Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Revolusi Suci dan Kapitalisme (1)

×

Revolusi Suci dan Kapitalisme (1)

Share this article

Oleh : Dr.Yustin Paisal, M.T.

KHITTAH.co _ “Bagi saya kesejahteraan umum itu sumber kebahagiaan rakyat, negara tidak boleh menjadi tempat penggarong atas nama kapital, atas nama komoditi!”, begitu pesan Ir. Soekarno, alumni ITB, sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia dan sekaligus Presiden Pertama R.I.

Terlepas dari siapa yang menyampaikan, jika kalimat ini dibedah, setidaknya mengandung sejumlah pesan falsafah moral-etika pembangunan yang hakiki yang mana dapat mencakup dalam dua paradigma utama.

Paradigma itu adalah, pertama, asas perjuangan revolusi suci dan cita-cita moral sesuai dengan Paradigma Ideologi Teologism. Atau, kedua, asas pembangunan negara dan bangsa sesuai dengan Paradigma Keadilan Kerakyatan. Dengan kata lain sangat bertolak belakang dengan Paradigma Boneka Kapitalism yang boleh jadi menjadi ekslusif saat ini di bumi pertiwi. Paradigma pertama, mengingatkan kita untuk berangkat dari paradigma teologis dari pemaknaan konstitusional bahwa negara adalah berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahwa, dalam pengejewantahan ideologi Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan suatu ideologi dengan penjelasan mendasar bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, mengingatkan kepada kita sebagai generasi kini sejak proklamasi kemerdekaan untuk mesti berkaca, berpedoman, dan ataukah menggali filosofi mendasar cita-cita proklamasi dan kemerdekaan yang diamanahkan tersebut. Niscaya, kita akan temukan adanya serangkaian prinsip yang jelas bagaimana cara pandang para pemimpin di negeri ini untuk cara berkomitmen dalam paradigma multi-dimensi, fisik-metafisik, guna pembangunan nasional yang seutuhnya yaitu mesti mengedepankan secara fundamental kesucian ideologis teologis. Paradigma teologism yang dianut Negara Indonsia sesuai dengan Ideologi Pancasila dan UUD 1945 itu adalah menyatukan keberagaman agama dan suku bangsa serta aneka bahasa di bumi pertiwi ini yang mana umat Islam adalah umat mayoritas dengan mengedepankan toleransi dalam batas-batas ketauhidan dan keikhlasan yang fundamental dalam setiap ajaran keagamaan murni.

Sebenarnya secara tafsir inklusif menegaskan bahwa sebaik-baik manusia Indonesia dengan keyakinannya pada Tuhan Yang Maha Esa adalah manusia Indonesia yang dapat mencerahkan segenap cara berfikir dan cara mendalami atas fenomena realitas fisik-metafisik atas ayat-ayat kauni-Nya serta ayat-ayat qauli-Nya sehingga keterbimbingan dan ketercerahan paradigma suci dari agama yang diyakininya itu adalah meniscayakan terpandu dari Allah, Tuhan pencipta bumi dan langit serta apa yang ada diantara keduanya, sehingga manusia Indonesia dalam membangun negeri ini dari Sabang sampai Merauke berpandangan lebih menyeluruh pada pembangunan berdasarkan aspek fisik-metafisik, dalam ideologi teologisme yang tidak bisa dipisahkan.

Ibarat tidak bisa dipisah antara tubuh dan kepala manusia. Jika itu terjadi mengandung makna kematian dalam dinamika pembangunan sesuai yang diamanahkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, pandangan holistik menjadi keniscayaan sebagaimana pandangan Einstein, ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah pincang!. Apabila dihilangkan, maka sama saja meruntuhkan negara dan bangsa ini ataupun tidak sesuai dengan ruh dari Ideologi Pancasila dan UUD 1945!.
Kemudian daripada itu, lebih dalam dapat dikatakan, bahwa, pembangunan negara dan bangsa ini pada akhirnya berpedoman pada prinsip keadilan Ilahi sebagai ruh dan jantungnya paradigma ideologis teologisme, Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah yang semestinya kita sadari sepenuhnya, sebab ajaran moral agama memestikan prinsip ini menjadi sesuatu yang jelas dengan sendirinya dimana disitulah asas hukum multi-dimensi dapat disusun oleh para pemimpin bangsa ini berdasarkan matan keyakinan akan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa! Dengan demikian adanya revolusi suci atas konstitusi negara ini adalah suatu kemestian menuju paradigma yang lebih sesuai dengan ruh dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Adalah suatu ironi jika kemutlakan hukum Tuhan dibatasi dalam konstitusi negara ini, sebab itu akan melahirkan pengingkaran bahkan pengkhianatan pada Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri! Jadi sudah menjadi kemestian juga bahwa bukanlah berlebihan jika ada keyakinan hakiki di mana hukum Tuhan adalah diatas hukum konstitusi negeri ini. Jika tidak, bertentangan dengan paradigma ideologis Teologism itu sendiri.

Dengan demikian, tidak ada cara lain yang paling bersahaja kecuali bermula dari bagaimana kita memahami secara benar ideologi teologisme ini untuk mengkonfirmasi bagaimana langkah awal membangun negeri.

Sebagai pembuktian, telah diakui dengan jelas, bahwa, pembangunan negara ini setelah lepas dari penjajahan adalah kembali pada suatu kesadaran atas keyakinan inti perjuangan yaitu atas Pertolongan dan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, sebagaimana tertuang didalam paragraf inti pembukaan UUD 1945. Falsafah ini adalah jelas terilhami secara ideologism adanya visi dan misi suci yang berakar dari paradigma teologisme tersebut.

Kembali pada pesan-pesan moral Soekarno itu, adalah meneriakkan perjuangan suci dan menginginkan, bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat sehingga sebagai bangsa yang bermartabat juga membangun negeri ini dengan cara yang bermartabat pula! Bukan dengan cara penggarongan atau pencurian atas nama pembangunan bangsa dan negara yang mana hanya dinikmati oleh segelintir kaum dan pada akhirnya utang negara menjadi fenomena!

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply