Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Tertundanya Utopia Radikal (Bagian 1)

×

Tertundanya Utopia Radikal (Bagian 1)

Share this article

ermansyah

Oleh: Ermansyah R. Hindi

Anggota “Kelompok Pasca-Kiri Baru”/Mantan Kabid. IPTEK DPD IMM Sul-Sel

KHITTAH.CO- Utopia radikal tidak berkaitan dengan perwujudan apa yang ‘tidak mungkin’ dan ‘mungkin’ atau apa yang ‘tidak realistik’ dan ‘realistis. Utopia membawa kita pada dunia yang sama sekali tidak diketahui dimana ia mengambil ‘titik tolak’ dan ‘titik akhir’ karena ia telah menghancurkan keduanya, tanpa jarak dan lintasan, kecuali berada dalam ‘kuasa atas kuasa’ yang dilintasinya. Utopia radikal bukanlah bagian “dasar terdalam” dari sebuah ‘bangunan harapan atau mimpi’ tentang masa depan. Sebaliknya, utopia radikal tidak lebih pembebasan dari belenggu masa depan atau penghancuran mimpi, penolakan terhadap representasi, dan pengingkaran atas kehadiran. Ia muncul dan sekaligus mengungkapkan dirinya apa yang tidak dimaksudkan dari retakan, patahan, dan arus peristiwa yang tidak terbayangkan yang ditumpahkan oleh utopian.

Agresi dan pertahanan dari utopia radikal tidak hanya pernah diperbincangkan, ia tidak hanya pernah diagendakan, tetapi juga penciptaan daur ulang. Orang-orang yang berada dalam kecanduan terhadap retakan dan patahan sejarah, pembengkakan peristiwa, dan pembelokan logika ke arah korban perangkap hasrat terhadap anti-utopia dan memproduksi celah dan endapan serta merta menyeruak dan cair kembali dari mimpi, harapan, dan kenikmatan puncak.

Utopia bukan lagi celah, melainkan daya kreatif dan mawas terhadap ketidaksadaran, retakan, dan patahan. Ia membentangkan arus dan menunjukkan hentakan untuk menghancurkan rezim tanda (karena utopia radikal melawan ‘simbol suci’ sebagai tanda dan penggunaan metamorfosis tubuh untuknya). Ia tidak memiliki prediksi apa-apa; ia tidak menanamkan, menopengi, mengendalikan, dan membelokkan pada sesuatu. Sebaliknya, ia menata dan mendaur ulang bangunan terakhir dari patahan dan retakan peristiwa, membawa dunia mimpi dan fantasi sebagai anugerah.

Utopia radikal bukanlah dialektika atau peristiwa khusus yang dipasrahkan atau tidak dipasrahkan pada titik takdir. Sehingga, ia tidak lagi melibatkan dirinya untuk mengatasi kontradiksi secara dialektis dan tidak hanya melampaui batas-batasnya, kecuali melepaskan kembali tempo pembebasannya yang pernah ia rampungkan.

Utopia radikal tidak lagi bertentangan dengan sesuatu yang melintasi setiap produksi, setiap rasionalitas, setiap irasionalitas yang rasional, setiap mitologi, setiap titik balik, dan setiap lompatan jauh, melainkan membuat jaringan baru dari sel-sel kecerdasan artifisial sekaligus meracuni gen-gen masa depan atau mengeluk-elukan kegamangan yang sepeleh. Sebagaimana yang lainnya (termasuk ideologi), utopia radikal adalah mistifikasi. Demi mistifikasi dari utopia radikal, kehidupan berlangsung sejak seluruh perbincangan tidak ada lagi tema tentang titik akhir: “Akhir Ideologi”, “Akhir Sejarah”, “Akhir Kenikmatan”, “Akhir Produksi”, “Akhir Simulasi”, atau “Akhir dari Subyek-Pencerahan”.

Pada titik ini, mimpi-visi utopia revolusioner akhirnya juga terperangkap kedalam wujud seksual, sosialisme, dan teknologi digital-media massa di bawah tele-media global menempatkan aparatur “pasca-Manusia” (seperti hologram, robotisasi, teknologi nano) menjadi “wujud nyata” yang tidak mampu merefleksikan apa-apa. Tetapi, utopia radikal menjadi ruang untuk semua ditandai “peleburan permanen birahi dan logos”, “persaudaraan sejati antara Proletariat dan Kapitalis, Kepemimpinan Visioner yang Merakyat, atau “peleburan Subyek dan Obyek”. Kini, titik akhir itu terjadi bukan lagi di depan, tetapi di belakang layar yang memproyeksikan ideologi global-konsumerisme setelah menyatunya korban mimpi utopia. Terkoyaknya ideologi pasca-utopia muncul di saat tidak ada lagi harapan-utopia, yang ada hanyalah ilusi dari realitas. Tetapi, utopia radikal bukanlah ideologi dan ilusi dari realitas, tetapi sejenis zat adiktif yang membuat sesuatu lebih kuat dari kehendak dan pilihan. Utopia hasrat muncul bukan lagi sebagai jaringan kehidupan yang mudah diprogram dan dikontrol seperti tubuh, melainkan dilepaskan dan dipilihkan secara bebas pada sesuatu tanpa tahapan, bentuk, dan ruang.

Utopia tidak untuk mengisterahatkan suatu permukaan dan peristiwa, melainkan membujuk dan menghantui. Sementara, setiap relasi produksi gagasan massa kritis dan kritik ideologi kaum intelektual menjadi peristiwa yang tidak dapat dicangkokkan menjadi hibrid seiring jurang antara Kaya dan Miskin. Selanjutnya, utopia kesenangan atau utopia khayalan tidak menjadi mitos karena masih berlangsung kekuatan sistem (hegemoni negara-global: logika hasrat kapitalisme Amerika, kapitalisme Eropa, fantasi pseudo-kapitalisme Abad Naga-Cina). Tanda masa depan tidak lebih dusta sebagai seni untuk ‘membangkaikan figur sejarah baru’ dan ‘memutilasikan kerinduan akan utopia’. Lain lagi, rangkaian visi utopia tentang “Jalan Tengah”, “Jalan Ketiga”, atau “Jalan Kiri”, pasca-Marxisme, pasca-ideologi atau pasca-simulasi, akhirnya menjadi hantu penasaran dari korban-korbannya sendiri. Ia sekarang tidak lagi menjadi rumah masa depan yang menakutkan. Tetapi, keadaan menunjukkan lain, bahwa ia akan bersama dengan para penghuni seakan-akan hidup setelah dipadatkan dan hancur kembali layaknya patung lilin yang menghuni sebuah museum yang sama sekali tidak memiliki kehidupan, kecuali bahasa senyap yang ditunggu kedatangannya di hari itu. (*)

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL