KHITTAH.co – Siapa Ketua PP Muhammadiyah Setelah Kiai Ahmad Dahlan? Dialah Kiai Haji Ibrahim, adik dari Nyai Siti Walidah atau Nyai Haji Ahmad Dahlan. Dengan demikian K.H. Ibrahim adalah adik ipar KHA Dahlan. Putra asli Kauman Yogyakarta kelahiran tanggal 7 Mei 1874 ini adalah putra KH. Fadhil Rachmaningrat, seorang penghulu Hakim Nagari kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubowono ke VII.
Pendidikan agama awalnya beliau peroleh langsung dari orang tuanya sendiri, selain itu dibimbing juga oleh kakaknya yang tertua yakkni KHM. Nur. Pada umur 17 tahun, Ibrahim pergi menunaikan ibadah haji dengan dilanjutkan dengan menetap di Mekah selama 7-8 tahun untuk menuntut ilmu agama. Pada tahun 1902, beliau pulang ke Tanah Air karena ayahnya sudah lanjut usia.
Kedatangan Ibrahim di tanah Air mendapat sambuan yang luar biasa dari masyarakat. Kyai yang suka pakai junah panjang dan sorban itu dikenal sebagai ulama besar, cerdas, dalam ilmunya, hafal (hafidz) Al-Quran, qiraatnya bagus, dan pandai berbahasa Arab. Maka tak heran banyak umat Islam yang berduyun-duyun mengaji kepadanya.
Tokoh Muhammadiyah ini tidak pernah mendapatkan pendidikan model Barat. KH Ibrahim menguasai ilmu-ilmu agama dari pendidikan Pondok Pesantren. Beliau adalah seorang ulama yang ‘alim, sederhana dalam hidupnya dan bertanggung jawab terhadap amanah yang doserahkan kepadanya.
Dalam memberikan pelajaran/ngaji, Kh. Ibrahim mengunakan metode sorongan dan weton. Metode sorongan adalah cara mengaji dengan mengajari mengaji seorang demi seorang. Cara ini dilakukan pagi hari antara pukul 07.00 sampai pukul 09.0. Sedangkan mentode weton adalah cara mengaji dimana Sang Kiyai membaca kitab tertentu dan dijelaskan, sedangkan para santri mendengarkan dan memperhatikan melalui kitab masing-masing. Cara ini dilakukan pada sore hari ba’da Ashar.
K.H. Ibrahim adalah tokoh penerima estafet kepemimpinan yang langsung diterima dari KHA Dahlan. Ketika dalam keadaan sakit, KHA Dahlan berpesan agar kepemimpinan Muhammadiyah setelah beliau diamanhkan kepada KH Ibrahim. Namin, saat itu menolak karena merasa tidak mampu memimipin organisasi dan pergerakan Islam itu. Setelah KHA Dahlan pulang ke Rahmatullah, maka mau tidak mau KH Ibrahim harus mengambil tongkat kepemimpinan Persyarikatan itu. Akhirnya, pada Kongres Muhammadiyah ke 14 di Yogyakarta Maret tahun 1923, dengan suara bulat peserta memilih KH Ibrahim untuk melanjutkan kepemimpinan KHA Dahlan menjadi Voorsziter Hoofdbestuur (Ketua Pimpinan Pusat) Muhammadiyah Hindia Timur, demikian penyebutan Indonesia pada masa itu.
Dalam kepemimipinan beliau, Muhammadiyah mengembangkan sayapkanya ke berbagai daerah. Kongres tahunan (Sekarang Muktamar), Muhammadiyah diselenggarakan bergantian diberbagai Kota. Seperti, Kongres ke-14 diselenggarakan di Surabaya, Kongres ke-16 di Pekalongan, Kongres ke-17 di Solo, Kongres ke-18 di Yogyakarta, Kongres ke-19 di Bukittinggi, Kongres ke-20 di Yogyakarta, Kongres ke-21 di Makassar dan Kongres ke-22 di Semarang.
Kyai Ibrahim memiliki perhatian yang sangat besar terhadap angkatan muda dan perempuan. Beliau turun tangan langsung memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap Aisyiyah dan Hizbul Wathan, Pemuda Muhammadiyah masa itu. Selain itu, Kyai Ibrahim memimpin sebuah kelompok pengajian yang diberi nama Adz-Dzakirat. Melalui Adz-Dzakirat pula, upaya pengajian dana untuk aktivitas Aisyiyah, PKO, Baian Tabligh dan bagian Taman Pustakan biasa biliau lakukan.
Majelis Tarjih, bagian dari Muhammadiyah yang bertugas mengkaji masalah keagamaan, dibentuk pada masa kepemimipan beliau ini. Keberadaan organisasi otonom Nasiatul Aisyiyah (Untuk putri) dan Pemuda Muhammadiyah dan dirintis dan dikembangkan. Pembentukan Majelis Tarjih itu dimaksudkan untuk mempersatukan umat Islam di seluruh penjuruh dunia. Hal ini yang selalu menjadi pemikiran KHA Dahlan: Umat Islam mesti bersatu, untuk mempersatukan umat Islam, mesti dipersatukan terlebih dahulu pemikirannya tentang agama Islam, ermasuk pemahaman yang benar tentang ajaran-ajaran amaga Islam.
Perkembangan yang menonjol pada masa kepemimpina KH Ibrahim antara lain adalah didirikannya Fondn Dachlan 1924), yakni lembaga yang bertujuan untuk mengumpulkan beasiswa bagi anak-anak oarang miskin. KH Ibrahim melakukan perbaikan badan perkawinan untuk menjodohkan putra putri Muhammadiyah yang sudah masanya menikah; khitanan massal pernah diselenggarakan oleh Muhammadiyah pada tahun 1925. Penyelenggaraan Muktamar Muhammadiyah di Surabaya yang menghasilkan keputusan penting antara lain, penyelenggaraan Sholat Iedul Adha dan Iedul Fitri di lapangan, pengunaan tahun Hijriyah dalam surat menyurat dan administrasi Muhammdiyah.
Sejak tahun 1928, putra putri lulusan sekolah-sekolah kader Muhammadiyah seperti Madrasah Muallimin, Muallimat, Tabligh School dan Normal School, banyak dikirimkan keberbagai pelosok Tanah Air untuk melaksanakan tugas dakwah Muhammadiyah. Para kader ini, kemudian dikenal dengan istilah Anak Panah Muhammadiyah. Pada tahun 1929, dalam Kongres Muhammadiyah di Soloh, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yakni sebuah badan usaha penerbitan buku-buku di bawah wewenang Bagian Taman Pustaka.
Menjelang akhir masa kepemimpinan beliau, dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar tahun 1932, diputuskan agar Muhammadiyah dagblaad (Surat kabar). Keputusan ini, diserahkan kepada cabang Muhammadiyah Soloh yang kemudian berhasil menerbitkan dagblaad yang diberi nama “Adil“ , (yang kemudian sangat dikenal adanya wartawan Muhammadiyah H. Soerono Wiroharjono).
KH Ibrahim Wafat dalam usia relatif muda, 46 tahun. Beliau pulang kerahmatullah pada tanggal 13 Oktober 1932 setelah menderita sakit beberapa waktu. Dalam memimpin Muhammadiyah sekitar sepuluh tahun itu Muhammadiyah mengalami perkembangan yang pesat dan telah menyebar ke seluruh pelosok Tanah Air.
(Sumber: Buku 100 Tokoh Muhammadiyah)