Oleh : Muh. Asratillah Senge
Generasi Z dalam Pusaran Situasi Post-modern
Sekedar mengetahui penanda-penanda demografis dari generasi Z menurut penulis tidaklah teralalu membantu dalam melihat konteks sosiologis, ekonomi, politik, kebudayaan bahkan filosofis yang melatar belakangi kelahiran generasi Z. Jika mempertimbangkan argumentasi Tjipno Susana dalam Kesetiaan Pada Panggilan di Era Digital (2012) yang mengatakan bahwa hanya sedikitlah tipis perbedaan antara generasi X,Y Z. Maka kita bisa menduga bahwa sebenarnya kehadiran generasi X,Y dan Z sebenarnya lahir dari latar belakang kebudayaan dan sosiologis yang sama yaitu kondisi postmodern, cuman berbeda dalam hal intensitas.
Apakah kondisi postmodern itu ?. Secara sederhana kita bisa mendefinisilam kondisi postodern adalah kondisi yang secara epos kesejarahaan adalah kondisi setelah epos modern dan secara sosio-kultural adalah kondisi yang berusaha memparodikan, memprotes sekaligus melampaui kondisi modern. Ada tiga istilah yang perlu dibedakan menurut Bryan Turner, yaitu Modern-Postmodern, Modernisme-Postmodernisme dan Modernitas-Postmodernitas. Modern-Postmodern merujuk pada segmen sejarah tertentu, Modernisme-Postmodernisme adalah rupa warna pemikiran, filsafat dan corak ilmu-pengetahuan sedangkan Modernitas-Postmodernitas menunjuk produk kebudayaan serta material. Jadi dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah “postmodern” agar lebih kompatibel dengan pembahasan kita mengenai generasi Z.
Menurut Akbar S Ahmed dalam Postmodernism and Islam: Predicament and Promise (1992) dengan mengutip pendapat Malcolm Bradbury bahwa istilah Postmodern digunakan sejak tahun 1960-an. Istilah ini misalnya pertama kali muncul pada artikel yang ditulis oleh seorang Novelis Amerika yang berjudul John Barth dalam sebuah artikel yang berjudul The Literature of Exhaustion (1967). Dengan kata lain populer pertama kalinya istilah Postmodern hampir bersamaan dengan awal mula kelahiran generasi X. Tetapi gambaran kondisi postmodern menjadi sesuatu yang marak dibincang setelah terbitnya buku Lyotard yang berjudul The Post-Modern Condition (1984), dengan kata lain generasi Y lahir pada saat sedang postmodern sudah mulai diributkan dalam forum-forum akademik. Dan menurut saya generasi Z lahir disaat Postmodern sudah menjadi isu, gosip bahkan komoditas secara global, bahkan saat ini sudah mulai lahir wacana yang berusaha mengkiritik kondisi postmodern, tahun 1992 Ernest Gellner telah menulis buku Postmodernism,Reason and Religion yang berisikan kritis terhadapa postmodern, walaupun saat ini kita masih sulit menunjuk dan menamakan kondisi setelah kondisi postmodern.
Dalam buku Teori Sosial Kritis (2003) Ben Angger menyebutkan beberapa penanda dari masa atau kondisi postmodern. Pertama, Globalitas bahwa bangsa dan wilayah semakin terhubung satu sama lain sehingga mengaburkan perbedaan antara Dunia Pertama yang notabene didominasi oleh negara-negara maju dan Dunia Ketiga yang didominasi oleh negara-negara berkembang dan terbelakang. Kedua, walaupun terjadi perpindahan barang, orang dan informasi yang begitu cepat dari dan ke seuruh pelosok dunia, tetapi di satu sisi justru terjadi kondensasi identitas lokal dan religius. Hal ini dapat menjelaskan bahwa di era global saat ini intensitas konflik identitas masih besar. Ketiga, munculnya anggapan bahwa tak ada yang disebut debagai “akhir sejarah” seperti yang pernah diwartakan oleh Francis Fukuyama, dalam masa postmodern ada persepsi bahwa sejarah tidaklah berjalan linear, tapi sejarah adalah sesuatu yang berjalan secara dialektis bahkan dipenuhi patahan-patahan (diskontinuitas).
Ciri keempat dari postmodern adalah rekonsepsi terhadap subjek dan identitas, bahwa subjek serta identitas bukanlah sesuatu yang pejal, bukanlah sebuah tubuh tertutup (closed corpus). Subjek, diri dan identitas adalah sesutau yang terbuka, senantiasa mengalami pertarungan antara “diri”nya dengan dunia luarnya. Untuk menggambarkan kondisi tersebut terkadang teoritisi postmodern menggunakan teori Psikoanalisis Jacques Lacan (1977) sebagai piranti. Kelima, terjadi pergeseran konsepsi tentang mode produksi, cara produksi dalam terminologi Marxis mulai kehilangan relevansinya dan digantikan dengan apa yang disebut oleh Max Poster (1990) dengan mode informasi. Dimana komoditas yang diproduksi dan didistribusi tidak semata berbentuk “barang”, tetapi kini produksi dan distribusi didominasi oleh komoditas yang berupa “informasi”. Keenam Masyarakat semakin tersimulasi, tertipu dalam citra secara cepat dan cenderung menggeser sentralitas pengalaman yang sebenarnya. Inilah yang disebut oleh Baudrillard (1983) dengan istilah simulacra, yaitu situasi di mana bukan lagi realitas yang mendahului gambar atau citra, tetapi kini citra yang mendahului atau memprovokasi pembuatan gambar. Ini terlihat jelas misalnya dalam upaya rekayasa opini publik dalam marketing politik mutakhir, serta upaya-upaya rekayasa sosial melalui rekayasa pemodelan statistik . Ketujuh, dalam kondisi postmodern bahasa tidak lagi dianggap sebagai representasi jujur atau reproduksi dari pengalaman atau realitas tetapi bahasa justru mempresentasikan (menghadirkan) realitas baru. Menurut Jacques Derrida (1976) bahasa telah menjadi media yang licin, ambigu, mengaburkan pemahaman.
Ciri ketujuh dari kondisi postmodern adalah apa yang Bakhtin sebut dengan polivokalitas, bahwa segala sesuatu dapat dilihat dari berbagai perspektif dan sudut pandang. Hal ini membawa konsekuensi lebih lanjut bahwa sains bukanlah segala-galanya, sains hanyalah satu di antara cara melihat dunia, di antara cara-cara lain semisal sastra, agama, mitos, dan lain-lain. Kedelapan yaitu kematian oposisi biner atau polaritas analitis, antara kapitalis/proletar, perempuan/laki-laki, dunia pertama/dunia ketiga, sakral/profan, ada upaya untuk meleburkan, menyetarakan serta mendialogkan antara posisi yang berbeda bahkan berseberangan. Kesembilan lahirnya gerakan sosial baru (new social movement). Gerakan sosial tidak hanya memiliki corak universalitas tetapi justru menemukan kekuatannya dalam partikularitas atau sektor-sektor yang lebih kecil dan berbeda-beda. Dalam kondisi postmodern yang muncul adalah gerakan seperti gerakan perempuan, pembela hak-hak LGBT, pembela hak-hak masyarakat adat, pembela hak-hak lingkungan dan lain-lain. Kesepuluh hilangnya kepercayaan terhadap narasi besar (meta naration). Sosialisme, kapitalisme, agama sebagai ideologi telah kehilangan pesonanya dan Kesebelas adalah pengakuan akan signifikansi konsep ke-liyan-an (the others).
Kesepuluh ciri kondisi postmodern tentulah berbeda dari satu tempat ke tempat lain, antara satu negara dan negara lain, intensitasnya pun berbeda antara satu generasi dengan generasi lain, begitu pula dengan dampaknya. Tapi penggambaran tentang situasi postmodern di atas bisa menjadi titik tolak kita dalam menggambarkan dan meraba pergeseran-pergeseran kebudayaan yang terjadi dan mungkin terjadi dalam generasi Z.