Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipMuhammadiyahNasionalOpiniPolitik dan Hukum

Masih Perlukah Etika Pancasila Saat Ini ?

×

Masih Perlukah Etika Pancasila Saat Ini ?

Share this article

images-4

Oleh :
Dr Yustin Paisal, ST, MT (Daeng Isa)

Empat kali saya pernah bertemu dengan Mas Amin Rais. Pertama di ITB tahun 2012 jika kami tidak salah di Bandung. Saat itu beliau sementara membahas tentang persoalan Energi. Yang kedua ketika acara perhelatan akbar, tanwir Muhammadiyah di Gedung Perjuangan, Konferensi Asia Afrika tahun 2014. Yang ketiga ketika di Gedung PGRI Garut pada tahun 2015. Dan yang kelima, juga tanpa rencana semula, di gedung Darul Arqam Muhammadiyah Garut.
Diantara seminar yang saya ikuti itu, maka ketika beliau memberi pengarahan politik untuk mendukung Prabowo salah satu kandidat presiden R.I. sebagai rival dari Jokowi. Saya ingat, saya mengajukan pernyataan dan meminta beliau memberi uraian spesifik. Bahwa Pancasila hari ini dalam pemahaman sebagian rakyat Indonesia hanyalah sebuah rangka burung garuda yang sudah tidak “bernyawa lagi”. Pancasila hanya sebuah pajangan di dinding – dinding kantor. Entah dipasang di ruang kantor sekolah, perguruan tinggi, tempat-tempat pelatihan khusus, perusahaan, dan hingga gedung kantor pemerintah, RW hingga kantor Bupati, Gubernur, dan Presiden sekalipun.

 
Yang unik dari tanggapan beliau, akhirnya Suara Muhammadiyah menerbitkan edisi dengan panjangan cover depan berupa perisai pancasila yang terdiri dari simbol lima sila tersebut. Dan menariknya, dalam edisi tersebut jika tidak salah tahun 2014 juga, sebulan setelah bertemu dengan Mas Amin Rais di gedung PGRI Garut, Jawa Barat, diuraikan sejarah penyusunan Draft Pancasila. Disitu dibahas tatkala Ki Bagus Hadikusumo yang waktu itu adalah ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dimintai pendapat oleh Presiden Soekarno , sebab tokoh kristiani Maramis tidak sepakat dengan kata-kata “kewajiban menjalankan syariat bagi pemeluk-pemeluknya” – karena berbau dominan ke versi agama tertentu sementara ruh Pancasila adalah menggandeng semua anak bangsa dari berbagai ras dan agama di Nusantara ini.

Pada akhirnya kalimat itu disederhanakan menjadi apa yang sekarang termaktub dalam sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kata Ki Bagus Hadikusumo kala itu, bahwa kata ini sudah menyelamatkan bangsa kita dari perpecahan massal dan di sisi lain menjauhkan kita dari pengertian yang keliru dalam hal kemusyrikan. Itu beberapa penjelasan singkat yang dapat saya tangkap dari penjelasan penulis.

 
Apa maksud saya dengan ini? Paragraf ini dan setelahnya adalah untuk mengingatkan diri saya dan keluarga saya serta para mantan pemimpin dan para pemimpin bangsa dan negara kita serta yang akan memimpin bangsa dan negara kita serta siapapun orangnya! Bahwa, etika Pancasila dan Pancasila itu sendiri secara esensial telah lahir oleh pengetahuan holistik para pemimpin bangsa dan negara ini terdahulu sebagai buah tafsir dari ajaran keagamaan masing-masing yang mencakup pengetahuan akan ayat-ayat kauni-Nya dan pengetahun tentang ayat-ayat Qauli-Nya, sehingga boleh jadi kita selalu terbimbing untuk mengenal ajaran Tuhan dan nasehat orang-orang suci!

Pancasila bukanlah tanpa dasar filosofis yang kokoh. Namun bagi penulis Pancasila itu sendiri adalah karya Filsafat rakyat Indonesia yang Tuhan telah takdirkan dapat menghimpun segenap anak bangsa ini dari Sabang sampai Merauke sejak sumpah pemuda bahkan abad-abad sebelumnya, termasuk sumpah palapa dari Gajah Mada yang sekarang menjadi simbol Universitas Gajah Mada! Barangkali dibalik penjajahan bangsa kita selama lebih dari tiga setengah abad berbuah semangat pencerahan akan rasa kebersamaan dalam perjuangan kemerdekaan dan kiranya dalam semangat pembangunan bangsa secara hakiki menuju ridho Ilahi.

 
Oleh karena itu, apakah kita tidak bersyukur? Sementara, beberapa bangsa-bangsa hari ini saling bertikai (baca: contoh pertikaian sunni-syiah dibelahan negara timur tengah dan ISIS) dan kehilangan esensi jati dirinya sebagai entitas dari makhluk Tuhan yang sejatinya sebagai khalifah atau pemelihara perdamaian dunia ini akibat falsafah kebencian etnis, agama, yang melenceng dari ajaran suci dari Ilahi dan nasehat Orang-orang suci. Di sini saya mengutip suatu “Nasehat yang keras dan tajam”, sebagai mukhasyafah-Irfani-falsafatik-Ilahiyah, bahwa hendaknya kita jangan berharap akan mendapatkan kebenaran hakiki dari falsafah kebencian, sebab tidak akan pernah mendapatkan kebenaran yang hakiki dari ajaran mengfitnah dan mencela sebagai akar dari falsafah kebencian yang tidak berdasar. Sebab, kebenaran hakiki itu adalah suci baik bagi diri dan bagi ummat!

 
Di sini, apabila kita menyimak dari berbagai pro kontra atas pernyataan segenap para mantan pemimpin dan para pemimpin bangsa dan negara ini adalah pada akhirnya boleh jadi keluar dari esensi dari ajaran kitab suci masing-masing. Sebab landasan berfikir yang dihasilkan yang seyogyanya melahirkan kerukunan dan perdamaian bangsa, malah menimbulkan berbagai tafsir yang sudah kehilangan esensi jati diri sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa! Hendaknya, tidak ada salahnya guna kita berusaha menahan perkataan yang barangkali benar menurut kita, namun sesungguhnya jika kita tafakuri dan tadabburi lebih dalam justru sudah keluar dari wilayah kebenaran haikiki dari prinsip ilhami dan pengetahuan alam sadar kita sebagai manusia yang diciptakan oleh-Nya. Tidak ada salahnya, untuk instropeksi atas pandangan politik dan lintas keagamaan yang barangkali mencederai agama lain tanpa kita sadari walaupun mungkin maksud kita adalah untuk membantu dalam pemahaman kepada saudara kita yang beragama berbeda dengan kita.

 
Harapan yang akan dituju, semoga Tuhan YME tetap menganugerahkan perdamaian dan kedamaian di tengah keragaman suku bangsa dan agama di bumi pertiwi ini selamanya selama kita memegang teguh “semangat sumpah pemuda” yang barusan kita peringati dan esensi Pancasila dan UUD 1945, sebagai falsafah khas bangsa dan negara kita. Bukankah ini sedikit banyaknya relevan dengan ruh kitab suci kita masing-masing? Dan bukankah lebih baik kita bekerja keras guna melestarikan dan membangkitkan salah satu semangat falsafah nenek moyang kita dahulu adalah perjuangan “merdeka” atau “mati terhormat” dalam memperjuangkan kemerdekaan Bangsa dan Negara kita sebagai pemberian dari Yang Maha Perkasa dalam bentuk pendalaman pengetahuan ayat-ayat kauni-Nya dan pengetahuan ayat-ayat Qauli-Nya? Demikian pula, berkarya untuk kesejateraan kemanusian dan lingkungan, menuju kemandirian pengelolaan sumber daya alam yang berlimpah yang mana Tuhan telah titip pada kita!

 
Untuk ini semua, sesungguhnya adalah perjuangan yang paling berat hari ini adalah kembali kepada Ruh Pancasila sebagai View of Life hakiki yang boleh jadi adalah jembatan menuju pemahaman ataupun tafsiran atas kitab suci masing-masing sebagai cara kita bernegara dan berbangsa. Dari ini semua barangkali kita bisa menciptakan kode etik kita dalam segenap dimensi pembangunan yang membutuhkan sinergi ditengah keberagaman suku, agama, dan bangsa. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai hasil karya pemikir dan penyusun filsafat Pancasila sehingga dengannya Tuhan merahmati dan memberkahi kita dengan negara dan bangsa ini?
Wallahu a’lam

*Penulis adalah pemerhati sosial-politik dan direktur Pusat Studi Energi Dan Sumber Daya Alam

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL