Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Kepemimpinan IMM dan Mitos Islam Berkemajuan: Antara Retorika dan Realitas

×

Kepemimpinan IMM dan Mitos Islam Berkemajuan: Antara Retorika dan Realitas

Share this article

Oleh: Windi Saputri (Kader IMM)

KHITTAH. CO – Secara historis, gagasan Islam Berkemajuan merupakan tawaran Muhammadiyah sebagai bentuk Islam yang rasional, inklusif, berbasis ilmu pengetahuan, dan responsif terhadap tantangan zaman. Gagasan ini lahir dari kesadaran bahwa umat Islam tidak boleh terus berada di posisi tertinggal dalam percaturan global, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, maupun kebudayaan. Islam Berkemajuan dimaksudkan sebagai proyek peradaban, yakni menghadirkan wajah Islam yang mencerahkan, ramah pada keberagaman, sekaligus tegas dalam menolak praktik kejumudan berpikir. Dalam bingkai inilah gagasan tersebut memuat cita-cita besar tentang transformasi sosial, pemberdayaan umat, serta pembebasan dari belenggu keterbelakangan.

Dalam konteks Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), gagasan Islam Berkemajuan kerap dijadikan sebagai semangat ideologis yang terus digaungkan dalam berbagai ruang diskusi, media sosial, hingga orasi para pemimpin. Ia seolah menjadi identitas tunggal perjuangan IMM sekaligus menunjukkan kedekatan dengan garis pemikiran Muhammadiyah. IMM sebagai organisasi mahasiswa yang lahir dari rahim Muhammadiyah tentu memiliki beban moral dan ideologis yang cukup besar. Ia diharapkan mampu menjadi wadah untuk melahirkan kader intelektual yang militan, berintegritas, dan punya visi keumatan. IMM juga dituntut melahirkan pemimpin masa depan yang tidak sekadar fasih mengulang jargon, melainkan benar-benar mampu mengartikulasikan gagasan Islam Berkemajuan menjadi arah gerak sosial, politik, dan keumatan.

Salah satu pondasi utama IMM adalah proses kaderisasi. Kaderisasi adalah jantung gerakan, namun sering kali jantung itu berdetak lemah karena tersumbat oleh praktik strukturalisme. Forum yang sejatinya menjadi ruang dialektika ide dan pembentukan karakter ideologis justru sering dipersempit menjadi agenda seremonial belaka. Pertanyaan mendasar kemudian muncul: Apakah kaderisasi IMM hari ini masih melahirkan intelektual organik yang berpihak pada rakyat dan mampu mentransformasikan realitas? Ataukah ia hanya menjadi mesin pencetak pejabat organisasi yang fasih beretorika, namun miskin praksis dan jauh dari basis sosial?

IMM perlu merefleksikan kembali arah kaderisasinya dengan menegaskan bahwa proses itu tidak boleh kehilangan ruh sebagai ruang penguatan ideologi, pembentukan karakter intelektual, sekaligus spiritual. Setiap kader harus mampu memaknai proses ideologis sebagai pembentukan nilai, bukan sekadar anak tangga untuk menaiki jenjang struktural. Jika proses kaderisasi gagal menghadirkan makna, maka organisasi hanya akan menghasilkan kader yang sibuk mencari posisi, bukan pemimpin yang membawa gagasan. IMM harus menjadi lokomotif pembaruan, bukan sekadar pengulang jargon. Pemimpin-pemimpin yang dilahirkan tidak boleh berhenti pada jabatan, melainkan hadir sebagai aktor sosial yang membawa pengaruh nyata di tengah masyarakat. Dengan begitu, semangat Islam Berkemajuan bisa benar-benar tumbuh dalam tubuh IMM, bukan untuk gaya atau pencitraan, melainkan untuk membebaskan umat dari ketertinggalan, kebodohan, dan ketidakadilan.

Islam Berkemajuan pada hakikatnya mengajarkan inklusivitas, rasionalitas, dan keberpihakan pada kemanusiaan. Namun, dalam praktik kepemimpinan IMM kita masih sering menyaksikan dinamika yang justru bertolak belakang. Di berbagai tingkatan kepemimpinan, tidak jarang muncul konflik internal yang lebih bernuansa pragmatis daripada ideologis. Suara-suara kritis kerap dipandang sebagai ancaman, bukan kontribusi. Bahkan, dalam beberapa kasus, kepentingan struktural dan dominasi kelompok tertentu lebih menonjol dibandingkan diskursus substantif mengenai nilai keislaman, keumatan, ataupun keilmuan.

Di sinilah letak paradoksnya. IMM berulang kali menggaungkan jargon Islam Berkemajuan, tetapi masih terjebak dalam pola kepemimpinan yang konservatif, eksklusif, dan hierarkis. Padahal, jika Islam Berkemajuan dimaknai sungguh-sungguh, ia seharusnya mendorong demokratisasi internal, membuka ruang partisipasi yang lebih luas, serta mengakui kritik sebagai bentuk kasih sayang terhadap organisasi. Kritik seharusnya dibaca sebagai tanda hidupnya intelektualisme dalam tubuh IMM, bukan sebagai gangguan terhadap kenyamanan status quo.

Oleh karena itu, IMM harus berani memaknai ulang kepemimpinannya dan menengok kembali akar ideologis gerakan, bukan sebagai beban sejarah, melainkan sebagai sumber energi moral dan intelektual. Kepemimpinan IMM harus lahir dari kesadaran intelektual dan spiritual, bukan dari kompromi pragmatis. Ia harus mendorong kaderisasi yang mengasah kemandirian berpikir, bukan sekadar melatih loyalitas struktural.

IMM mesti hadir dengan gerakan yang menyasar masyarakat akar rumput, bukan sekadar mengulang agenda seremonial. Kepemimpinan di IMM seharusnya membawa gagasan, bukan sekadar mengamankan posisi. Pemimpin IMM perlu tumbuh dari proses panjang, dari ruang dialektika, dari interaksi sosial, dan dari keberanian menantang arus. Ia harus memiliki kesediaan untuk dikritik, kemampuan untuk mendengar, dan kemauan untuk berubah. Dibutuhkan keberanian untuk berpikir berbeda, bertindak progresif, dan konsisten dalam membela nilai-nilai kemanusiaan. Kita jelas tidak berada di jalur yang benar jika hanya mengulang narasi tanpa ada pembenahan sistemik.

Yang paling penting, kita butuh pemimpin yang menyadari bahwa kekuasaan dalam organisasi bukanlah tujuan akhir, melainkan amanah untuk membumikan nilai-nilai Islam yang mencerahkan. Kepemimpinan IMM masa depan harus melampaui simbol dan kembali pada nilai-nilai yang mampu menjembatani gagasan serta gerakan. Hanya dengan cara itu IMM bisa menjadi pilar penting dalam transformasi umat dan bangsa, sekaligus membuktikan bahwa Islam Berkemajuan bukan sekadar mitos retoris, tetapi realitas praksis yang hidup di tengah masyarakat.

 

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply