Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Masjid, Perpustakaan, Cafe, dan Jalanan: Refleksi Milad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ke 61

×

Masjid, Perpustakaan, Cafe, dan Jalanan: Refleksi Milad Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ke 61

Share this article

Oleh: Irwan Akib (Mantan Sekretaris Umum DPD IMM Sulsel)

KHITTAH. CO – Pasca reformasi, sebagian aktivitas mahasiswa melupakan dua hal dan fokus pada dua hal. Masjid sebagai basis pergerakan dan basis peradaban mulai ditinggal oleh sebagian aktivis. Begitu pun perpustakaan sebagai dapur ilmu, sumber ilmu seperti sepi dan diganti oleh maraknya cafe, dan ujung pergerakan biasanya hadir di jalanan menyampaikan aspirasi sebagai bagian dari proses demokrasi. Fenomena ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, dan tentu juga memiliki sebab musabab.

Mahasiswa sebagai agen perubahan memiliki tangung jawab untuk menyuarakan aspirasinya, aspirasi rakyat sehingga mendorong mereka untuk tampil di jalanan sebagai bagian dari proses berdemokrasi. Hanya saja, ketika perpustakaan ditinggal, aspirasi yang disuarakan kadang tidak dilandasi oleh kajian yang matang, kurang didukung data yang valid, akibatnya tidak sedikit suara yang disampaikan menjadi hambar, tidak proporsional, emosional, dan kadang berujung terjadinya chaos. Apa lagi, jika pengawalan para demonstran tidak saling menghargai antara demonstran dengan pihak keamanan yang mengawal jalannya demonstrasi.

Penyampaian aspirasi melalui demonstrasi di jalanan, bila tidak dilandasi oleh data yang akurat, pengetahuan yang cukup terhadap masalah yang sedang diperjuangkan, bisa berakibat aspirasi yang disampaikan menjadi bias. Selain itu, penyampiannya bisa saja emosional dengan bahasa yang kurang santun, argumen yang tidak rasional, dan solusi yang diberikan juga mejadi bias.

Cafe dengan segala variasi fasilitasnya menjadi daya tarik tersendiri bagi semua kalangan, bukan saja mahasiswa tetapi hampir semua kalangan dari berbagai profesi, dan berbagai tingkatan generasi. Cafe dijadikan sebagai tempat pertemuan, baik yang sifatnya agak serius maupun sekadar melepas lelah dan berbincang santai, cafe menjadi pilihan yang menyenangkan.

Cafe bagi mahasiswa menjadi tempat nongkrong yang nyaman sekaligus menjadi tempat diskusi dan bersosialisasi yang menyenangkan apa lagi bila dilengkapai dengan fasilitas Wifi, membuat pengunjung khususnya kalangan mahasiswa bisa menghasbiskan waktu untuk berlama-lama di cafe. Hanya saja kunjungan dan kebiasaan ke cafe tetap perlu dilakukan secara proporsional sehingga tidak mengganggu aktivtas perkuliahan dan juga menambah beban biaya.

Maraknya cafe sebagai tempat yang nyaman bagi mahasiswa dan perpustakaan kadang menjadi kosong, demikian juga masjid menjadi sepi perlu menjadi perhatian seirus, namun tidak perlu dijadikan pertentangan, karena ketiganya bisa saja mejadi satu kesatuan yang utuh. Realitas ini perlu diberi solusi agar kenyamanan anak-anak muda khususnya mahasiswa untuk berlama-lama di cafe tidak perlu direspon secara negatif demikian kata Ust. Faturahman Kamal (Ketua Majlis Tablig PPM), tetapi dibutuhkan solusi sehingga masjid tetap menjadi tempat yang nyaman bagi mereka.

Dibutuhkan aksi nyata yang dapat menjadikan masjid menjadi makmur, yang oleh Lembaga Pengembangan Cabang Ranting dan Pembinaan Masjid (LPCR PM)  sering didengungkan masjid makmur memakmurkan dan slogan lain yang cukup menarik dari LPCR PM adalah apa pun masalahnya masjid solusinya. Oleh karena itu, mari memberi sulosi terhadap masalah ini dari Masjid.

Mungkin sebagian dari kita ada yang pernah mengalami trauma di masjid, atau mungkin juga ketika kita mengajak anak cucu ke masjid, pada awalnya mereka senang tetapi pada kemudian hari mereka enggan lagi ke masjid. Pernyataannya kenapa hal ini terjadi? Anak-anak dengan karakternya sebagai anak-anak memang butuh tempat bermain dan bersenda gurau, namun ketika datang ke masjid hal itu mereka tidak temukan.

Bahkan, tidak sedikit takmir masjid menjadi garang kepada anak-anak, mereka dinilai menggangu di masjid, membuat keributan dan berbagai argumen lainnya. Masjid menjadi tempat yang tidak nyaman bagi anak-anak, sedang bagi remaja dengan karakternya yang kreatif tentu butuh tempat untuk menyalurkan kreativitasnya, tetapi hal ini juga kadang mereka tidak temukan di masjid.

Ketidaknyaman anak-anak di masjid dan kurang tertariknya generasi muda ke masjid perlu solusi yang tepat, bijak, dan betul-betul memberi solusi. Slogan LPCR PM, apa pun masalah masjid solusinya, perlu hadir dengan aksi nyata tanpa harus mendikotomikan antara masjid dan cafe demikian kata Faturrahman Kamal. Masjid harus mamahami karakter dan kejiwaan generasi muda, harus dapat memahami kondisi kekinian anak-anak muda sebab bagaimanapun merekalah pada saatnya menjadi bagian penting dalam pengelolaan masjid untuk menjadikan masjid makmur memakmurkan.

Dalam konteks ini, dibutuhkan transformasi pengelolaan masjid dan model masjid yang dapat menampung aspirasi dan keinginan para anak-anak muda tentu termasuk mahasiswa. Masjid, perpusatkaan, cafe, dan jalanan memiliki domain masing-masing yang mungkin saja domain itu bisa dibuat menyatu atau paling tidak beririsan satu sama lain.

Masjid perlu dirancang sedemikian rupa sehingga kenyamanan yang didapatkan di cafe bisa hadir di masjid. Masjid pun harus bisa menampung aspirasi dan kreativitas mahasiswa, dan memberi ruang bagi anak-anak dengan kesenangannya bermain tanpa kita harus merasa terganggu dengan semua itu.

Pada kesempatan dialog yang dilaksanakan LPCR PM yang dihadiri para perwakilan ortom Angaktan Muda Muhammadiyah (AMM),  saya melotarkan suatu pernyataan, bahwa ”Kalau anak muda lebih suka ke cafe daripada ke Masjid, mengapa kita tidak pindahkan cafenya ke masjid. Pernyataan senada dikemukakan oleh Dr. Faturrahman Kamal (ketua Majlis Tabliq PPM) bahwa rooftop atau lantai terbuka yang menjadi atap masjid kompleks markas besar Masjid Tabligh PPM akan dijadikan cafe yang didesain oleh para generasi Z (baca Suara Muhammadiyah edisi 04 tahun ke 110).

Bila cafe dapat dihadirkan di masjid dengan desain yang artistik dan menyenangkan apatah lagi perpustakaan. Sehingga dengan menyatukan masjid, cafe, dan perpustakaan dapat menjadikan masjid menjadi pusat pendidikan dan pusat peradaban. Masjid selain menjadi tempat ibadah mahda, juga menjadi tempat diskusi yang nyaman, dengan hadirnya perpustakaan yang lengkap baik buku-buku dalam bentuk cetak maupun buku-buku atau referensi lain dalam bentuk digital dan diakses secara online.

Dari masjid akan lahir ide-ide cemerlang dalam menyelesaikan masalah yang hadir di tengah umat dan bangsa. Dalam kaitannya dengan demonstran di jalan, para akvitis yang bermarkas di masjid bisa menyuarakan aspirasi berbasis data dengan landasan ilmu dengan teori yang relevan, sehingga suara-suara mereka betul-betul nyaring, berisi dan dilandasi moral akademik serta nilai-nilai akhlak yang baik sehingga kehadiran mereka di jalan sebagai bagian demokrasi menjadi solusi yang tepat.

Melalui tulisan singkat ini, sebagai alumni IMM, saya mengimbau adik-adik para aktivitis IMM untuk menjadikan masjid sebagai pusat pergerakan, pusat peradaban. Di tangan kalian masa depan bangsa dan umat ini. Sebagaimana potongan syair dari mars IMM berikut:

Sejarah ummat telah menuntut bukti

Niat telah diikrarkan

Kitalah cendekiawan berpribadi

Susila Cakap taqwa kepada Tuhan

Perwaris tampuk pimpinan ummat nanti

……………

Siswa teladan, putra harapan

Penyambung hidup generasi

Pendukung cita-cita luhur

Negeri indah aman dan makmur

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply