Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH. CO – Sejak kecil, tepatnya ketika duduk di bangku sekolah dasar, saya sering mendengar bahwa murid, siswa atau pelajar adalah harapan bangsa. Seiring perjalanan waktu dalam menjalani kehidupan ini, saya pun akhirnya bertemu secara imajiner dengan John C. Maxwell. Di balik pertemuan itu, saya mendapatkan pandangannya “Masa depan suatu bangsa dan negara tercermin dari sikap dan tindakan generasi mudanya”. Dalam pandangan saya, generasi muda yang sangat strategis posisinya adalah pelajar, tentu termasuk yang dimaknai di sini sebagai siswa.
Dorongan spirit lainnya, disebutkan generasi muda adalah pemegang tongkat estafet kepemimpinan pada masa yang akan datang. Ini pun di dalamnya mengandung harapan mulia, upaya, dan perhatian yang serius dan besar untuk menyiapkan generasi muda yang akan menentukan seperti apa masa depan suatu bangsa dan negara.
Pada bulan Ramadan, tahun ini, saya pun mendapatkan amanah mulia untuk menjadi salah satu narasumber Pesantren Kilat/Ramadhan Mengaji Program Andalan Gubernur Sulawesi Selatan. Kami bertugas di sekolah selama kurang lebih sepekan, dari tanggal 6 sampai 12 Maret 2025. Yang sangat menarik bagi saya dalam kegiatan ini adalah tema yang diusung, “Peningkatan Karakter untuk Mewujudkan Murid yang Rabbani”.
Saya yang memiliki kebiasaan mengeksplorasi dan mengelaborasi berbagai referensi, akhirnya tertarik di kegiatan pesantren kilat tersebut untuk fokus mencapai tema kegiatan. Sebab, tema kegiatan sejatinya adalah kiblat atas segala niat, perhatian, aktivitas, dan tujuan isi materi yang berdinamika dan berdialektika dalam suatu kegiatan tersebut. Meskipun, judul materi yang saya bawakan pada pesantren kilat tersebut tidak sama dengan judul tulisan ini, tetapi muara besarnya adalah bagaimana membangun karakter rabbani siswa dan menarik garis relasi terhadap masa depan bangsa dan negara, dalam hal ini Indonesia.
Meskipun terkadang, saya memiliki pikiran yang “liar”. Namun, saya selalu menjaga apa yang menjadi substansi dan harapan-harapan yang telah digariskan dalam suatu kegiatan. Artinya, meskipun saya memokuskan materi tersebut pada muara yang telah dijelaskan di atas, namun, saya tidak ingin keluar dari materi yang menjadi harapan. Di antaranya, ada materi akidah, ada pendalaman tentang rukun iman, dan rukun Islam. Ada juga materi lain yang dibawakan oleh narasumber lain, seperti tata cara salat, tentang thaharah, dan bagaimana pengelolaan salat jenazah, selain belajar tajwid dengan porsi waktu yang lebih.
Untuk harapan tersebut, dalam kegiatan ini, saya fokus untuk mengupas relevansi manusia, hati suci, rukun iman, rukun Islam, dan komitmen ilahiah yang pada puncaknya melahirkan siswa yang berkarakter rabbani dan selanjutnya kelak berkontribusi positif, produktif, dan konstruktif terhadap masa depan bangsa dan negara Indonesia. Secara algoritmik keseriusan saya untuk mengupas dan mengarahkam materi ini sesuai tema yang seharusnya menjadi kiblat atas segalanya dalam kegiatan ramadhan mengaji tersebut, adalah banyaknya problematika bangsa hari ini yang membutuhkan langkah solutif, meskipun hanya selangkah, setetes pandangan, tetapi kelak diharapkan memberikan dampak positif.
Untuk memenuhi harapan pembentukan karakter siswa yang rabbani tersebut. Hal pertama yang saya jelaskan, bahwa manusia itu dalam al-Qur’an disebut Bani Adam, al-basyar, al-insan, dan an-nas. Yang pertama bermakna, bahwa kita adalah anak cucu Adam. Yang kedua merujuk pada dimensi fisik-biologis manusia, yang ketiga merujuk pada dimensi psikologis-spiritualitas manusia. Sedangkan yang terakhir menunjuk manusia sebagai makhluk sosial. Dari penjelasan ini pun, kita sudah bisa memahami bahwa manusia itu dalam hal ini kita, saya, dan siswa-siswi adalah anak cucu Adam yang berdimensi fisik-biologis, psikologis-spiritual, dan sekaligus sebagai makhluk sosial.
Dalam menjalani kehidupan ini, semua memiliki harapan, impian, atau cita-cita, baik yang bersifat pribadi maupun yang bersifat kolektif. Hanya saja, dalam proses pencapaiannya sering kali tidak melewati jalan tol. Terkadang penuh rintangan. Selain itu, tidak semua yang mencapai harapan, impian, dan cita-citanya itu kemudian menjalankannya dengan benar, baik, dan terutama dalam bingkai rida Allah.
Kita menyaksikan—sebagai salah satu contoh saja—ada di antara kita, impiannya menjadi pejabat negara telah sukses tercapai, tetapi amanah mulia itu tidak dijalankan dengan benar dan baik. Justru terdengar kabar dan terbukti, bahwa dalam posisi atau jabatannya ternyata melakukan pelanggaran berat atau penyimpangan dengan mengorupsi ratusan miliar sampai triliunan uang negara yang menimbulkan kerugian.
Sebenarnya dalam diri manusia telah built-in potensi ilahiah atau fitrah ilahiah, dan ketika dirawat serta dipertahankan, kemudian terus dipancarkan mewarnai sikap dan perilaku dalam mengiringi seluruh perjalanan mengarungi setiap episode kehidupan, maka secara otomatis karakter rabbani dengan sendirinya terbentuk di dalam diri siapa pun. Sebelum ruh ditiupkan dalam janin, kita telah terikat dengan komitmen ilahiah terhadap Allah.
Hanya saja, dalam perjalanan kehidupan duniawi ini, manusia sering lupa tentu faktornya banyak. Apa lagi manusia dalam perspektif al-insan, terkesan dasarnya adalah pelupa karena kata ini berasal dari nasiya yang artinya lupa. Meskipun demikian, sebenarnya, kita sering diingatkan tentang fitrah tersebut, bahkan Allah menegaskan, bahwa kita diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah. Makna fungsionalnya dalam kehidupan duniawi, bahwa apa pun sikap dan perilaku kita, semestinya dalam bingkai rida Allah.
Karakter itu diawali dengan kecendrungan hati, dalam bahasa lain diawali dengan pikiran dan perasaan. Dalam hati sesungguhnya di sanalah pusat komitmen ilahiah tersebut, ibarat perangkat komputer, di dalamnya terdapat chip ilahiah dengan operating system (OS)-nya berisi komitmen ilahiah. Jadi membangun karakter— dalam bahasa agama disebut akhlak—harus dimulai dari hati.
Hanya saja, hati sering kali terbelenggu oleh penyakit hati, di antaranya—kalau kita meminjam pandangan Ary Ginanjar Agustian, yang merumuskan tentang kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan konsep rukun iman, rukun Islam, dan ihsan—prasangka negatif, prinsip hidup yang keliru, kepentingan pribadi dan/atau ego yang mendominasi, pembanding yang salah, pengalaman negatif yang dijadikan referensi, sudut pandang yang sempit, dan literatur yang dangkal dan salah.
Jadi langkah awal untuk membangun karakter, kita harus terlebih dahulu menyucikan hati agar suara-suara ilahiah bisa terdengar jernih kembali. Caranya tentu dengan melakukan langkah sebaliknya dari apa yang telah menjadi belenggu atau penyakit hati. Seperti, yang pertama, prasangka negatif, maka kita pun harus melakukan sebaliknya atau sesuatu yang menjadi antitesa dari belenggu itu. Maka, kita pun harus senantiasa berprasangka positif, baik kepada diri sendiri, orang lain, terutama kepada Allah.
Setelah kita menyucikan hati dari belenggu hati, maka di sinilah peran fungsional dari rukun iman dan rukun Islam harus diaplikasikan dalam konteks kehidupan duniawi. Sebelum saya menjelaskan lebih jauh, saya harus menegaskan terlebih dahulu bahwa hati yang dimaksud di sini bukanlah organ hati dalam makna liver yang berada di rongga perut, tetapi jantung dalam makna heart yang berada di rongga dada. Makanya ketika ada orang yang jatuh cinta atau dalam istilah lain jatuh hati, mereka tidak mengatakan “oh my liver” tetapi “oh my heart”.
Hati yang telah suci dari belenggu hati, harus dilindungi dan dijaga dengan sesuatu yang sangat kokoh. Ternyata pelindungnya adalah rukun Iman. Dalam arti makna derivatif dari rukun iman harus dijadikan basis prinsip dan/atau menjadi prinsip itu sendiri agar belenggu hati tidak mudah menggoyahkan dan menodai suara hati atau suara ilahiah yang terpancar dari hati. Kita telah memahami bersama bahwa prinsip memiliki pengaruh yang kuat terhadap sikap dan tindakan itu sendiri.
Maksud dari makna derivatif rukun iman dan kontekstualisasi nilai rukun iman dalam diri dan kehidupan, itu berarti—sebagai contoh—rukun iman pertama “Iman kepada Allah” itu bukan sebatas percaya bahwa Allah itu ada. Lebih jauh dari itu, segala nilai, kuasa, prinsip dari Allah wajib mewarnai sikap dan tindakan kita. Artinya, jika kita beriman kepada Allah, kemudian salah satunya kita meyakini satu nilai atau prinsip bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan Allah bisa mengambilnya kembali kapan saja, maka sejatinya ketika diri kita kehilangan tentang sesuatu yang kita cintai, jangan membuat hati kita risau atau galau. Keimanan ini harus langsung mengambil alih mekanisme psikologis diri, bahwa itu sudah milik Allah, ruh kita pun yang paling berharga, Allah bisa tarik dari tubuh kita, kapan saja Allah mau.
Contoh lain, iman kepada kitab-kitab. Itu jangan hanya membuat kita percaya bahwa ada beberapa kitab yang wajib diimani. Ada al-Qur’an, injil, zabur, dan taurat. Namun, yang terpenting dari nilai keimanan ini adalah melekatnya semangat belajar yang tinggi dan terus-menerus dari setiap umat Islam. Kitab intinya adalah dipelajari karena berisi pedoman hidup. Apatah lagi dari konteks Islam, ayat pertama yang diturunkan adalah iqra, membaca, belajar, meneliti. Dan ini relevan dengan siswa. Tentunya, melalui tulisan ini, saya tidak bisa uraikan satu persatu dari rukun iman tersebut.
Kita pun perlu memahami bahwa besi baja sekali pun agar tidak berkarat maka harus selalu diasah. Rukun iman tadi yang digunakan melindungi hati, itu ibarat besi baja. Meskipun demikian jika tidak diasah bisa berkarat. Dalam istilah yang lazim, iman itu punya potensi naik-turun atau keluar-masuk. Di sinilah peran fungsional duniawi dari rukun Islam. Rukun Islam dipandang untuk mengasah terus menerus rukun iman tersebut.
Mulai dari dua kalimat syahadat sampai menunaikan ibadah haji bagi yang mampu ini bisa berfungsi mengasah rukun iman agar tidak berkarat sehingga semakin kokoh menjaga hati yang telah suci dari belenggu hati. Penjelasan detail tentang rukun Islam dalam makna derivatif, kontekstual, dan fungsionalitas duniawiah, saya merasa ruang ini tidak cukup untuk membahasnya. Semoga sahabat pembaca sudah bisa memahaminya. Penjelasan detailnya di forum pesantren kilat tersebut tentu juga akan menyesuaikan dengan kecukupan waktu yang tersedia. Namun, pasti minimal ada satu contoh yang tersampaikan.
Dari uraian di atas telah sangat terang relevansi antara manusia, hati, rukun iman, dan rukun Islam. Untuk mencapai puncak karakter rabbani tersebut, maka selanjutnya diikuti oleh tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang agar bisa menjadi kebiasaan. Setelah menjadi kebiasaan maka dipastikan, cepat atau lambat, akan menjadi karakter.
Rukun Islam yang mengandung tindakan dan siklus berulang, mulai dari dua kalimat syahadat, salat, puasa, dan zakat, tentu itu akan menjadi kebiasaan dan berikutnya menjadi karakter. Termasuk pula siklus berulang dari empat rukun Islam ini, di dalamnya bisa dipastikan akan menyentuh semua dimensi dan nilai dari rukun iman. Ibadah haji adalah bentuk totalitas dari rukun Islam pertama sampai rukun Islam keempat.
Setelah menjadi karakter, maka cepat atau lambat akan memengaruhi nasib dan/atau takdir hidup kita. Jika sejak awal kita fokus pada ikrar dan komitmen ilahiah, lalu kemudian menyucikan hati agar terus memancarkan suara ilahiah, dilindungi dengan rukun iman, dan selanjutnya diasah dengan rukun Islam, dipastikan yang terbentuk adalah karakter rabbani. Yaitu sosok manusia, termasuk dalam hal ini siswa, yang saleh, berilmu, segala aktivitasnya berada dalam bingkai rida Allah, dan berorientasi pada kebahagiaan dunia-akhirat.
Selanjutnya karakter rabbani ini dipastikan akan memengaruhi masa depan Indonesia. Pesantren Kilat/Ramadhan Mengaji Program Andalan Gubernur Sulawesi Selatan yang dilaksanakan ini, sesungguhnya adalah bentuk atau upaya membangun karakter yang relevan dengan apa yang disebut dengan ta’lim,ta’dib, dan tarbiyah.Menyentuh seluruh dimensi manusia.
Ingat agama bukan semata-mata jalan menuju surga atau berorientasi akhirat. Agama punya mekanisme untuk mengubah kondisi kehidupan duniawi menjadi lebih baik. Apatah lagi kehidupan duniawi adalah tempat singgah yang sesungguhnya untuk menyiapkan bekal terbaik yang akan dibawa ke akhirat.
Sumber gambar: ahmadiyah.id
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital dan Kebangsaan.