Oleh: Ermansyah
Apa yang dinyatakan dengan bentuk “perebutan kekuasaan-kepentingan”, “keamanan terganggu berkat kehadirannya”, “degenarasi”, “pembusukan”, “ketidakadilan”, “ujaran kebencian” atau “perang melawan terorisme” merupakan istilah yang fatal dan kosa kata yang bersuara sumbang dari dialektika. Selain itu, kekuatan lain datang bersama dialektika berupa akumulasi modal dan akumulasi kepentingan sesaat. Tetapi, kita terbangun dari tidur panjang, lantas kita tahu kita ada dimana. Kita masih ada di pinggiran yang retak di saat bagian tengah sudah tidak ada lagi dan ia tidak datang kembali pada kita. Dalam mimpi yang netral ini muncul lintasan dimana kita terserap kedalam lintasan yang tidak bergerak linear, tetapi secara terputus-putus, terbolak-balik, dan teracak sedemikian rupa. Kekacaubalauan, keruntuhan dan krisis “bukanlah bentuk dialektika”, tetapi rangkaian titik terjalin, suatu kurva yang terputus di dalam perjalanan sejarah, kemanusiaan, pemikiran yang akhirnya berbalik ke arah kita.
Pemujaan dialektika seiring dengan representasi produksi hasrat atas pemujaan komoditas atau pemujaan tubuh melampaui hubungan logis, ideologis, dan organisatoris sebagai akhir dari perjuangan mahasiswa sekarang. Karena itu, kesenangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) terletak pada proses untuk menentang dialektika Hegelian atau mungkin dialektika Marxian (entahlah “Kiri Baru Lagi”) yang berjalan secara represif. Pembebasan hasrat, sosial, modal dari pola hubungam dialektika eksploitatif justeru membuatnya berkembangbiak sehingga yang terjadi semakin menularkan perlawanan revolusioner dan pikiran radikal. Sintesa perlawanan yang teracak dan tertumpang tindih terutama ditujukan pada ide obyektif dan ide subyektif sebagai hubungan awal dari dialektika. Kini, menyatu dab mencairnya hubungan subyek-obyek (A = B, C = A, B = C), subyek sekaligus obyek atau sebaliknya terjalin kelindang, beracak, bertukar, berganti, berinteraksi satu dengan lainnya. Arus produksi gagasan dan produksi hasrat mampu menentang dialektika selama ada sistem tanda yang dibangun IMM dengan cara pertama memutuskan pikiran dialektis dari hubungan eksploitasi antara Tuan dan Budak, Universal dan Partikuler, Orang Tua dan Anak, Kapitalis dan Buruh, Buruh dan Modal, Kaya dan Miskin, Aparat dan Rakyat, Mahasiswa dan Dosen (Muhammadiyah dan Ortomnya?). Segalanya adalah lintas-dialektika menjadi arus bolak-balik, suatu “sintesa asimetris” atau “hibriditas perbedaan” (kata sederhananya: “serupa tetapi tidak sama”) dalam kehidupan, pemikiran, dan kemanusiaan. Segalanya memproduksi pertukaran yang akan keluar dari dominasi hubungan eksploitasi secara dialektis menjadi “dinamisasi drama perjuangan” melawan bayangannya sendiri, tanpa lawakan dan dorongan apa-apa lagi. Melalui pergerakan yang beracak dan bertukar dengan pikiran radikal IMM, bahwa perjuangan teks-akademik menjadi titik tolak pertentangan internal. Suatu akumulasi modal dan akumulasi produksi adalah akumulasi peristiwa. Rangkaian peristiwa perlawanan yang tersimulasikan melampaui akhir dari produksi perjuangan yang nyata.
Runtuhnya ideologi menandai hilangnya pencerahan, yang ada hanyalah sirkulasi darah kebencian atau balas dendam dan jaringan kekecewaan secara struktural (dari atas ke bawah, dari setia penjuru) atau pertahanan terakhir dari bahaya. Satu contoh, akumulasi kebenaran dari dialektika menghilang dalam kekuatan perjuangan kelasnya. Pada satu sisi, seringkali terjadi arus produksi hasrat lebih kuat dibanding arus produksi modal. Di sisi lain, mesin-modal uang (Negara-Bank, mungkin juga Persyarikatan) yang menciptakan hasrat dan membuat kita tergoda olehnya (modal uang). Tetapi, keadaan akumulasi modal yang mengambang bebaslah yang menyuntikkan dan membius sesuatu pada akumulasi fakta atau akumulasi bukti agar bisa menjadi kedodoran akumulasi kebenaran yang terjadi di dalam peristiwa. Meskipun berbeda identitas dan momentumnya di dalam satu dunia, mahasiswa memiliki kemiripan dengan modal dan pekerja yang berhubungan seperti uang dan komoditas, konsumsi dan tontonan. Jika pekerja dengan disiplin modal, maka mahasiswa (termasuk IMM) semestinya memiliki disiplin kritis-analitis atau disiplin perlawanan intelektual dan sosial. Berlarut-larutnya konflik disiplin bersumber dari disiplin kritis-analitis tertunda dan luntur perjuangan mereka menghadapi godaan pasar modal dan pasar kerja.
Dalam catatan kami sebelumnya (IMM dan Kematian Teori, 2016) dikatakan, bahwa: “Perlawanan IMM datang setelah diskursus teoritis dan praktek diskursus menghadapu bahaya, dimana ia akan bermain dalam permainan yang berbahaya. Ia (IMM) tidak hadir karena adanya tantangan dan tanggapan (Toynbeean). Ia tidak melawan kuasa (negara), membongkar kedok (Foucauldian) dan melucuti permainan topeng”.
IMM sebagai diskursus dan praktek perlawanan (diri sendiri, kritik sosial, budaya, ekonomi-politik, filosofis-ilmiah, hukum, teologi, dan sejarah) ditandai dengan pikiran radikal tanpa dialektika. Dalam kritik atas trilogi IMM (Keagamaan-Kemahasiswaan-
Pada saat ini, fantasi terhadap (fakultas nalar dan hasrat), bukan konflik atau proses dialektika. Ledakan keluar dari perlawanan lebih massal daripada massifikasi, lebih produktif daripada produksi merupakan kesatuan perlawanan mahasiswa yang nyata datang akumulasi hasrat atas perjuangan simbolik dan virtual lebih seruh dibanding bentuk perjuangan kelas yang mereduksi ajaran Karl Marx. Dari perjuangan kelas ke perjuangan massa pekerja revolusioner, dari perjuangan organik ke perjuangan simbolik-progresif mahasiswa melawan pemikiran dan perlawanan itu sendiri. Perjuangan IMM adalah mistifikasi hasrat dan pemikiran non dialektika yang bisa merangsang kekuatan sosial muncul dan bergerak di sekitar kita, tanpa menghilangkan ruang bebas bagi dialektika untuk diuji di dalam setiap peristiwa.
Berkat panggilan sejarah intelektual, mahasiswa (harapan kita pada IMM) atas krisis dan kekacaubalauan menerobos permainan simulasi senyata apapun ia kembali pada peristiwa perlawanan yang dibentuknya seketika. Di sinilah, tampak gagalnya perjuangan kelas sebagai bagian dari logika dialektika karena ia ingin keluar dari peristiwa, berarti ia melawan dirinya, dimana energi-energi dari zaman, dari peristiwa yang tidak terbayangkan telah menelannya lebih dahulu.
Sementara, pseudo-proletarisasi mahasiswa yang hanya terpaku pada penderitaan batinnya daripada pemujaan tubuhnya hanyalah kuburan massa tanda; karena ia bisa dibelokkan dan digoda dari tujuan awal melalui titik tolak perjuangannya yang sama dan agung. Pikiran non-dialektis berarti tidak bergantung pada mekanisme perlawanan, malahan melampauinya dan memalsukan dari luar atas nama dialektika internal. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh oleh IMM adalah bergerak dari “ledakan kedalam” ke “ledakan keluar” melalui hasrat dan pikiran, dan lembaga-organisasi yang menubuhinya. Akhirnya, dari “dialektika melawan materialisme” ke “dialektika melawan dialektika”, “obyektivitas ilmiah melawan obyektivitas ilmiah”. Penafsiran tentang logika atau tubuh modal dan sosial terjatuh kedalam materialisme dialektika Marx yang sungguh memikat telah banyak menelan korban ilmiah hanya dari orang-orang yang tidak mampu mendaur-ulang secara revolusioner hasratnya d
an melakukan re-kritisasi atas filosofis atau ilmiah.(*)