubruk pantai.
Tarian-tarian seorang perempuan.
Dengarkan suaranya.
Seperti Sayup angin di sela bambu.
Seperti ada tanda dan jejak Voxdea.
Jika kupandang tubuh perempuan.
Kulihat Yupiter,merkurius, mars,venus,
Pemandangan Bintang-bintang yang bertubrukan.
Supernova, dan bigbang.
Jika kulihat lebih dalam lagi.
Kudapati semayam kemisteriusan.
Kesucian sang Dei.
Aku bertajalli, menyingkap selubung Engkau yang sempurna.
Pada tubuh perempuan.
Puisi di atas diberi judul Engkau Di Balik Tubuh Perempuan. Jika Heidegger pernah mengatakan sesuatu yang Irasional tak dapat dijelaskan secara sistematis. Lewat puisilah gambaran yang transendental itu dapat tercakapkan. Perempuanku yang transendental lewat puisi inilah pujian “bunga emas” bagi tubuh perempuan.
Tak sebagaimana yang di pandang oleh manusia-manusia oriental, Plato yang mengatakan keindahan tubuh hanyalah imitasi dari imitasi yang memenjarakan jiwa yang ingin terbang keatas. Atau manusia yang lebih dangkal dan banal menandai tubuh sebagai the foul, alat yang menjadi sarang dosa. Dan dari sudut wahyu yang beku, agama monoteis menertibkan tubuh perempuan, memilliki defenisi yang terberi sebagai manusia sekunder dan menjadikan “Engkau” hanya maskulin. Menjadikan lelaki menjadi lebih cerewet, menjadikan tubuh perempuan sebagai warning.
Tapi lihatlah ketika tubuh perempuan tersenyum, ada estetika bunga emas yang merekah laksana matahari yang merekahkan langit. Dan lihatlah ketika perempuan bergerak seperti ombak yang menubruk pantai. Terlihatlah tanda dan jejak “Engkau” di alam mikrokosmos perempuan. Terbayang pula bagai mana supernova dan bigbang membentuk alam semesta yang bersinar di langit-langit Tuhan. Atau ketika ia bersuara seperti angin yang menyapa rumpun bambu, terdengarlah Vox-dei disana. Dangkal sekali jika Tubuh perempuan itu adalah sebuah yang terlarang. Tapi dengarlah nyanyian Upanisad yang menghadirkan kama, siapa saja yang mahfum bahwa tubuh perempuan adalah altar suci maka ia mengetahui segalanya.
Ada isyarat sakral yang coba menjaring “Engkau” pada tubuh perempuan. Di balik rongga-rongga tubuh perempuan yang profan. Tubuh profannya yang terdefenisi sebagai ratu geisha dan kupu-kupu malam dapat berubah menjadi Tubuh yang sakral dan menjelmakan postur pritual estetika. Dengan bersatu dengan tubuh perempuan, aku bersatu dengan Tuhan.
Lihat lebih dalam lagi alam mikrokosmos milik perempuan. Ku dapati semayam kemisteriusan kesucian sang Dei. Jika yang banal, dangkal dan beku mengatakan tubuh perempuan hanya sekedar alat untuk mempertahankan spesies. Tapi coba hadirkan kama pada rasa. Maka Tubuh perempuan akan termengerti bukan hanya sekedar alat untuk tujuan profan semata, lebih substansial tubuh perempuan adalah tujuan eksistensi. Tujuan untuk mencapai kenikmatan dan kepuasan spiritual.
Ada nada-nada hasrat terdengar membelah kebisuan. Memang sudah Faucoult katakan, manusia bukan hanya The tingking think atau hewan yang berpikir. Tetapi manusia pula adalah makhluk yang berhasrat. Tetapi hasrat memandangi tubuh perempuan adalah hasrat –hasrat yang tidak dapat terjaring timbangan rasional yang tidak dapat tercakapkan, hasrat itu hanya terasa irasional. Hanya puisi yang mendesah kecil saja yang mampu memberi tanda, hanya isyarat enigma bersuara di alam kenikmatan misterius yang begitu hening.
Tak sepantasnya streotype pada tubuh perempuan melekat sebagai pencetus potensial dosa bagi si maskulin. Tubuh perempuan yang dipandang dengan tertib sebagai tubuh yang kotor dan najis jauh berbeda dengan si maskulin yang mudah suci. Meski memang telah di maklumkan, tubuh memang bukan hanya sekedar individual, tapi ia adalah tubuh sosial yang harus tunduk terhadap norma agama dan pandangan moral yang di tentukan oleh lingkungan norma.
Maka pada saat itu jurus-jurus feminisme menantang. Tapi teks Upanisad bernyanyi dengan suara yang indah. Bahwa Tubuh perempuan berhak mendapatkan kesetaraan secara sosial dan individu. Ada angin segar dari timur yang membelai hati Kartini.
Menurut teks Upanisad, secara Individual. Tubuh perempuan berhak mendapatkan kenikmatan yang di pandang sebagai sesuatu yang sakral. Bila selama ini tubuh perempuan hanya dipandang sebagai profan kupu-kupu malam, sebagai alat pemuas nafsu belaka maka itu harus di kelirukan. Tubuh perempuan adalah sesuatu yang sakral. Tubuh perempuan adalah altar suci. Dimana Martin Buber mendaku saat aku berelasi dengan tubuh perempuan. Maka pada saat itu aku menghadirkan “Engkau” di sana.
Dari sudut semesta Hindu, tubuh perempuan menempati kedudukan yang di agungkan. Brahman yang berarti menyebar, mengisi dan ada di mana bersatu dengan Atman (jiwa, soul). Pada tubuh perempuan ada penyatuan antara Brahman dan Atman menjadi “Engkau”. Jika terjadi relasi dengan tubuh perempuan ada kemenjelmaan dewata di sana. Atau liberal menikung, siapa yang bersatu dengan tubuh perempuan maka ia bersatu dengan Tuhan.
Maka berhentilah memandang tubuh perempuan secara Profan hanya untuk memuaskan nafsu, atau tetap beku menjadikan tubuh perempuan sebagai penyebab dosa. Hingga terkurunglah tubuh perempuan dalam pemahaman ortodoksi agama. Tapi menyelamlah dalam-dalam ke alam mikrokosmos adi-spiritual yang sakral di balik ke estetikaan tubuh perempuan. Tapi bijak pula di nilai, jika tubuh perempuan secara ekstensi terlalu indah untuk di umbar-umbar. Lebih baik ia terlindung sampai ada yang tersadar membuka pelindung itu dan menyaksikan “Engkau” di balik tubuh perempuan.
“Engkau” juga harus di masukkan di horizon mafhum yang hampir menyentuh ketidak terbatasan. Bahwa “Engkau” tidak hanya yang “ Maha Maskulin” tapi “tubuh-MU” juga bersemayam “ tubuh perempuan”. Engkau juga punya sifat yang “ Maha Feminim” ada yang “rahim” dan “rahman”, yang maha pengasih dan maha penyayang. Di balik tubuh perempuan itu, tertanam dengan subur sifatmu yang maha pengasih dan maha penyayang. Tak ada selain tubuh perempuan yang bisa mengerti dengan baik bagaimana menyayangi dan mengasihi sesuatu.
Untuk menuju moksha, untuk dapat merasakan angin dao, atau menyingkap selubung hijab dengan “Engkau”. Nafas –nafas maha kasih dan maha sayang lah yang menjadi tujuan penyelaman kelautan ontologi yang dalam. Sentuhan sentuhan feminitas “Engkau” adalah arche bagi tumbuhnya akar kama, pem-baqa-an kebencian, penyatuan Ying-dan Yang dan mahabbah yang memenuhi relung rasa. Tuhan yang maha perempuan itu bersemayam di balik Tubuh perempuan.
Maka siapa yang melihat tubuh perempuan dengan indranya yang batin. Maka ia akan tercelup pada semesta arsy yang hening. Siapa yang tersingkap pahamnya mengenai tubuh perempuan yang sakral maka ia akan tahu segalanya. Terpujilah paras perempuan, termuliakanlah tubuh perempuan. Selama ia pun tetap melindungi keperempuanannya maka ia pun melindungi Engkau yang maha Indah.
Kunyatakan cintaku terhadap perempuanku. Karena ada “Engkau” di balik tubuh perempuan.
* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin Makassar