
Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
KHITTAH. CO – Keragaman suku dan adat istiadat serta keragaman budaya yang menghuni NKRI, harus dipandang sebagai satu kesatuan bangsa yang memiliki kedaulatan sebagai satu bangsa. Indonesia dengan beragam etnis dan budayanya masing-masing memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang berdaulat sepanjang kebhinekaan itu dapat ditata dengan apik. Bhinneka tunggal ika yang menjadi semboyan bangsa ini dalam menata persatuan dan kesatuan harus tetap dijaga dengan baik, ditata secara apik, tidak dikhianati.
Buya Syafii Maarif mengemukakan bahwa Kebhinekaan hanya bisa bertahan lama manakala kita semua mengembangkan kultur toleransi yang sejati, bukan toleransi karena terpaksa atau toleransi yang dibungkus dalam kepura-puraan. Kesejatian merupakan salah satu puncak tertinggi dari capaian manusia beradab.
Dalam konteks kekinian, keragaman bukan hanya keragaman etnis, budaya, dan bahasa. Kini muncul berbagai kelompok tertentu yang juga bagian dari bangsa ini, baik itu kelompok pemuda maupun kelompok profesional yang tentu semua ini menghadirkan dirinya dengan semangat Indonesia merdeka dan berdaulat, indonesia yang pancasialais.
Keberadaan mereka akhir-akhir ini tidak sedikit kita menyaksikan dan mendengarkan teriakan NKRI harga mati, dan mereka mereka merasa paling pancasilais, namun pada sisi lain juga menghadirkan dirinya sebagai kelompok yang intoleran, menrasa diri paling berhak hidup di negara ini sementara yang lain hanya sebagai penumpang saja. Tentu hal ini akan mengganggu semangat persatuan dan kesatuan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai masalah di negeri ini.
Persatuan menjadi penting artinya untuk menghadirkan kesejahteraan, menghadirkan keamanan dan ketentraman seluruh warga negeri. Semangat persatuan dalam kebhinekaan dan menghindari terjadinya disintegrasi pada tanggal 18 Agustus 1945, ketika menyusun dasar negara, terjadi perdebatan yang menegangkan terkait sila pertama Pancasila yaitu perdebatan tentang tujuh kata dalam sila pertama Pancasila. Walaupun sejak awal dan telah disepakaii dalam Piagam Jakarta, namun demi menjaga keutuhan negeri dari diintegrasi yang baru sehari memproklamirkan kemerdekaannya, Ki Bagus Hadikusumo sebagai pucuk pimpinan Muhammadiyah bersama tokoh umat Islam lainnya berbesar hati dengan merelakan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menggantinya dengan sila pertama Pancasila. Ini sebagai sikap penghormatan atas aspirasi saudara sebangsanya dari umat Kristiani dan Indonesia bagian timur.
Semangat membangun kebersamaan dalam kebhinekaan juga ditunjukkan oleh para pahlawan, para tokoh pendiri bangsa ini, mereka bergaul tanpa memandang perbedaan suku, ras, dan agama, juga perbedaan aliran politik. Kita bisa membaca bagaimana seorang Natsir tokoh Masyumi bisa bersahabat sangat akrab dengan seorang DN Aidit yang komunis. Mereka bisa berdebat secara sengit di parlemen karena perbedaan pendapat tetapi di luar itu mereka adalah sahabat, di luar rapat Aidit yang lerbih muda membuatkan kopi untuk dan ngobrol dengan hangat. Seringkali Aidit membonceng Natsir pergi dan pulang dari rumah ke kantor parlemen.
Leimena (Protestan), Natsir (Islam) dan Ignatius Joseph Kasimo (Kristen Katolik), ketiganya bersahabat walapun jelas berbeda agama dan secara ideologis pun mereka berbeda paham. Natsir dengan Partai Masyumi-nya bermimpi mewujudkan syariat Islam di Indonesia. Kasimo lewat Partai Katolik mengusung semboyan “100% Katolik, 100% Indonesia!” Leimena adalah seorang dokter yang lihai dalam perundingan dan negosiasi. Ketika Masyumi akan dibuarkan oleh Bung Karno, justru Leimena berusaha ikut mencegah dan mempertahankan Masyumi yang dipimpin oleh Natsir, sahabatnya itu, agar tidak dibubarkan.
Alasan Leimena, membubarkan Masyumi itu melanggar HAM. Sayang upayanya gagal karena pada 13 September 1960, Masyumi dibubarkan pemerintah Soekarno. Antara Natsir dan Kasimo jelas ada jurang perbedaan paham. Kasimo tidak berusaha mengkatolikkan Indonesia. Ia menganjurkan orang Katolik agar sungguh-sungguh menjadi orang Indonesia. Sebaliknya Natsir lebih mementingkan syariat Islam agar diterapkan di Indonesia. Mereka sering berselisih paham dalam rapat parlemen dan konstituante karena memperjuangkan keyakinannya masing-masing. Namun begitu keluar dari ruang rapat, mereka kembali bersahabat dan bercengkrama akrab. Mereka juga tidak mengajak para pendukungnya untuk menyerang pihak lain.
Persahabatan tokoh bangsa di atas agak berbeda dengan kondisi kekinian, kepentingan pribadi dan kelompok justru mewarnai sikap individu maupun kelompok. Perbedaan pendapat, perbedaan pilihan politik, serta sudut pandang pemikiran menjadi sebuah fanatisme politik buta yang dapat menimbulkan sebuah polarisasi gerakan yang memicu retaknya tenun kebangsaan.
Fanatisme kelompok, suku, agama, dan ras justru akan semakin memperlebar pendikotomian dari sebuah golongan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan semangat para pendiri bangsa ini. Ir. Soekarno, Bapak Proklamator, mengatakan bahwa negara Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu suku, bukan milik suatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke. Bangsa adalah satu jiwa (une nation est un âme). Satu bangsa adalah satu solidaritas yang besar (une nation est un grand solidarité).



















