Oleh :
Dr.Yustin Paisal, S.T., M.T.
(Direktur Pusat Studi Energi dan SDA)
KHITTAH.co, Allah menciptakan langit dan bumi dan apa diantara keduanya tidaklah dengan kesia-siaan. Sebagian manusia sajalah yang menganggap bumi ini yang terkandung dipermukaannya ataupun didalamnya bagaikan makanan yang siap dimakan kapan saja dan bagaimana saja sesuka hati mereka tanpa peduli kerusakan yang diakibatkannya, disadari atau tidak sama sekali oleh mereka itu! Mereka lupa, bahwa, bumi yang eksis hari ini adalah bumi yang sudah mengalami berbagai proses fisika-kimia-biologi sebagai sesuatu yang dinamis hingga batas waktu tertentu dalam masa lebih dari 500 juta tahun yang lalu.
Apa yang ditemukan di permukaan bumi dan apa yang ditemukan ataupun yang diketahui di bawah permukaan bumi sudah menunjukkan bahwa eksistensi bumi memiliki karakteristik fisik dan metafisik yang tidak dapat dibantah. Hanya orang-orang yang memiliki pemikiran dangkal saja yang memberi definisi yang bertolak belakang dengan eksistensi bumi sebagai bagian dari tatasurya dari berbagai tata surya yang tak berhingga jumlahnya sebagai manifestasi eksistensi Allah!
Bumi ini dikhususkan hanya untuk kemulyaan manusia beriman saja sebagaimana dalam nasehat mukhasyafah-irfani-falsafati-Ilahiyah, “Sebaik-baik orang beriman yang berjalan dipermukaan bumi ini adalah orang-orang beriman yang bisa menafakkri dan mentadabburi ayat-ayat kauni-Nya dan ayat-ayat qauli-Nya, dengan demikian mereka selalu terbimbing oleh perintah Allah dan nasehat orang-orang suci.”
Dalam kitab suci Al-qur’an, surah A’rad (13) : 17, dalam terjemahan versi Depag R.1., bahwa, “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.”
Bahwa, dalam ayat ini Allah mengumpamakan yang benar dan yang batil itu ibarat air dan buih ataupun busa akibat turbulensi permukaan, atau ibarat logam yang mencair pada suhu lebih dari 1000 derajat celcius dan buih yang kemudian menjadi slag ketika pada suhu rendah. Sangat komprehensif perbandingan ini sehingga kesimpulan yang hadir kemudian bahwa sesuatu yang benar akan kekal dan sesuatu yang batil akan lenyap [Q.S. Al-Isra (17) : 77], atau dalam ayat ini sesuatu yang bermanfaat tetap tinggal di bumi dan sesuatu yang tidak bermanfaat akan musnah.
Jadi pada bumi ini ada sesuatu yang tetap eksis dalam masa tertentu dan ada sesuatu yang akan lenyap atau musnah dalam masa yang lebih cepat dari yang pertama. Itulah hukum-hukum kauniyah yang dijelaskan dalam hukum-hukum qauliyah-Nya yang mana manusia dapat mengambil pengetahuan universal tentang bumi ini. Bahwa menjadi suatu realitas-fenomenologi baik dalam paradigma ontologis maupun dalam paradigma epistemologi fisik-metafisik ada fenomena hukum-hukum eksistensi manusia, binatang, tumbuhan, ataupun mikrokosmos-makrokosmos dan mikrobiologi.
Keseluruhannya, bukanlah sesuatu yang eksis dengan sendirinya, sebab hal itu adalah kemustahilan dalam ontologis-epistemologi itu sendiri dalam filsafat Islam. Ada keteraturan hukum-hukum fundamental atas fenomena kauniyah-Nya sehingga manusia dapat mempelajarinya dengan seksama sehingga ditemukanlah berbagai cabang ilmu pengetahuan yang tetap eksis hingga hari ini dan memberi manfaat yang besar bagi kelangsungan hidup umat manusia dan lingkungan di bumi ini!
Demikian pula, apabila fokus atas eksistensi logam dan bakteri, maka sudah dapat dikaji dalam paradigma hipotesis mekanisme polisulfida – thiosulfat [Schipper & Sand, 2001] dan mekanisme sistein kompleks [Chapana & Tributsch, 2001], ataupun menurut temuan kami yang sudah terpublikasi internasional dalam jurnal Hidrometalurgy yakni hipotesis mekanisme besi oksalat hidrat – sodium formiat pada permukaan batubara kaya mineral sulfida-oksida [Paisal, 2015, 2016; Handayani dkk, 2016], bahwa keberadaan logam di permukaan bumi tidak mutlak eksis hanya merupakan akibat proses kimia – fisika saja, namun juga akibat eksistensi kerja bakteri inilah yang fundamental dalam proses kompleks kimia-fisika-biologi sehingga kita dapat menemukan aneka logam dan mineral berharga yang dapat dimanfaatkan dari permukaan bumi ini.
Apabila dicermati lebih dalam, maka kita dapat memanfaatkan bakteri ini dalam dunia pertambangan di Indonesia. Apabila ini dapat terwujud, maka ini menjadi teknologi biohidrometalurgi yang pertama di Indonesia dan menjadi rintisan spesifik bagaimana lingkungan kita dapat dikelola dengan lebih baik sesuai dengan apa yang menjadi harapan kita semua.
Melalui penerapannya dengan penggunaan instalasi sederhana: deretan bioreaktor yang diperlengkapi dengan sistem perpiaan dan motor listrik – pompa untuk membantu suplai nutrisi dan oksigen-nitrogen untuk bakteri logam dan juga peralatan konvensional lainnya seperti proses elekrowinning, peleburan logam, maka logam seperti emas, tembaga, nikel, dll dapat kita rekoveri dari sistem pengolahan ini. Temperatur sistem bioreaktor adalah suhu ruang atau lingkungan sehingga tidak dibutuhkan energi yang sangat besar guna merekoveri logam menjadi logam yang terlarut dan tidak terlarut yang kemudian dipisahkan melalui proses elekrokimia spesifik sebelum dilebur. Fenomena ini merupakan tafsir nyata bagaimana mewujudkan kearifan tata kelola lingkungan di nusantara ini.