Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
KHITTAH. CO – Pagi itu, Rabu 18 Juni 2025, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si (Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah), mendapat penghargaan sebagai tokoh perbukuan Islam 2025 dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) DKI Jakarta. Penghargaan ini akan diserahkan dalam gelaran Islamic Book Fair Award 2025 pada Rabu, 18 Juni mendatang di Panggung Utama 23rd Islamic Book Fair, Jakarta International Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta.
Haedar Nashir dinilai konsisten mendorong gerakan literasi sebagai bagian dari dakwah dan tajdid Muhammadiyah. Sebagai pemimpin organisasi Islam modernis terbesar di Indonesia, ia dikenal mengedepankan pendekatan ilmiah, reflektif, dan humanistik dalam memperkuat budaya literasi di tubuh Muhammadiyah. Dalam berbagai forum, Haedar kerap menekankan pentingnya literasi bukan hanya sebatas kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga sebagai kecakapan dalam mengolah informasi untuk kehidupan yang lebih cerdas dan berbudaya.
Literasi secara sederhana dimaknai sebagai kemampuan menulis dan membaca. Namun, dalam perkembangannya literasi terkait dengan berbagai hal yang perlu dipahami seperti literasi numerasi, literasi keuangan, juga terkait dengan konteks sosial politik kemasyarakatan dan dalam konteks kekinian dengan perkembangan teknologi informasi, maka literasi mengalami pengertian lebih kompleks sehingga muncul multiliterasi. Menurut Alberta, literasi ialah kemampuan membaca dan menulis, menambah pengetahuan dan ketrampilan, berpikir kritis dalam memecahkan masalah, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif yang dapat mengembangkan potensi dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan National Institute for Literacy, mendefinisikan literasi sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat.”
Literasi untuk mencabukan sekadar baca tulis, bukan sekadar mengetahui sesuatu tetapi lebih dari itu, literasi mencakup kemampuan membaca kata, membaca dunia, membaca makna di balik kata secara mendalam sehingga orang yang literet mampu hadir memberi slousi setiap permasalahan yang dihadapi, baik masalah pribadi, sosial kemasyarakatan, permasalahan global dan berbagai masalah yang timbul. Kiai Dahlan ketika mengajarkan muridnya Surah Al-Ma’un, yang kita kenal dengan teologi al Ma’un, beliau mengulang-ulang selama tiga bulan sampai muridnya merasa bosan dan merasa sudah paham surah tersebut. Namun, pak Kiai meminta kepada murid-muridnya mencari anak yatim, yang kemudian anak yatim tersebut dibawa pulang ke rumah masing-masing untuk dimandikan dan diberi pakaian yang layak. Hal ini menggambarkan literasi dalam pandangan Kiai Dahlan bukan sekadar membaca dan menghafal tetapi memberi makna mendalam di balik bacaan dan hafalan tersebut yang kemudian diamalkan.
Terkait dengan budaya literasi, Prof. Haedar Nashir mengemukakan bahwa negara manapun tidak akan maju jika warganya tidak punya budaya literasi. Kebudayaan hidup karena literasi. Peradaban juga dicapai dengan budaya literasi. Bangsa nirliterasi mudah diperdaya pihak lain, hatta oleh sesama komponen bangsa sendiri. Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis.
Literasi juga bertemali dengan kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup yang lebih cerdas dan berbudaya tinggi. Hidup sendiri maupun kolektif menjadi tercerahkan karena modal literasi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa, bila bangsa Indonesia akan makin maju jika budaya literasinya bertumbuh-kembang secara luas yang melekat menjadi kebiasaan sehari-hari. Tiada detak jantung tanpa denyut literasi. Bila ingin maju budaya literasi, kurangi obral budaya oral seperti gemar mengobrol, bercanda berlebihan, olok-olok, gosip, kehebohan, dan huru-hara yang membuat hidup kehilangan makna.
Sesungguhnya budaya literasi di kalangan Muhammadiyah, sudah didengungkan sejak awal hadirnya Muhammadiyah, hal ini bisa dilihat dengan hadirnya majalah Suara Muhammadiyah, kemudian pada tahun 1920 di Kongres Muhammadiyah, Kiai Dahlan membentuk empat bagian atau saat ini disebut majelis yaitu bagian PKO, bagian pendidikan pengajaran, bagian tabligh, dan bagian pustaka. Pada saat pembentukan bagian terrsebut, setiap ketua yang ditunjuk diminta rencana kerjanya.
Kiai Muhtar sebagai Ketua Bagian Pustaka mengatakan bahwa bagian pustaka akan bersungguh-sungguh berusaha menyiarkan agama Islam kepada masyarakat umum, caranya bisa melalui selebaran yang dibagikan secara gratis, bisa juga lewat majalah bulanan atau tengah bulanan, baik yang dibagikan secara cuma-cuma maupun dengan cara berlangganan, dapat pula dengan penerbitan buku-buku agama Islam. Taman pustaka hendak membangun dan membina gedung taman pustaka (taman baca/perpustakaan). Fasilitas itu untuk umum dan dibangun diberbagai tempat.
Perkembangan teknologi informasi turut memberi pengaruh terhadap pemahaman terhadap literasi. Muhammadiyah dalam konteks ini sebagai organisasi modern yang senantiasa mengembankan ilmu dan memiliki prinsip menghidupkan tajdid, maka Majelis Pustaka juga mengalami perkembangan berubah menjadi Majelis Pustaka dan Informasi. Perubahan nomenklatur tersebut bukan sekadar perubahan nama, tetapi lebih dari itu tugas pokok dan fungsi majelis bertambah, dan juga salah satu bagian Putusan Muktamar ke 48 Muhammadiyah di Solo terkait dengan membangun kesalehan digital.
Muhammadiyah menyadari literasi digital bila tidak terkelola dengan baik akan berdampak pada krisis keadaban sehingga manusia mudah memproduksi hoaks, kebencian, permusuhan, saling mencela, menghina, dan erosi moralitas. Kekohesifan sosial memudar dan manusia menjadi hidup serba instan. Kesantunan, kearifan, dan akhlak mulia mengalami peluruhan. Banyak waktu terbuang sia-sia karena intensitas penggunaan internet dan media sosial yang tidak semestinya atau overdosis.