Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Sihir Gawai: Renungan Filosofis-Sufistik Era Digital

×

Sihir Gawai: Renungan Filosofis-Sufistik Era Digital

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, -Hari ini, gawai adalah suatu keniscayaan, sebagai konsekuensi logis atas kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan pesat teknologi digital. Gawai dalam hal ini ponsel pintar, bukan hanya sekadar alat komunikasi biasa, di dalamnya terdapat berbagai perangkat, fitur, dan/atau aplikasi dengan aneka fungsi.

Gawai yang berada dalam genggaman, di dalamnya terdapat aplikasi yang berfungsi sebagai media sosial yang kini telah mereduksi, mengeliminasi atau lebih tepatnya mendisrupsi berbagai media konvensional, terutama media cetak. Selain itu, di dalamnya pun terdapat berbagai aplikasi game online, atau pun media online lainnya yang membuat penggunanya semakin ter-sihir.

Jadi, gawai dengan berbagai kecanggihan perangkat, software, dan/atau aplikasinya bukan hanya menawarkan kemudahan bagi pemilik dan/atau penggunanya, termasuk menjanjikan efektivitas dan efesiensi kerja, tetapi bisa pula membuat penggunanya mengalami kecanduan—yang dalam buku Mujiburrahman, Rektor UIN Antasari Banjarmasain, dan Guru Besar Sosiologi Agama, menyebutnya “Sihir Gawai”.

Dalam buku karya Mujiburrahman, Sihir Gawai: Renungan Filosofisi-Sufistik Era Digital, yang ketebalannya 338 + xiv halaman itu, mengulas banyak contoh kasus sebagai dampak negatif dari Sihir-Gawai. Satu di antaranya, ada seorang mahasiswa berusia 18 tahun terancam gagal kuliah. Mahasiswa itu, menghabiskan 18 jam waktunya setiap hari untuk bermain game online, dan untuk itu, dia mengonsumsi sabu dan metamfetamin. Selain itu, ada pula, karena sudah kecanduan, maka setiap dilarang oleh orang tuanya untuk tidak menggunakan gawai, dia mengamuk.

Mengalami sihir gawai, kecanduan atau mengalami ketertarikan dan keterikatan berlebihan, dan ekstasi yang dalam pandangan Jean Baudrillard sebagaimana dikutip oleh Yasraf Amir Piliang ke dalam bukunya, Dunia yang Dilipat, adalah “kondisi mental dan spiritual di dalam diri setiap orang yang berpusar secara spiral, sampai pada satu titik ia kehilangan setiap makna, dan memancar sebagai pribadi yang hampa”, merupakan sesuatu yang terjadi bukan secara kebetulan. Jika membaca salah satu bagian dari buku Mujiburrahman terkesan sebagai sebuah by. design.

Menurut Reagle dan Eyal (dalam Mujiburrahman), aplikasi medsos [yang dalam pandangan saya, sebagai sesuatu yang urgen dan strategis dalam gawai], “memang didesain agar orang terus-menerus ingin tahu dan terlibat dengan yang sedang hangat. Maka, tidak mengherankan ketika ditemukan hasil riset di Amerika, anak muda berusia 18 sampai 24 tahun mereka langsung membuka ponsel sebagai sesuatu yang dikerjakan/dilakukan segera pada saat terbangun dari tidurnya.

Apa yang diungkap oleh Reagle dan Eyal di atas disebut FOMO (Fear of Missing Out), yakni takut ketinggalan. Mereka ingin segera mengetahui, apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Bagaimana respon temannya, dari status yang telah diunggah, dan termasuk ingin segera memberikan respon untuk menggambarkan seperti apa pandangan dan/atau perasaannya terhadap status temannya melalui media sosial.

Ternyata dan ini yang dahsyat pula, dan sekaligus memperkuat dugaan bahwa semua tercipta bukan sebagai sesuatu yang kebetulan tetapi by. design adalah, dalam membuat berbagai aplikasi canggih dan termasuk yang berbentuk media sosial tersebut, bukan hanya bermodalkan kemampuan dan kecanggihan teknologi, ternyata para pembuatnya pun menerapkan ilmu psikologi dan antropologi untuk mengikat penggunanya. Salah satunya yang diungkapkan secara singkat oleh Mujiburrahman bahwa, aplikasi lebih banyak menyentuh emosi ketimbang nalar, dan ini diduga sebagai embrio kenapa orang bermedsos cenderung emosional dan faksional.

Sihir gawai dengan berbagai bentuk dan dampaknya, tanpa kecuali seperti hoax, post truth, kecenderungan pada perbincangan yang dangkal, kehidupan inersia (malas tabayyun), lahirnya sikap instan, seringkali diperkuat oleh prakondisi atau pun kondisi tertentu. Seperti yang dipertegas oleh Yasraf dari Baudrillard, ternyata kini, kita sudah sampai pada tahap keempat perkembangan nilai dalam kehidupan masyarakat yang disebut dengan fraktal (viral). Dan tahapan ini, membuat kehidupan kehilangan titik referensi, sehingga ada kecenderungan sesuatu yang viral dipandang sebagai kebenaran.

Membaca uraian di atas, dan mencermati kondisi kehidupan sekitar kita, sikap reaktif dan penolakan terhadap gawai maupun terhadap perkembangan teknologi digital, bukanlah solusi terbaik. Kita patut mengambil inspirasi dan pandangan dari Desi Anwar—yang dikutip oleh Mujiburrahman—dalam karyanya Going Offline: Menemukan Jatidiri di Dunia Penuh Distraksi, “Teknologi adalah budak yang dapat diandalkan, tetapi majikan nan keji”.

Jadi, apakah teknologi akan menjadi budak yang bisa diandalkan, dalam arti memberikan manfaat positif dan membantu manusia mewujudkan visi dan misinya, atau menjadi majikan nan keji, dalam arti memperbudak manusia, membuat manusia mengalami ekstasi, sangat tergantung dari personal manusia yang menggunakan atau memanfaatkannya. Minimal, atas dasar kesadaran inilah, sehingga “renungan filosofis-sufistik era digital” sangat dibutuhkan.

Mujiburrahman sangat menyadari betapa pentingnya renungan-renungan filosofis-sufistik (di) era digital. Jika kita mendalami buku karyanya itu, sebagaimana telah kami percakapkan pula beberapa pekan yang lalu, tepatnya pada tanggal 03 Juni 2023 di Kopiriati Cafe, Taman Bermain Anak Pantai Seruni Bantaeng, dalam kemasan kegiatan “Lapak Baca Motor Literasi dan Percakapan Buku Sihir Gawai”, dan saya diamanahi sebagai pemantik, maka kita akan memahami bahwa Mujiburrahman pun telah melakukan satu langkah nyata yang strategis untuk mewujudkan kesadarannya dalam dunia praksis.

Bukunya tersebut, bukan hanya mengurai terkait era digital, gawai, media sosial, baik dampak positif maupun negatifnya, namun sesungguhnya—apatah lagi bukunya memang merupakan kumpulan tulisan—berisi tulisan tentang dinamika kehidupan yang berbasis pada renungan filosofis dan sufistik, dan ini sangat bermanfaat untuk menawarkan satu solusi alternatif di era digital.

Tulisannya pun, sebelum terhimpun dalam satu buku yang menarik dan dahsyat adalah tulisan yang selain terbit di media cetak lokal, Banjarmasin Post, termasuk pula telah terbit secara daring atau online melalui Tribunnews. Dan di Tribunnews inilah, karya-karya tersebut menemukan ruang urgensitasnya untuk menawarkan renungan filosofis-sufistik di era digital.

Meneladani sikap dan langkah praksis Mujiburrahman, saya pun merasakan bahwa tulisan ini, bisa saja memiliki makna yang senada sebagai tulisan yang secara filosofis meskipun tanpa sufistik, bisa menjadi tawaran strategis di era digital. Sepuluh sampai lima tahun terakhir pun, apa yang saya lakukan dengan membuat status facebook, atau menulis di media online, saya berani mengatakan itu kurang lebih sama dengan apa yang menjadi harapan dari Rektor UIN Antasari Banjarmasain, Mujiburrahman.

Tidak kurang dari 250 tulisan yang telah saya produksi dan terbit di media online, itu mengandung renungan filosofis mengenai kehidupan dengan berbagai dinamikanya. Bahkan tidak sedikit pun yang mengandung renungan sufistik. Dengan penuh kesadaran, saya memaksimalkan di media sosial, termasuk di-share/dibagikan secara masif, salah satu niat yang mendasarinya adalah memberikan manfaat bagi sahabat pembaca di media sosiala atau dunia maya.

Tidak berlebihan jika karya-karya saya selama ini, adalah bagian dari rengungan filosofis-sufistik era digital, yang sama dengan karya-karya Guru Besar Sosiologi Agama, dan Rektor UIN Antasari Banjarmasin tersebut. Dan sebagai solusi alternatif dan strategis untuk mengurangi dampak negatif dari sihir gawai.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2023-2028.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply