Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

“Das Kapital”, Sebuah Buku yang Mengubah Dunia

×

“Das Kapital”, Sebuah Buku yang Mengubah Dunia

Share this article

das-kapital
Oleh: Fauzan A. Sandiah*

Simon Roberts, salah seorang ahli dari Bonhams pada acara lelang Das Kapital beberapa bulan lalu mengatakan “ini adalah salinan memukau dari sebuah buku yang mengubah dunia”. Roberts tengah mengomentari hasil akhir dari proses pelelangan salah-satu edisi pertama Das Kapital berisi tanda-tangan Marx yang terjual dengan harga £ 218.500. Das Kapital edisi cetakan pertama ini diberikan oleh Marx untuk Johan Eccarius, sahabat dekatnya. Tapi bukan soal betapa tingginya harga Das Kapital antik itu plus tandatangan Marx, melainkan bagaimana daya buku ini telah memberi beberapa inspirasi penting bagi para pembacanya. Tulisan ini dibuat bertepatan dengan peringatan 14 September 1867, di mana Das Kapital pertama kali diterbitkan, sebagai peringatan kelahiran buku yang mengubah dunia. Buku Das Kapital versi Inggris judulnya ditulis Capital, versi Jerman Das Kapital, sedangkan Indonesia ditulis Kapital. Dalam tulisan ini digunakan penyebutan versi Jerman; Das Kapital.

Mahakarya yang Tersiksa
Das Kapital adalah salah-satu mahakarya raksasa yang tersiksa, tulis Francis Wheen dalam Sebuah Buku Yang Mengubah Dunia. Wheen menggambarkan dengan sangat jeli proses-proses di balik penulisan Das Kapital. Sejak awal Wheen sudah menampakkan watak perfeksionis Marx, dan inilah salah-satu alasan mengapa sebelum menulis buku Das Kapital yang kita kenali sekarang, nyaris ada bertumpuk-tumpuk manuskrip lainnya (menurut Rosdolsky ada 14 rancangan susunan, sedangkan menurut Dussel ada 19 rancangan susunan). Versi-versi awal Das Kapital mengalami beberapa suntingan, yakni pada tahun 1867, 1873, 1875, 1883, hingga yang disunting oleh Engels pada tahun 1890. Versi terakhir inilah yang kita kenal sekarang sebagai Das Kapital.

Pesona Das Kapital nyaris tak terhindarkan sama seperti Marx dan Marxisme itu sendiri, bersamaan dengan itu pula nyaris tak ada yang benar-benar berhasil meruntuhkan ketiganya. Alasannya sederhana. Pertama, Das Kapital, Marx, dan Marxisme adalah sebuah produk kompleks sejarah yang tak terhindarkan. Alih-alih menafikan ketiganya, manusia masa kini justru kian terdesak dan membutuhkan seperangkat teori penjelas realitas, lengkap dengan metode berpikir yang ampuh mengatasi kejatuhan manusia modern. Belum lama ini (dan memang selalu terjadi) pembahasan mengenai globalisasi, demokrasi liberal, dan kapitalisme selalu menampakkan bahwa Marx belum usang. Kritik terhadap Das Kapital (sekalipun memang benar-benar penting, tidak dapat meruntuhkan keseluruhan bangunan teorinya). Tak peduli apakah sosialisme kalah terhadap kapitalisme, Marxisme tetap jadi acuan mujarab.

Kedua, Marxisme adalah sebuah pandangan yang penuh dinamika, terus dibangun di atas otokritik-otokritik penting. Mulai dari sumbangsih kelompok post-Marxist dengan teori antogonisme untuk mengatasi kecenderungan teori determinisme-ekonomi mahzab Frankfurt, atau kelompok Marxis di Inggris yang terjun bebas ke nasionalisme sebagai asal-usul daya-gerak politik modern, yang sesungguhnya asing dan ganjil dalam diskursus Marxisme, hingga para antropolog Marxis yang membahas kembali persoalan kelas di kota-kota menengah negara berkembang. Nyaris setiap kritik eksternal telah dibahas dan terus menghasilkan kelompok epistemik Marxis dengan varian beragam. Maka sangat aneh jika beberapa orang menganggap Marxisme telah usai bersamaan dengan berbagai kritik eksternal yang tak bisa dijawab secara langsung dalam karangan-karangan Marx, termasuk Das Kapital. Kritik-kritik tersebut sebenarnya tidak dapat menggambarkan perkembangan Marxisme lebih baik daripada apa yang telah dicapai oleh pemikir Marxis melalui diskursus merespon kritik maupun karena daya otokritik yang memang sudah menjadi tradisi. Di Indonesia saja pasca 10 tahun pasca masa transisi demokrasi telah terjadi pembalikan arah dari kecenderungan pemikiran filsafat post-modernisme menjadi Marxisme yang disandarkan pada teks-teks kunci secara langsung.

Ketiga, ramalan kontradiksi kapitalisme oleh Marx dalam Das Kapital sesungguhnya bukan persoalan apakah “usang” atau “relevan”. Tetapi terletak pada kenyataan keseharian yang kini tidak saja menjadi bahan pembicaraan pengambil kebijakan. Masyarakat di negara-negara berkembang mulai mempertanyakan janji-janji kebebasan yang ditawarkan oleh era industri. Jaminan kesehatan, pendidikan, akses hak politik, jaminan perlakuan setara, dan lain sebagainya menjadi demikian penting ketimbang angka-angka yang menunjukkan perbaikan ekonomi.

Intinya orang tidak memperdulikan apakah PDB negara tengah naik atau tidak, melainkan apakah dirinya tak akan tergusur dari tempat tinggal, apakah asuransi kesehatan akan berfungsi, ataukah biaya pendidikan dasar hingga perguruan tinggi tak semakin mencekik. Dalam persoalan-persoalan demikian, tak ada satu orang pun yang peduli seberapa banyak industri menghasilkan komoditas ekspor yang berguna bagi pendapatan negara, yang mereka pikirkan apakah hak hidup dasariahnya bisa tercukupi atau tidak. Maka tak ada debat yang benar-benar berguna tentang Das Kapital itu “usang” atau “relevan”, kenyataan hidup sehari-hari telah mendorong sebagian besar orang untuk melihat kembali cara dunia hari ini bekerja, dan tidak ada karya lain kecuali Das Kapital. Hal ini jelas telah menunjukkan bawah kita benar-benar tidak bisa meninggalkan Marx, kecuali kita ingin berlindung di balik fatamorgana teori-teori dan asumsi.

Buku yang Mengubah Dunia
Sebagaimana Marxisme, buku Das Kapital memang bukan satu-satunya inspirasi tunggal untuk memahami kejadian hari ini. Kendati demikian, harus diakui hanya ada sedikit karya tulis yang dihasilkan untuk memahami kompleksitas sejarah manusia. Dalam pembukaan Das Kapital jilid pertama, Marx membahas mengenai naluri dasariah yang menjelaskan mengapa manusia terdorong untuk menjadikan komoditas sebagai kepemilikan pribadi (private property) dan menjelaskan posisi teoritisnya di antara Smith dan Ricardo (termasuk Proudhon).

Dalam Das Kapital jilid I, Marx telah beranjak melewati Smith dan Ricardo untuk menjelaskan totalitas proses perekonomian kapitalis yang diturunkan dari pembuktian atas nilai lebih. Marx berhasil menggambarkan proses siklus produksi kapitalis dari skema reproduksi yang diperluas (expanded reproduction), sedangkan Smith dan Ricardo hanya mampu menjelaskannya melalui skema reproduksi sederhana (simple reproduction) atau yang lazim dikenal sebagai ekonomi subsistensi, di mana akumulasi kapital tidak terjadi. Marx berhasil menjelaskan mengapa secara niscaya seseorang mau menjadi kapitalis di dalam skema reproduksi yang diperluas, dan mustahil di dalam ekonomi subsistensi. Temuan Marx mengenai cara kerja kapitalisme inilah yang mendorong sejumlah teori yang memperlihatkan bahwa kelas pekerja selamanya selalu dieksploitasi, dan mustahil menjalankan peran sebagai investor pada waktu yang bersamaan.

Analisa kritis terhadap kapitalisme berhutang banyak pada Marx lewat Das Kapital. Termasuk untuk menyadari secara konkret bagaimana proses terjadinya sejumlah kejadian tak terduga dari totalitas ekonomi produksi kapitalis. Persis dalam bagian ini Marx meninggalkan catatan bahwa seorang kapitalis setelah menjalankan eksplotasi melalui skema reproduksi diperluas dan pengambilan nilai-lebih, juga menjalankan apa yang disebut sebagai sentralisasi kapital. Apa yang terjadi misalnya dalam krisis keuangan global tahun 2008 menunjukkan salah-satu implikasi besar dari luruhnya teori nilai-kerja berhadapan dengan skema moneter yang khas dalam totalitas ekonomi kapitalis.

Orang-orang kehilangan tempat tinggal, lahan pekerjaan, bukan karena persoalan kapital konstan (sarana produksi tidak mampu bekerja) atau kapital variabel (tenaga kerja tiba-tiba tak produktif) melainkan karena institusi sentralisasi kapital yang mereprensentasikan siasat akumulasi kapital dalam sistem kapitalis. Jadi kita bisa menjelaskan Big Short tahun 2008 itu dengan satu rumusan yang objektif, dapat dipegang sebagai pedoman antisipasi, dan tanpa alasan lagi bahwa itu hanya muncul sebagai bagian dari tak-terprediksikannya ekonomi kapitalis.

Das Kapital membantu kita memahami hal-hal yang sangat praktis bahwa perekonomian nasional membaik atau memburuk tidak ada hubungannya dengan kemalasan atau rajinnya seseorang. Juga menunjukkan bahwa tidak ada yang salah dengan penuntutan kenaikan upah, yang juga berarti tidak ada dalih rasional untuk menolaknya, karena laba komoditas sepenuhnya merupakan representasi dari 100 hingga 200% nilai eksploitasi tenaga kerja. Termasuk juga memahami secara praktis mengapa anak-anak muda peminat entrepreneruship punya teori dan hasrat tak logis semacam “membuat uang bekerja untuk mereka” atau menjadi “pensiunan mapan” sejak dini.

Membahas mengenai pembuktian nilai-lebih dalam Das Kapital memang selalu menjadi topik untuk menunjukkan pentingnya karya ini. Meskipun demikian, letak utamanya karya ini juga sebenarnya terletak pada cara Marx sendiri “bekerja” untuk menjelaskan totalitas ekonomi, atau totalitas realitas. Oleh karena itu daya-ubah Das Kapital terhadap dunia justru pada warisan cara Marx memikirkan, menjelaskan, dan menggagas transformasi dunia. Jadi tidak melulu tentang “apa” yang telah dihasilkan oleh Marx dalam Das Kapital, melainkan “bagaimana” caranya Marx bisa sampai pada kesimpulan demikian. Sehingga para pembacanya tidak hanya didorong untuk “membeo” apa saja yang disampaikan Marx mulai dari titik hingga koma, tetapi berpikir ulang secara kritis tentang apa yang tengah terjadi hari ini, persis seperti yang dialami oleh Marx pada masa itu. Terlepas dari segala kepelikannya, kita bisa belajar dari cara-cara Marx memikirkan ulang realitas. Sebuah buku yang mengubah dunia.

*Penulis adalah pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan pegiat di Komunitas Rumah Baca.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI