Oleh : Saifuddin Al-Mughny*
Untuk men (JADI) memang tak segampang apa yang di impikan, dicitakan, maupun yang diperjuangkan. Konsep “menjadi” adalah sebuah proses epistemologis yang bisa mengarahkan pada nilai, etika, perilaku, budaya, dan pada aspek-aspek kemanusiaan lainnya. Sebab esensi “menjadi” begitu terkait dengan proses gerak atau perubahan satu kelompok atau komunitas (community) tertentu pada aspek tertentu pula. Yah, mungkin ini satu cara proses manusia menuju tingkat kemanusiaan yang hakiki.
Dalam banyak istilah, tentu seringkali kita mendapatkan frase “kearifan” apakah itu yang berdimensi kolektifitas yang diukur dari entitas kelompok, masyarakat atau negara (lebih luas). Kearifan yang digali dari makna kata “arif” yang berarti bijaksana, sehingga secara terminologi kearifan adalah sebuah proses menuju kebijaksanaan (kebajikan) yang berarti baik atau mulia. Mungkin ini juga menjadi serpihan pemikiran Francis Fukuyama tentang politik yang berujung pada ketentraman sosial.
Demokrasi yang terus bergerak walau ditengah “violence”, sedapat mungkin tak ditanggap secara sinis, sebab membangun demokrasi tidaklah mudah, bangsa yang besar seperti Amerika Serikat sebagai pejuang demokrasi dan hak Asasi Manusia (Human Right) pun baru berdemokrasi setelah seratus tahun kemerdekaannya. Demokrasi tidak cukup dibangun dari “kemerdekaan” saja, sekalipun itu menjadi petanda suatu negara berdiri tetapi membangun demokrasi tentu membutuhkan perangkat-perangkat pendukung, seperti kecerdasan berpolitik rakyat (political education), pendidikan, tingkat kesejahteraan masyarakat serta kemajuan sains dan tekhnologi suatu bangsa. Sekali lagi tentu itu tidak mudah.
Ajaran demokrasi kalau ditelaah secara akademik-kritis, maka didalamnya kita akan menemukan nilai-nilai kearifan itu sendiri, sebab demokrasi yang dibangun dari sistem atas nama rakyat secara eksplisit nilai itu termuat didalamnya. Etno-politik yang berbasis etnik adalah cerminan ideologi dan budaya, dan keduanya menjadi konfrehensip dalam tata nilai kebangsaan. Etnik dan budaya kurang lebih 800 tahun yang silam telah tumbuh dan berkembang dilingkungan bangsa Indonesia, peradaban lokal yang dibangun dari kekuatan adat istiadat, pranata sosial, tepo seliro, gotong royong, tanpa pamrih, cinta dan kasih sayang (soft power) cukup mewarnai gerak dan laku entitas menuju satu kesamaan yang disebut bangsa.
Kearifan lokal (local wisdom), tentu bukan hal yang baru dalam berkebangsaan, sebab suku bangsa-suku bangsa terdahulu telah melakoninya dalam pergumulan budayanya. Kearifan lokal telahl menandai sebuah proses kebangsaan menuju keadaban budaya. Kemajemukan atas etno budaya melekat pada diri individu dan kelompok di dalam entitas tertentu sebagai cerminan budaya setempat. Sehingga begitu demokrasi masuk dalam struktur budaya maka dengan enteng untuk di lakoni karena kehidupan masyarakat kita di masa lalu demikian tertib dan santun. Mereka penganut setia terhadap kebudayaan.
Sehingga pada fase perkembangan berikutnya, demokrasi kian digalakkan termasuk dalam frame politik nasional, tetapi tidak kemudian meminggirkan nilai budaya yang sekian lama melekat pada diri individu dan kolektiftas masyarakatnya. Sebab saya pahami bahwa kearifan puncak demokrasi terletak pada keadaban budaya. Ajaran (humanisme) memanusiakan manusia adalah sati bentuk titisan budaya yang ditularkan dalam frase demokrasi, sehingga demokrasi hadir sebagai instrument penting dalam elan politik nasional. Sangat tidak mungkin di pungkiri mengingat budaya dan demokrasi begitu sulit terpisah begitu saja sebab eksistensinya senyawa dalam ruang sosial dan politik.
Kearifan puncak (Mullah Sadra) misalnya, adalah menenpatkan pada ketundukan nilai, ketundukkan pada Ilahi sang pencipta dan penghormatan kepada manusia (annas) lainnya dipermukaan bumi ini. Perwujudan kearifan ini adalah ada pada proses “memanusiakan manusia”, penghargaan, penghormatan, perlakuan, kasih sayang, cinta terhadap lingkungan sesama adalah bukti bahwa manusia itu sedang bergerak menuju tangga keabadian, yaitu puncak-puncak kearifan.
Keteladanan manusia pada manusia lainnya adalah simbol “keteguhan” membangun mentalitas, moralitas, pendidikan dan perlawanan. Ya, tentu mereka yang berada di puncak kearifan itu adalah sejatinya pemimpin tapi bukan pemimpin sejati, transformasi kesalehan individu dan kesalehan sosial cukup memberi arti dan kontribusi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Mahatma Gandhi, Jawahalal Nehru, Mohammad Iqbal, Nelson Mandela, Bunda Theresia, Mohammad Ali, dan sederet nama besar yang berkubang dengan agenda kemanusiaan, mereka itu yang layak menyandang manusia-manusia yang berkearifan puncak, termasuk para ulama-ulama yang terdahulu.
Oleh karena itu, kengerian politik saat sekarang ini telah “memantik” hasrat kemanusiaan untuk merespon dengan berbagai persepsi, mungkin karena kita sedang kehilangan pemimpin yang baik, guru bangsa, guru spritualis, guru kemanusiaan, semua nyaris tak ditemukan, yang ada adalah sosok politisi yang berperang di panggung rakyat. Mereka sesungguhnya tidak terlibat dalam skenario cerita, tetapi ia lebih mendominasi dialog, sang sutradara kehilangan arah, latar, dialog serta panggung pementasan. Yah, kemungkinan naskah teaternya diambil alih oleh pemeran pengganti atau mengganti pemerannya secara mendadak, sebuah kisah film yang menjengkelkan. Tetapi semua itu adalah laku yang tak berpihak pada kearifan.
Dengan demikian, politik dan demokrasi sedapat mungkin harus dibangun dari kerangka kebangsaan yang dilihat secara universal, bukan karena pemilik uang, pemilik massa. Semua patron klien ini harus berhenti di titik kesamaan dan perbedaan di nadi kebangsaan yaitu Indonesia. Sekali lagi bahwa bangsa ini lahir dari rahim keraifan (wisdom), dengan sendirinya pemimpin pun yang dilahirkan tentu harus mampu menjaga “tutur” kata, laku, etika, sebab kalau itu tak teerjaga berarti ia merobek tatanan budaya sebagai perekat sosial, dan penentu terwujudnya kearifan dan peradaban yang transenden. Moga tulisan ini member arti. Wassalam.
*Penulis adalah direktur OGIE Institute Research and Political Development.