Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Perilaku Politik Menyimpang

×

Perilaku Politik Menyimpang

Share this article


Oleh : Adam Malik*

Seanti-antinya kita, atau apapun ekspresi yang mewakili kekecewaan kita terhadap dinamika politik. Bahkan, ada beberapa kelompok yang memang telah mutlak mengharamkan politik dengan alasan tidak sesuai identitas yang di pahami oleh kelompoknya. Tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa segala kebijakan yang kita nikmati sebenarnya adalah prodak politik.

Di berbagai pemberitaan, media seakan membenarkan sikap pesimis kita terhadap politik. Oknum pejabat terlibat kasus korupsi, saling sikut berebut proyek bahkan konflik antar pengurus partai. Politisi yang terlibat berbagai skandal pribadi yang tentu mencoreng nama baiknya sebagai tokoh publik. Slogan kesolehan yang ditampilkan saat jelang pemilihan berbanding terbalik kala terpilih sebagai pejabat publik.

Citra legislatif pasca reformasi yang semakin menurun, aduh otot di parlemen seakan menunjukkan kepada publik bahwa pejabat lebih mendahulukan logika kekuatan dari pada kekuatan logika. Melahirkan berbagai kebijakan yang cukup mengambil waktu lama sebelum realisasi ke publik, terlebih kemacetan komunikasi sesama elit politik dan konstituen.

Yang tampak saat ini adalah mewabahnya fenomena deprivasi relatif. Di dalam disiplin ilmu psikologi, deprivasi relatif menunjuk pada kesenjangan antara segala yang dimiliki seorang individu dengan segala hal yang oleh individu yang bersangkutan di pandang sebagai haknya. Buktinya, deprivasi relatif ini tidak hanya merujuk di beberapa kalangan masyarakat bawah. Namun, ternyata cenderung menyebar sebagai epidemik di kalangan masyarakat atas.

Para elit politik kita adalah orang yang dalam tindak tanduknya memilki kecenderungan menujukkan gejala deprivasi relatif. Studi kasusnya adalah adanya tren politik uang (money politics), berebut kuasa, kepemilikan barang mewah, hobi jalan-jalan keluar negeri atas nama studi banding dan berbagai bentuk perilaku politik yang tak seharunya dilakukan aktor politik.

Kepentingan pribadi dan kelompoknya rupanya mendapatkan legitimasi dari posisi politisnya di kursi kekuasaan. Sehingga berbagai cara dilakukan untuk memenuhi hal tersebut berupa aksi menerima sogokan, pemaksaan, bahkan kekerasan. Jika melihat fenomena deprivasi relatif adalah mereka yang berada dalam rentang usia senja (50-60 tahunan) yang di tandai dengan adanya keseimbangan psikis. Sebagian besar anggota legislatif berada di rentang usia tersebut.

Kalau merujuk pada pendekatan Neo-Psikoanalisis Erik H. Ericson, maka elit pejabat tersebut berada pada posisi tugas perkembangan psikososial. Selayaknya mereka berada di seputar generativitas (generativity) dan integritas kedirian (ego integrity). Seseorang yang menampilkan perilaku generativitas di wujudkan dalam pengasuhan anak.

Jika ha ini dibawah dalam konteks anggota dewan misalnya, maka sudah sepatutnya para wakil rakyat penyandang tugas generativitas tersebut memilki cakrawala psikologis untuk memperluas perasaaan kasihnya pada masyarakat dalam rangka menumbuhkembangkan generasi berikutnya. Segala tingkah laku pejabat publik, menjadi referensi masyarakat dan pemuda di masa depan.

Bangsa kita masih dalam perjalanan demokrasi yang cukup panjang. Munculnya turbulensi dalam proses demokrasi adalah hal yang wajar. Namun, turbulensi akan menjadi ancaman serius terhadap demokrasi jika kekacauan, kehirukpikukan, dan ketidakpastian nilai berkembang kea rah hiperdemokrasi dan lenyapnya kekuatan kepengendalian.

Demokrasi adalah anak kandung atas kemajemukan bangsa kita. kita bebas menyampaikan berbagai pendapat tanpa takut oleh rezim. Inilah sumber energi dari demokrasi. Namun, pribadi maupun kelompok harus memilki kekuatan pengendalian sehingga ekspresi kebebasan dapat dipertanggungjawabkan.

Elit politik dari berbagai haluan sosial kebudayaan dan masuk dalam lingkaran partai sebagai kendaraan politik perlu mengindahkan kesantunan politik disamping di dukung modal argumentasi yang obyektif, empirik, dan rasional, tetapi bagaimana jadinya jika seorang pengambil kebijakan mulai dari fase berkomunikasi politik sudah ngawur, jika ditanya malah bertanya kembali, jika ditanya tak sanggup menjawab, dan bahkan lari dari pertanyaan. Maka, etos gagasan politik telah hilang.

Dalam wacana psikologi dikenal istilah people’s social behaviour yang mewujudkan kepribadian individu yang melakukan political action dalam kehidupan sosial politiknya yang lebih dikenal dengan political behaviour. Wajah, senyum, kostum, dan peci politisi yang kita lihat di baligho dan berbagai papan iklan media lainnya dapat kita katakan belum mewakili seluruh bentuk-bentuk kepribadian seorang aktor politik. Sesuatu yang bersifat simbolik belaka belum tentu mewakili siapa sesungguhnya aktor politik tersebut.

Habermas bersabda, rasionalitas akal-akalan yang sekedar memperjuangakan kepentingan pribadi, kelompok, atau partai dengan cara menjatuhkan pihak lain. Karena sika agresif itu mereka cenderunga kehilangan daya pengendalian diri. Justru yang dilakukan bukanlah inovasi pemikiran politik egaliter, melainkan sikat-sikut sesame elit pejabat.

* Penulis adalah Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) Sulsel dan  peneliti di Profetik Institute
 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply