Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Media Sosial: Fakta, Opini, dan Hoaks

×

Media Sosial: Fakta, Opini, dan Hoaks

Share this article

Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

KHITTAH. CO – Artikel ini lebih dari 50% dikutip dari Putusan Muktamar ke 48 Muhammadiyah dan dari Berita Resmi Muhammadiyah yang memuat tentang Fiqh Informasi. Penulis sengaja menjadikan keduanya referensi utama, sebagai bagian dari sosialisasi dan juga agar pemahaman kita tentang literasi informasi memiliki dasar yang kuat.

Di samping itu artikel ini hadir sebagai bentuk kegelisahan penulis maraknya berirta hoaks, penggiringan opni untuk memberi keyakinan kalau opininya berdasar fakta dan data, namun datanya tidak valid. Lebih memiriskan karena hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang yang tidak berpendidikan, justru orang yang memiliki pendidikan tinggi kadang tanpa tabayyun, ketika menerima informasi langsung membagikan ke media sosial (medsos).

Setiap saat, kita dapat menerima informasi dari berbagai sumber, terlebih lagi dengan semakin derasnya arus informasi melalui media sosial yang diproduksi setiap saat. Informasi yang masuk beraneka ragam, dengan multidomain dan multikepentingan.

Bila merujuk pendapat Fisher bahwa informasi adalah fakta atau data yang diperoleh dalam proses komunikasi. Namun dalam kenayataannya, informasi yang kita peroleh dari berbagai sumber khususnya di media sosial tidak semuanya berupa fakta dan tidak semua didukung data yang valid. Kadang justru berita yang tidak disertai data menggiring kita menjadikan berita itu sebagai sebuah kebenaran yang sekan-akan ditunjang oleh data yang valid.

Opini atau bahkan berita hoax, disertai argumen seakan-akan ilmiah, seakan-akan masuk masuk akal, mengiring kita untuk membenarkan berita tersenbut, tanpa melakukan klarifikasi atau tabayyun. Hal ini diperparah lagi oleh ulah netizen yang seakan berlomba meng-share berita yang belun tentu memiliki nilai kebenaran. Netizen seakan tidak mau kalah dalam membagikan berita yang mereka terima, bahka mungkin tidak jarang dari kita hanya membaca judul berita dan belum membaca isinya sudah langung membagikan ke media sosial.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian cepat memberi pengaruh positif maupun juga pengarug negatif, sebagaimana kemajuan teknologi lainnnya, positif-negatifnya sangat tergantung pada pengguna teknologi itu sendiri. Di sinilah pentingnya literasi digital ataupun literasi informasi. Kementerian Komunikasi dan Digital mengidentifikasi dan mengklarifikasi sebanyak 1923 konten hoaks, berita bohong, dan inforamasi palsu sepanjang tahun 2024.

Konten hoaks kategori politik mendominasi sebanyak 237 konten, disusul pemerintahan 214, kesehatan 163 konten, kebencanaan sebanyak 145 konten, dan konten lain 84 konten. Penelusuran Kemkondigi ini memberikan gambaran bahwa di samping berita atau informasi benar dan positif, juga terdapat banyak informasi atau berita yang memiliki nilai negatif dan tentu juga berdampak negative bagi Masyarakat, bahkan juga bagi pemerintahan dan bangsa ini sendiri.

Pentingnya informasi bagi umat dan bangsa maka diperlukan adanya literasi infomrasi atau literasi digital agar umat dan masyarakat bangsa ini tercerahkan dan tidak ikut arus untuk memproduksi konten atau menyebar berita hoaks. Olehnya itu, Muhammadiyah pada Muktamar ke 48 berkaitan dengan isu-isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal, salah satunya adalah Membangun Kesalehan Digital, yang antara lain mengemukakan bahwa  kemajuan teknologi digital merupakan salah satu penanda kemajuan  bersifat revolusional dan menciptakan disrupsi dalam berbagai aspek kehidupan.

Di antara dampak yang menyertai disrupsi sosialnya ialah krisis keadaban sehingga manusia mudah memproduksi hoaks, kebencian, permusuhan, saling mencela, menghina, dan erosi moralitas. Kekohesifan sosial memudar dan manusia menjadi hidup serba instan. Kesantunan, kearifan, dan akhlak mulia mengalami peluruhan. Banyak waktu terbuang sia-sia karena intensitas penggunaan internet dan media sosial yang tidak semestinya atau overdosis.

Oleh karena itu, diperlukan dasar nilai yang membingkai perilaku bermedia sosial dan penggunaan media digital secara bermoral dalam wujud kesalehan digital, yaitu bagaimana menghadirkan kesadaran moral atau etik dalam memanfaatkan sistem dan hidup di era digital.

Selain panduan moral berbasis agama seperti Fikih Informasi sebagaimana diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, diperlukan gerakan budaya literasi antara lain menyediakan content creator ajaran dan nilai-nilai keadaban Islami di dunia digital. Para pemimpin agama, ulama-intelektual, elite bangsa, tokoh adat, serta institusi-institusi pendidikan dan sosial keagamaan penting menjadi aktor yang terlibat aktif dalam mengembangkan keadaban digital sekaligus menjadi uswah hasanah atau teladan yang baik dalam menggunakanteknologi digital yang masif itu. Perlu panduan keagamaan dan moral membangun kesalehan digital di berbagai institusi dan lingkungan sosial masyarakat luas. (PP Muhammadiyah)

Untuk memberikan arah kepada warga Muhammadiyah khususnya dan masyarakat pada umumnya dalam mencermati dan menerima suatu informasi dan memberi informasi, Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengemukakan tiga nilai dasar dalam Fikih InformasiPertama, prinsip tauhid. Prinsip ini memandang bahwa segala sesuatu harus berujung kepada tauhid, mengesakan Allah sebagai dasar perilaku dan pikiran orang-orang yang beriman.

Kedua, prinsip akhlak. Prinsip ini terkait erat dengan hal-hal yang mengatur hubungan antar manusia. Artinya, apa pun yang menyangkut informasi, mulai dari produksi hingga distribusi mengundang interaksi dan komunikasi antar manusia. “Sehingga akhlak menjadi sesuatu yang sangat penting dalam konteks ini”. Ketiga, prinsip kemaslahatan. Sebagaimana yang pernah diutarakan oleh Ibnu Taimiyah bahwa asas maslahat dalam menyebarkan informasi adalah nilai dasar syariah yang menganjurkan untuk memberikan kebermanfaatan kepada alam semesta.

Selanjutnya berdasarkan ketiga nilai dasar ini menurunkan beberapa kaidah yang perlu diperhatikan sebelum membagikan informasi, di antaranya: Pertama, tanggung jawab dan tidak tendensius dalam menilai sebuah informasi (al-amanah wa al-nazahah fi al-hukmi). Kaidah ini mengajarkan seseorang untuk senantiasa bersikap hati-hati, proporsional, dan bertanggung jawab dalam membuat, menyebarkan maupun merespon sebuah informasi.

Kedua, cermat dalam melakukan investigasi dan mengemas informasi (al-diqqah fi al-bahtsi wa al-hukmi). Kaidah ini mengajarkan seseorang untuk bersikap cermat, kritis, dan teliti dalam memilih sumber informasi sampai pada penyebarannya pada masyarakat. Artinya, informasi yang dibangun berdasarkan fakta apa adanya dan bukan bersandar pada prasangka dan asumsi.

Ketiga, memegang teguh etika dalam menilai seseorang (altizam al-adab fi al-jarh). Prinsip ini mengajarkan bahwa dalam menyampaikan informasi tidak dengan bahasa vulgar yang dibumbui dengan semangat kebencian. Penyebaran informasi dengan kebencian hanya akan mengaburkan fakta yang sesungguhnya. Keempat, memperhatikan manfaat dan mudharat. Penting untuk bersikap lebih hati-hati dalam menerima, menyebarkan, dan merespons informasi sebelum akhirnya disesali. Spirit ini dilandasi dari semangat ajaran Islam yang mengedepankan kemaslahatan dan berusaha menghindari kerusakan.

Mari jadikan media sosial sebagai lahan dakwah, bukan menjadikan media sosial sebagai ajang narsis, bukan berlomba memproduksi dan menyebar hoaks, tidak menjadikan media sosial sebagai alat penggiringan opini untuk membenarkan opini yang kita bangun dengan narasi yang seakan ilmiah, dengan dukungan data yang tidak valid.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply