Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Spiritualitas Ramadan untuk Penguasa

×

Spiritualitas Ramadan untuk Penguasa

Share this article

Oleh: Fathurahman (Ketua IMM FAI Unismuh)

Ramadan dalam tradisi masyarakat Indonesia menjadi momen yang sakral dan mempunyai pemaknaan spiritualitas yang beragam. Spiritualitas Ramadan di Indonesia mempunyai nuansa yang berbeda (different) dengan Ramadan di berbagai belahan dunia lainnya. Pada bulan Ramadan pula, kita dapati semacam peralihan kebiasaan (Habitus Peralihan) individu ataupun kelompok masyarakat.  Mereka yang boleh jadi di luar Ramadan melakukan ritual salat hanya di hari Jum’at saja, namun memasuki Ramadan, rasanya tidaklah afdal jika tidak melaksanakan salat lima waktu, sehari semalam dan memacu diri agar dikerjakan di masjid secara berjama’ah. Kemudian, saat Ramadan sensitivitas sosial mengalami eskalasi sedemikian pesat.

Di luar Ramadan, anggaplah lima ribu rupiah terasa berat untuk menyelami kotak amal masjid, berat untuk membantu mereka yang kesusahan di jalan, tetapi ketika pada bulan Ramadan antusiasme berinfak itu membuncah, sampai sebagian dari kita yang memiliki kemampuan finansial memacu diri agar mengadakan hajatan buka bersama dan mengundang seluruh lapisan masyarakat di lingkungannya. Ini menjadi gambaran dari sekian ekspresi spiritualitas Ramadan yang ada di Indonesia.

Namun, apakah pemaknaan spiritualitas Ramadan yang optimal hanya sekadar ritus peralihan yang sifatnya profan?  yang dalam pengalamannya sifatnya temporer dan semu. Mengapa demikian? Karna seusai Ramadan, tak jarang kita dapati jubah spiritualitas itu berganti menjadi tabir keakuan, dan semua sifat yang melambangkan keangkuhan yang menjauhkan seorang insan dengan tuhannya.

Sebelum jauh, penting kiranya meng-introduce spiritualitas yang kami maksudkan dalam catatan ini. Spiritualitas dalam konotasi beberapa ahli diartikan sebagai pengalaman manusia dalam memahami makna, tujuan, dan moralitas kehidupan. Mengutip Mac Kinday, “Spiritualitas adalah proses memahami pertanyaan tentang makna hidup dan hal yang transenden” lalu, ada apa dengan spiritualitas Ramadan dan relasinya bagi penguasa? Sebentar akan kita coba untuk memaknai itu.

Spiritualitas berakar dari kata spirit (semangat), semangat dalam merawataktualkan nilai Ramadan yang tidaklah elok bila dimaknai pada sisi permukaan saja (eksoteris) tapi memastikan pemaknaannya pada nilai yang lebih esensial (esoteris). Kalau kita coba untuk meng-highlight Ramadan yang kita lalui, apakah penghayatan sebagai insan takwa sudah terpenuhi dengan ibadah yang makasimal (ahsanu amala)? Ataukah kita gagal menangkap pesan spiritualitas Ramadan yang meniscaya menjadi barometer kesuksesan menjalankan Ramadan dan mengantarkan peribadinya menjadi mahluk yang bertakwa.

Memaknai spiritualitas Ramadan dalam makna kesabaran mestinya menjadi refleksi juga bagi penguasa dan para penegak hukum untuk menampik diri dari hasrat berkuasa yang mencelakai dan menimbulkan mudarat semesta.Bayangkan jika polisi yang ditugasi mengayomi dan melindungi malah kita dapati memukul/merepresi sipil tanpa alasan yang jelas dan ketidaksesuaian standard operasional. Banyak kasus, misalnya pencari bekicot yang di pukuli tanpa bukti yang jelas dan akhirnya dipaksa untuk berdamai. Kan malu sendiri, kecuali jika tak lagi punya malu.

Kesabaran kiranya perlu dimaknai oleh politisi untuk merespon kritik dengan elegan dan berwibawa, bukan malah mengumpat dan menyerang balik yang mengkritik. Bahkan, yang terpenting adalah bagaimana respon yang tepat dan fungsional untuk perbaikan taraf hidup rakyat.

Spiritualitas puasa mestinya juga menjadi muhasabah bagi penguasa untuk meredam nafsu, keserakahan, keangkuhan yang sekian lama dipertontonkan di muka publik. Rentetan kasus korupsi yang menghisap kekayaan negara menjadi bukti betapa rusaknya keadaban politik kita.

Budaya adiluhung yang selama ini leluhur kita ajarkan secara cepat luntur dan memudar, berganti dengan individualisme yang didorong berbagai anasir kemapanan dunia. Bagi mereka yang menyelewengkan uang rakyat, flexing dengan pajak yang didapat dari peluh para petani, keringat para nelayan agaknya memosisikan mereka pada tingkat manusia yang mufsidun (perusak) tatanan kehidpan manusia.

Kendati lihai dalam berkamuflase, melakukan kebaikan, membagikan uang, makanan dan kebutuhan lainnya. Berorasi dengan lantang seolah semua dia abdikan untuk bangsa (populis) tapi nyatanya itu tidak mewujud dalam kerja-kerja politiknya. Semoga momentum Ramadan ini menjadi bulan pelatihan bagi setiap elemen masyarakat, utamanya para pemimpin yang di tangan mereka hajat rakyat di pertaruhkan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply