Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpiniPolitik dan Hukum

Politik : Sengketa Gagasan dan Realita

×

Politik : Sengketa Gagasan dan Realita

Share this article

ilustrasi-mahar-politik

Oleh : Andi Hendra Dimansa*

Kehidupan politik di negeri ini senantiasa menghadirkan kejutan-kejutan yang sangat menarik untuk disimak , bukan karena banyaknya selebritis yang ikut meramaikan pentas politik,  melainkan ketika para politisi menyampaikan orasinya dihadapan rakyat yang senantiasa menimbulkan paradoks tersendiri. Pada saat berkampanye para politisi tak segan menyampaikan bahwa suara rakyat adalah suara tuhan, tetapi pada saat rakyat mempercayakan suara mereka kepada politisi untuk duduk di kursi kekuasaan, nyatanya suara rakyat yang konon suara tuhan itu banyak dikhianati oleh para politisi yang telah lupa dengan janji-janjinya. Bukan hanya itu politik yang sejatinya menjadi alat untuk memperjuangkan hak-hak kaum miskin, orang-orang yang terlantar, menata kehidupan sosial tanpa melakukan diskriminasi yang mengandung suku, agama, ras dan budaya. Tetapi kenyataan yang terjadi politisi sering menyudutkan satu sama lain bukan karena gagasan atau program kerjanya melainkan, karena tendensi suku, agama, ras dan budaya.

Tentu dari berbagai akumulasi akrobatik politik yang terjadi, menimbulkan suatu keresahan tersendiri dan munculnya sikap apatis dari berbagai kalangan membuat politik tercitrakan mementingkan kepentingan sendiri dan membuat kepentingan public menjadi terpinggirkan. Terkadang refleksi dan hening secara intelektual absen dalam proses politik karena libido kuasa/eros politik yang begitu menggebu-gebu, sehingga nalar sering surut ke belakang hanya sebagai alat pembenar._ Seolah membenarkan pernyataan Harold D Lasswell bahwa politik adalah soal siapa yang mendapatkan apa, kapan dan dengan cara bagaimana._ Dengan kondisi seperti itu politik menjadi sangat sarat akan kepentingan segelintir orang, yang membuat kepentingan rakyat menjadi tergadaikan.

Politik yang seharusnya memiliki keberpihakan kepada kalangan banyak menjadi tercedarai dengan kepentingan para elit politik semata, politik yang menjadi harapan melahirkan kebijakan-kebijakan public yang berkeadilan pada semua kalangan menjadi tercerabut dari akar hakikinya. Terjadinya praktik-praktik politik yang sering kali disebut sebagai politik dagang sapi, membuat banyak orang tergiur masuk dalam kancah perpolitikan bukan karena panggilan pengabdian ataupun perjuangan gagasan untuk kepentingan umum, melainkan masuk pada dunia politik hanya untuk mencari keuntungan. Sehingga politik yang sejatinya berangkat dari kematangan nalar untuk memperjuangkan kepentingan umum, tetapi berubah menjadi profesi yang tampak menggiurkan bagi banyak kalangan. Sebab dengan menjadi politisi yang menduduki jabatan tertentu membuat seorang politisi dapat mendagangkan kepentingan untuk meraih profit atau keuntungan. Berpolitik di negeri ini sama dengan menanam saham, sehingga pada saat menduduki jabatan tertentu menjadi mesin untuk mencetak uang, adanya transaksi kepentingan antara politisi (pembuat kebijakan) dengan pelaku bisnis menjadikan politik kehilangan urgensinya.

Terlihat bahwa permasalahan mendasar dari luluh lantaknya perpolitikan di negeri kita ini adalah karena para politisus dan pemimpinnya bukanlah orang-orang yang memiliki arête sebagai negarawan. Mereka mungkin lebih cocok jadi pedang atau selebritis, ketimbang jadi negarawan._ Kehadiran seseorang di dunia politik seharusnya lahir dari kebajikan meminjam pandangan Plato, tetapi yang terjadi seseorang memasuki dunia politik bukan karena kepemilikan pengetahuan melainkan karena kepemilikan materi untuk membiayai kost politik yang sangat mahal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang politisi mesti menyiapkan dana kampanye yang tidak sedikit, sehingga dari kondisi ini membuka peluang masuknya transaksi politik atau perjanjian politik antara politisi dengan orang-orang kaya (kalangan pengusaha/pemilik modal). Dengan demikian tidak jarang seorang politisi tidaklah merdeka dalam mengambil kebijakan, sebab ada orang-orang tertentu (pengusaha/pemilik modal) yang membayang-bayangi tiap keputusan yang diambilnya.

Kehadiran partai politik sebagai lembagah atau wadah yang akan mendidik dan melahirkan politisi sebagai harapan tercapainya cita-cita politik yang lebih baik, namun yang terjadi malah partai politik banyak melahirkan kader-kader yang telah menghuni hotel Prodeo. Hannah Arendt melihat politik sebagai sesuatu yang potensial adalah mulia_, dengan terjadinya berbagai peristiwa politik yang pada akhirnya menjerat para politisi ke dalam kubangan korupsi dan menjadi tahanan KPK, menjadi sebuah pembelajaran tersendiri bahwa politik mestilah dibangun dari kematangan nalar dan kebajikan. Sehingga untuk masuk ke dalam dunia politik seseorang mestilah mengasah kapasitasnya terlebih dahulu, dengan demikian akan mencegah munculnya politisi dadakan maupun politisi bermodalkan pencitraan.

Untuk mewujudkan kehidupan berpolitik yang jauh lebih baik tentu bukan sekedar melahirkan politisi yang memiliki gagasan untuk keadilan bersama, melainkan melakukan pendidikan demokrasi bagi masyarakat. Tentu perubahan bukan hanya sekedar melibatkan kalangan elit tetapi yang lebih penting pula mendidik masyarakat untuk kritis, sebagaimana ungkapan Muhammad Hatta bahwa menegakkan kedaulatan rakyat adalah mendidik rakyat, supaya tahu berpikir, supaya tidak lagi membebek di belakang pemimpin-pemimpin. Supaya keinsyafan rakyat akan hak dan harga diri bertambah kuat dan pengetahuannya tentang hal politik, hukum dan pemerintahan bertambah luas. Dengan memberikan pemahaman kepada rakyat tentang politik diharapkan akan memberikan perubahan, segaligus diharapkan para politisi yang akan menduduki jabatan tertentu menyadari bahwa rakyat cerdas hanya bisa dipimpin oleh politisi yang cerdas pula.

*Penulis adalah pegiat kajian politik di Epicentrum Politica

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD