KHITTAH.CO, MAKASSAR — Suasana di Hotel Four Points by Sheraton Makassar itu tak seperti biasanya. Selama tiga hari, dari 16 hingga 18 Juni 2025, aula hotel menjadi panggung pertemuan para pengelola amal usaha pendidikan, dan pimpinan Muhammadiyah dari ujung timur Indonesia. Mereka datang dari Sulawesi Selatan, Maluku, hingga Papua — bukan untuk seminar biasa, melainkan untuk mengikuti Pendidikan Khusus Pimpinan (Diksuspim) Regional Sulawesi II.
Pelatihan ini, digagas oleh Majelis Dikdasmen dan PNF Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama Direktorat Jenderal PAUD, SD, dan SMP Kementerian Pendidikan RI, menjadi laboratorium kepemimpinan. Tujuannya, membentuk pola pikir baru, membongkar rutinitas lama, dan mematangkan strategi pengelolaan pendidikan berbasis nilai.
Sebanyak 154 peserta mengikuti setiap sesi dengan antusias. Tidak ada yang datang sekadar menggugurkan tugas. Mereka membawa kegelisahan yang sama: bagaimana menjadikan sekolah Muhammadiyah sebagai pusat keunggulan di tengah ketimpangan akses dan kualitas pendidikan di kawasan timur.
“Ini bukan pelatihan biasa,” kata Erwin Akib, Ketua Panitia yang juga Direktur Program Pascasarjana Unismuh Makassar.
“Kami ingin mereka pulang dengan tekad baru — bahwa teori hanya bermanfaat jika diterjemahkan menjadi langkah konkret,” pungkasnya.
Ia tak sendirian. Muhammad Syofyan, mewakili Majelis Dikdasmen PNF PP Muhammadiyah, menyebut kegiatan ini sebagai bagian dari ikhtiar mengganti paradigma. “Sudah cukup kita terjebak dalam pola pengelolaan seadanya. Sekolah Muhammadiyah di timur juga harus profesional, unggul, dan punya etos pembaruan,” ujarnya.
Mindset Baru, Jalan Panjang di Depan
Dalam berbagai sesi, para peserta diajak mengulik ulang cara berpikir mereka sebagai pengelola lembaga pendidikan. Materi yang disampaikan para fasilitator nasional tidak hanya berisi teori manajerial, tetapi juga refleksi ideologis. Diksuspim ini menantang satu hal mendasar: kesediaan untuk berubah.
“Saya baru kali ini ikut pelatihan yang benar-benar menyentuh akar,” kata La Diu Siolimbona, Kepala SD Muhammadiyah Ambon yang akrab disapa Kang Deden. “Ini bukan hanya tempat belajar, tapi ladang inspirasi.”
La Diu menyebut, tantangan pendidikan di wilayah timur bukan semata minim fasilitas atau SDM. Tapi juga soal mentalitas. “Kita harus bergerak dari fixed mindset menuju growth mindset. Itu kunci,” katanya.
Peserta lain mengamini. Mereka berharap kegiatan seperti ini terus diadakan secara berkelanjutan, agar proses kaderisasi pemimpin pendidikan tak berhenti di satu titik.
Dari Hotel ke Sekolah
Namun pekerjaan sesungguhnya baru dimulai setelah para peserta kembali ke sekolah masing-masing. Di sinilah ide dan semangat diuji oleh kenyataan lapangan: keterbatasan anggaran, resistensi budaya organisasi, hingga tantangan geografis yang tak ringan.
Muhammadiyah tampaknya sadar, pelatihan seperti ini tak bisa lagi sekadar seremoni atau dokumentasi laporan. Ia harus menjadi gerakan sistemik. Sebab, sebagaimana digarisbawahi dalam tema besar kegiatan ini, pendidikan bukan hanya soal kelas dan kurikulum, tapi soal membangun peradaban.
Diksuspim Regional Sulawesi II menandai fase baru dalam gerak langkah Muhammadiyah: menghidupkan sekolah, bukan sekadar mengelola bangunan. Dan para pemimpin yang digembleng di Makassar, kini ditunggu kerja sunyi mereka — dari ruang kelas yang berdebu hingga forum-forum keputusan di daerah-daerah terpencil.