
Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Miuhammadiyah)
KHITTAH. CO – Kiai Dahlan dikenal sebagai manusia amal, tidak puas hanya mempelajari Agama Islam tanpa pengamalan, agama Islam tidak sekAdar aktivitas ritual tetapi Islam harus hadir di tengah masyarakat, hadir di tengah umat untuk memberi solusi setiap permasalahan, dan hadir menjadi rahmat bagi seluruh alam. Kiai Dahlan selalu risau dengan keadaan umat dan masalah yang sering merisaukan beliau adalah masalah keterbelakangan, ketertinggalan, dan kebodohan.
Dalam pandangan Kiai Dahlan, masalah ini bisa diatasi melalui pendidikan, sehingga sebelum mmendirikan Muhammadiyah, lebih awal beliau mendirikan sekolah pada tahun 1911, dengan menggunakan ruang tamu rumahnya sebagai ruang kelas. Sekolah yang dirintis beliau juga berbeda dengan sekolah yang sudah ada selama ini. Kiai Dahlan mendirikan sekolah dengan mengadopsi model pendidikan kolonial yang diintegrasikan dengan model pesantren tradisional, mengintegrasaikna pendidikan agama ke dalam model pendidikna kolonial, suatu model pendidikna yang saat itu sama sekali belum ada contoh di Indonesia.
Gerakan yang dilakukan oleh Kiai Dahlan bersama Muhammadiyah sebagai organisasi yang dirintisnya sebagai wadah penyebaran Islam, tidak lepas dari pemahaman Kiai Dahlan bahwa Islam bukan sekadar agama yang bersifat ritual semata. Ajaran tauhid tidak cukup hanya mengucapkan kalimat syahadat, tetapi ajaran tauhid harus dapat membebaskan, memerdekakan, dan mencerahkan.
Ismail Raji al-Faruqi mengemukan bahwa tauhid memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Pemahaman yang mendalam tentang keesaan Allah dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari membawa dampak yang signifikan, seperti penghormatan terhadap perbedaan, pemahaman moral yang kuat, motivasi untuk mencari tujuan hidup yang lebih tinggi, dan kehidupan yang bertanggung jawab.
Ajaran tauhid mengajak manusia untuk hidup dalam kesadaran yang terus-menerus tentang kehadiran Allah dan bertanggung jawab atas tindakan dan pilihan hidupnya. Dengan memahami dan mengamalkan tauhid, manusia dapat menjalani kehidupan yang harmonis, bermakna, dan memberikan kontribusi positif bagi dirinya sendiri, masyarakat, dan dunia secara keseluruhan.
Kepeloporan Kiai Dahlan satu abad yang lalu, dinilai oleh banyak pihak merupakan amal-amal sosial yang melampuai zamannya. Model amal-amal sosial yang dirintis Kiai Dahlan telah diadopsi oleh berbagai pihak dengan modifikasi sesuai konteks kekinian, oleh berbagai pihak sehingga dapat dikatakan bahwa rintisan Kiai Dahlan melalui Muhammadiyah telah berhasil memberi makna bagi dakwah persyarikatan Muhammadiyah, walaupun ketika awal dirintisnya tidak sedikit cemoohan dan cercaan yang menghampiri, bahkan kiai Dahlan dituduh sebagai kiai kafir, Muhammadiyah pembawa ajaran sesat.
Bagi Muhammadiyah pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan dari guru ke siswa tetapi lebih dari itu. Pendidikan merupakan upaya sadar penyiapan peluang bagi manusia untuk menguasai ipteks berbasis wahyu tekstual (qauliyah) dan wahyu natural (kauniyah: alam semesta), mengembangkan kemampuan pemanfaatan alam semesta, dan menyerap seluruh prinsip perubahan peradaban bagi kesejahteraan seluruh umat manusia dalam bentangan masa depan sejarah. Pendidikan Muhammadiyah adalah pendidikan pencerahan kesadaran ketuhanan (makrifat iman/tauhid) yang menghidupkan, mencerdaskan, dan membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan bagi kesejahteraan serta kemakmuran manusia dalam kerangka kehidupan bangsa dan tata pergaulan dunia yang terus berubah dan berkembang. (Putusan Muktamar ke 46 tahun 2010).
Kuntowijoyo mengemukakan bahwa Muhammadiyah menjalankan misi kenabian yang disebutnya sebagai ilmu profetik. Dalam kontek pendidikan misi kenabian adalah misi pertama pendidikan Muhammadiyah merupakan misi pembebasan, yaitu berupaya memerdekakan umat dari ketertindasan ekonomi, sosial, dan politik melalui pendidikan. Bahkan upaya itu dilakukan dengan berjuang bersama dengan umat untuk merebut kemerdekaan dari kolonialisme. Kedua, misi humanisasi yakni memanusiakan manusia., yakni menjadikan manusia sebagaimana manusia semestinya, manusia sebagai insan yang memiliki nilai, sehingga metode pendidikan yang diterapkan tidak menjadikan seorang pembelajar sebagai objek, melainkan membuka ruang dialog dengan para murid pembelajar untuk sama-sama mengasah kemampuan berpikir. Ketiga, transendensi kesadaran ketuhanan. Kesadaran ini yang melampaui kesadaran dunia mencapai ketuhanan. Kesadaran ini menghubungkan manusia dengan Tuhannya, sehingga manusia tidak akan berbuat semaunya karena sadar akan posisinya sebagai hamba Tuhan.
Pendidikan yang menghidupkan, mencerdaskan, dan membebaskan memberikan makna bahwa kegiatan pendidikan Muhammadiyah memiliki kewajiban secara keimanan yang dinamis untuk mampu melakukan rekonstruksi sosial secara bertahap dan pada akhirnya akan mampu memberikan kontribusi melahirkan suatu masyarakat baru seperti dicita-citakan oleh Muhammadiyah yakni masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Lembaga pendidikan Muhammadiyah idak boleh hanyut terbawa angin globalisasi yang dalam batas-batas tertentu membawa efek samping dengan semakin merembesnya paham kehidupan yang merujuk pada paham materialisme-kapitalisme liberalisme. Pendidikan Muhammadiyah sejauh mungkin harus dapat memberikan akses kepada kaum dhu’afa untuk bisa menikmati institusi-institusi yang dimiliki oleh Muhammadiyah. Masyarakat yang mengalami kesengsaraan secara ekonomi tetap memiliki harapan akan datang masanya terjadi perubahan nasib hidupnya melalui pendidikan..
Pendidikan Muhammadiyah yang didasarkan atas nilai-nilai (1) bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah, (2) ruhul ikhlas untuk mencari ridha Allah SWT, (3) meneraakan prinsip kerjasama (musyarokah) dengan tetap memelihara sikap kritis, (4) selalu memelihara dan menghidup-hidupkan prinsip pembaruan (tajdid), (5) memiliki kultur untuk memihak kepada kaum yang mengalami kesengsaraan (dhuafa dan mustadh’afin) dengan melakukan proses-proses kreatif sesuai dengan tantangan dan perkembangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia. (6) memperhatikan dan menjalankan prinsip keseimbangan (tawasuth atau moderat) antara akal sehat dan kesucian hati. Keenam nilai ini menjadikan lembaga pendidikan Muhammadiyah tetap eksis dan mampu memberi kontribusi dalam mewujudkan kemajuan umat dan bangsa, mampu hadir memberi kesejahteraan bangsa bangsa Indonesia.





















