Oleh : Andi Hendra Dimansa
Kehidupan politik di negeri yang acap kali mempertontonkan otot sebagaimana lakon anggota DPR di senayan yang berjuluk wakil rakyat yang terhormat. Sehingga tidaklah mengheran apabila kita mendapatkan kejutan-kejutan dari para wakil rakyat berupa keributan fisik, bukannya menampilkan gagasan-gagasan brilian untuk mengatasi kemiskinan yang menimpa negeri ini. Bukan hanya kelakuan para aktor politik di senayan yang menyajikan pertunjukan, parpol sebagai rahim yang melahirkan anggota dewan yang terhormat juga tak mau kalah untuk menunjukkan kebolehannya dalam hal adu fisik.
Diawal-awal pemerintahan Jokowi-JK beberapa parpol terbelah menjadi dua kubu, sehingga kita juga menyaksikan adanya munas-munas tandingan dan semua kejadian-kejadian politik tersebut begitu vulgar tersaji di muka publik. Adanya pertentangan dalam tubuh parpol sejatinya sesuatu hal yang wajar, karena itu menjadi dinamika yang akan membesarkan partai apabila diolah secara proporsional. Tetapi, yang menjadi masalah menimbulkan perpecahan yang berkepanjangan dan menjadi sebuah preseden yang buruk di mata rakyat.
Kontekstasi fisik yang dipertontonkan elit politik dalam mengelola dinamika kekuasaan yang justru jauh dari akal sehat, seolah membenarkan bahwa politik ataupun parpol dipegang oleh tangan-tangan berduit yang lambat laun mengarah kepada oligarki. Sehingga secara perlahan-lahan politik (kepemimpinan) menjadi kabur dan sementara parpol lama-kelamaan hanya menjadi seonggokan sistem manajemen belaka. Hal, tersebut menjadi masalah yang serius bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, karena apalah jadinya ketika parpol hanyalah melahirkan politisi yang gersang gagasan namun subur dalam hal kekuatan fisik.
Tentu melihat realita politik yang terjadi semestinya mendorong semua elemen masyarakat baik rakyat maupun parpol untuk memikirkan hal tersebut, sepatutnya setelah negara ini mengalami berbagai masa kepemimpinan melahirkan suatu sistem berpolitik yang semakin matang dan berkualitas. Disetiap ajang pemilihan yang terselenggara di negeri ini, baik pilbup/pilwakot, pilgub dan pilpres serta pileg dalam kurung itu pulalah yang tersaji begitu vulgar adalah hegemoni uang. Sehingga pesta demokrasi melahirkan produk politisi bermodalkan uang, bukan berarti menolak politisi yang memiliki uang diatas kebanyakan orang. Sebab setiap warga negara memiliki hak politik memilih dan dipilih, tetapi itu bukan menjadi alat untuk membeli kekuasaan. Sehingga dengan model demokrasi yang semacam itu, pada dasarnya tidak mencerminkan representasi keterwakilan semua elemen masyarakat. Dampak yang ditimbulkan dari gaya berdemokrasi semacam itu menghasilkan kebijakan publik yang hanya menguntungkan golongan tertentu.
Kondisi negeri ini yang mengalami kesenjangan berbagai sektor baik ekonomi, hukum dan politik yang terjadi, seolah membenarkan bahwa orang-orang yang berkuasa hanya mementingkan golongannya saja. Untuk mengurai permasalahan besar yang menimpa negeri ini dalam hal pengelolaan kekuasaan yang hanya menghasilkan hegemoni sepihak dan menimbulkan kesenjangan. Pada titik itulah pemikiran hegemoni Antonio Gramsci mendapatkan celah-celah untuk memancarkan berkas-berkas cahayanya. Antonio Gramsci menggunakan kata direzione (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan egemonia (hegemoni) dan berlawanan dengan dominasi, sehingga bagi Antonio Gramsci hegemoni bukan berarti alat untuk melakukan dominasi dan hal ini mengisyaratkan adanya konsensus yang terjalin dengan semua elemen masyarakat yang ada. Dengan demikian hegemoni yang terjadi mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial yang lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologi. Mungkin hal tersebut menjadi kontras dan belum terwujud di negeri ini, sehingga seorang politisi yang berasal dari kalangan tertentu menjadi representasi dari semua golongan sosial yang ada. Hal, tersebut begitu lumrah kita jumpai disetiap ajang pesta demokrasi lewat baliho-baliho para calon yang mempertontonkan dari mana sang calon berasal, seperti kalangan agamawan dengan memasang tagline pesan-pesan keagamaan dan akibatnya masyarakat disuguhkan tagline-tagline yang pada dasarnya merepresentasikan golongan tertentu. Yang menjadi penanda bahwa demokrasi yang tersaji selama ini, pada dasarnya tidak menyuguhkan representasi dari semua elemen sosial yang ada.
Dengan suguhan realita politik di negeri ini, yang hanya melahirkan politik dominasi kalangan tertentu membuat begitu rentanya negeri ini ditempa isu-isu perpecahan. Sebab tidak terkonsolidasinya elemen-elemen sosial, sehingga konsensus-konsensus tidak terjadi sebagai jembatan untuk membangun aliansi dengan semua elemen sosial. Untuk menjalankan kekuasaan atau politik hegemoni membangun hubungan kepada semua elemen sosial yang melahirkan aliansi. Sehingga dengan terciptanya aliansi itu akan melahirkan konsensus bersama. Mungkin persoalan konsensus inilah yang belum menemukan modelnya di negeri ini, sebab realita bangsa ini yang memiliki kemajemukan yang luar biasa dan masih belum menemukan formulasi yang tepat untuk mengola elemen sosial yang ada untuk melahirkan sebuah konsensus bersama.
Sebagai sebuah bangsa yang besar tentu negeri ini, telah melewati suatu fase yang begitu panjang hingga akhirnya terbentuklah menjadi sebuah negara yang terbentang begitu luas dengan menghimpun beraneka ragam budaya, suku, agama dan ras. Tentu bukan sebuah pekerjaan yang mudah untuk membangun dan menciptakan hegemoni dari berbagai kekuatan sosial, perlu ada langkah-langkah strategis yang tepat untuk membingkai itu semua.
Masalah terbesar ketika konsep hegemoni dilakukan jangan sampai terjebak menjadi dominasi, sebab secara logis sudah tentu seorang politisi berangkat dari golongan sosial tertentu dan yang perlu untuk dipikirkan lebih jauh bagaimana seorang politisi keluar dari zona golongan sosial yang menjadi asalnya ?, sehingga hubungan seorang politisi dengan semua golongan sosial terjalin dengan baik. Oleh, karena itu kehendak kolektif semua golongan sosial begitu penting untuk senantiasa membangun hubungan aliansi, tetapi walaupun aliansi itu terjalin sikap otonomi tiap golongan sosial begitu penting. Supaya terjadi kontrol sosial ketika seorang penguasa menjalankan roda kekuasaannya.
Sebagai sebuah catatan penting bahwa Antonio Gramsci berpendapat bahwa politik merupakan sebagai aktifitas pokok manusia untuk mengembangkan kapasitas dan potensi dirinya. Sehingga menjadi begitu penting bagi orang-orang yang terjun di dunia politik mesti menempa kapasitas dirinya, sebelum masuk menjadi politisi. Karena, menjadi seorang politisi bukan dilakukan dengan cara instan dalam artian dadakan dan tepat momentumnya lewat pemilu. Dan kurangnya kapasitas seorang politisi yang instan menyebabkan begitu banyaknya politisi mendadak menghuni bui.
*Penulis adalah Peneliti di Profetik Institute